ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18
Tiga hari berlalu. Polisi terus mondar-mandir ke sekolah, wartawan menyebalkan bermunculan, tapi sampai sekarang… belum ada tanda-tanda kasus itu mendekati selesai.
Pukul 11 malam, aku masih duduk santai di ruang tamu, tenggelam dalam game PS. Cahaya layar berkedip, suara efek ledakan mengisi ruangan gelap yang hanya diterangi lampu sudut.
Ding-dong.
Bel rumah berbunyi.
Alisku langsung terangkat.
Jam segini? Siapa yang datang malam-malam begini?
Aku bahkan jarang punya tamu di siang hari.
Aku bangkit, mematikan konsol sebentar, lalu berjalan ke pintu. Suara angin malam menyelinap masuk dari celah lantai ketika aku membuka kunci.
Saat pintu terbuka, aku refleks menahan napas.
“Halo, Arya! Maaf mengganggumu!”
Ari berdiri di depan pintu dengan seragam sekolah lengkap. Rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya cerah… terlalu cerah untuk seseorang yang datang jam 11 malam.
“Ari? Apa yang kau lakukan di sini?”
Aku terpaku.
Tunggu.
Ini… Ari, kan?
Tapi kenapa sikapnya berbeda total? Terakhir aku bertemu dengannya, dia pendiam dan tertutup. Sekarang? Senyumnya seperti bunga mekar paksa di malam gelap.
“Hehehe.” Ari tertawa kecil sambil mengayun-ayunkan tubuh.
“Aku datang untuk main.”
“… Masuklah,” ucapku akhirnya. Aku melangkah ke samping, mempersilahkannya masuk sambil memperhatikannya penuh waspada. Ada yang aneh. Sangat aneh.
Ari melangkah masuk dan langsung melihat sekeliling rumahku dengan mata berbinar, seperti anak kecil memasuki toko mainan.
“Bagaimana kau tahu alamatku?” tanyaku sambil menutup pintu.
“Oh, aku menanyakannya ke guru,” jawabnya santai.
Aku mengerutkan kening. Guru mana yang sembarangan memberi alamat murid ke murid lain di malam hari?
“Ngomong-ngomong, sedang apa kau tadi?” Ari menoleh, pipinya sedikit memerah.
“Aku sedang main game.”
Aku mengangkat konsol. “Mau main?”
Wajah Ari langsung cerah seperti lampu neon. “Mau!”
Kami duduk di lantai karpet, memainkan beberapa game. Meskipun awalnya dia tidak tahu cara main, Ari cepat belajar—terlalu cepat. Dalam hitungan menit dia sudah menandingi levelku.
Kami bermain sampai jarum jam hampir menyentuh tengah malam.
Tiba-tiba aku menatapnya. Ada sesuatu yang mengusik benakku sejak tadi—senyumnya terlalu polos untuk situasi seperti ini.
“Ari.”
Dia refleks menoleh, matanya membulat.
“Apa?”
Aku menarik nafas, memilih kata-kata.
“...Ari, apa kau tidak takut?”
Ari mengedip pelan, seolah benar-benar tidak mengerti.
“Takut? Dengan apa?”
Aku mencondongkan tubuh sedikit, menatapnya dari sudut mataku.
“Ada kasus pemerkosaan di sekolah. Dan kau datang ke rumah seorang pria… malam-malam begini.”
Aku mengetuk lantai dengan ujung jariku.
“Selain itu—apa kau tidak tahu kalau aku tinggal sendirian?”
Ruangan seketika hening.
Hanya suara kipas dan TV yang masih menyala yang mengisi jeda itu.
“Apa kau tidak takut… kalau aku menyerangmu?”
Untuk sesaat, aku benar-benar berharap dia menunjukkan sedikit kewaspadaan. Sedikit saja. Tapi—
Ari justru tersenyum.
Senyum lembut… seperti anak kecil yang yakin semuanya akan baik-baik saja hanya karena seseorang ada di sampingnya.
“Hmmm… tidak apa,” katanya pelan. “Aku tidak mempermasalahkannya.”
Aku memicingkan mata.
“Apa?”
Ari miring sedikit, senyumnya melebar, pipinya merona.
“Aku tidak masalah kalau itu kau, Arya.”
Ada sesuatu di balik tatapan itu.
Bukan sekadar rasa suka.
Ada kerinduan yang terlalu dalam… dan sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada itu.
Sesuatu yang seperti… obsesi.
Ari lalu menarik nafas, dan suaranya melembut.
“Kau tahu?” katanya lirih. “Aku sebenarnya korban bully.”
Aku perlahan menegakkan tubuh.
Nada suaranya… membuat udara terasa berat, padat, seperti ada beban yang merayap turun di tenggorokan.
“Ketika aku putus asa… ketika duniaku hancur… saat aku ingin menghilang…”
Ari memegang lengannya sendiri. Jemarinya mencengkram kulitnya, seperti mencoba menahan sesuatu yang ingin pecah dari dalam.
“Di saat itu aku bertemu denganmu.”
Matanya menjadi sendu—tapi berkilat dengan sesuatu yang bukan kesedihan.
Sesuatu yang menyeramkan karena terlalu intens.
“Snack coklat yang kau berikan itu… manis sekali.”
Dia tersenyum kecil, hampir seperti sedang mengenang mimpi indah.
“Baju yang kau berikan… hangat. Cerita-ceritamu… menenangkan.”
Dadanya naik turun, nafasnya tidak stabil.
“Dan senyummu…”
Pipi Ari memerah jauh lebih kuat. Matanya bergetar, suaranya merendah seperti bisikan yang nyaris patah.
“Ketika kau bilang aku boleh mencarimu saat sendirian… itu sangat indah. Saking indahnya…”
Ari menutup mata sejenak, seolah merasakan ulang momen itu.
“Duniaku yang hancur… bangkit lagi.”
Sebelum aku sempat merespons—
Ari tiba-tiba mendorongku.
Tubuhku terjatuh ke lantai, terduduk lalu terhempas, dan detik berikutnya… dia sudah menindihku. Berat tubuhnya menghantam dadaku. Nafasnya panas, cepat, dan terlalu dekat.
“Ari—”
“Aku mencintaimu…” bisiknya tepat di samping telingaku.
Suaranya gemetar.
Bukan karena takut.
Tapi karena terlalu penuh oleh sesuatu yang seperti kegilaan yang menahan diri.
Nafasnya menyapu pipiku—hangat, tergesa-gesa.
Tangannya menghantam lantai tepat di samping kepalaku—keras, tajam, sampai lantai bergetar halus. Nafasnya memburu; hangat, tidak beraturan, seolah dia baru saja berlari puluhan meter. Wajahnya merah padam, tapi bukan merah malu. Merah… obsesi.
“Cinta…”
Ari membuka matanya perlahan. Sorot matanya bukan milik seseorang yang waras. Ada kilau berbahaya di sana—campuran kegembiraan, kepanikan, dan kegilaan yang saling melilit.
“Aku sangat… sangat… sangat…”
Jari-jarinya menegang, kuku-kukunya mencakar lantai, menimbulkan suara gesek yang membuat tengkukku merinding.
Lalu—
“Saaaaaaaaangat mencintaimu!!”
Teriakannya memantul di dinding-dinding rumah. Heningnya ruang tamu berubah seperti terpecah oleh suara itu. Bulu kudukku berdiri.
Bibirnya mendekat pelan. Terlalu pelan.
Setiap sentimeter terasa seperti ancaman.
“Arya… kau adalah mili—”
“Ari.”
Suara itu keluar dari mulutku tanpa emosi, tanpa intonasi.
Ari terhenti seketika. Seolah kata itu adalah perintah dari makhluk yang lebih tinggi.
Aku menatapnya—tatapan dingin, gelap, dan… kosong.
Tatapan yang bahkan aku sendiri jarang keluarkan.
“Minggir.”
Satu kata.
Datar.
Dingin.
Tidak memberi ruang untuk menawar.
Ari bergidik.
Tubuhnya, yang tadi bergerak leluasa, mendadak kaku seperti boneka kayu. Dia mundur perlahan. Satu langkah… dua langkah… lalu berhenti sambil memegangi lengannya sendiri.
“Ke-kenapa…?” bisiknya. Suaranya pecah. “Kenapa…?”
Lalu tiba-tiba ia meledak.
“KENAPA?!”
“Kenapa kau menolakku?!”
“Apa karena Luna itu?! Atau Adelia?!”
Matanya membelalak, seperti sedang melihat pengkhianatan terbesar dalam hidupnya.
“Tidak bisa dimaafkan… tidak bisa! Kau menggodaku lalu membuangku begitu saja!!”
Aku benar-benar terdiam.
Menggodanya?
Aku bahkan tidak mengerti dari mana imajinasinya itu muncul.
Ari menutup mata. Nafasnya berat.
Lalu…
Saat ia buka kembali—
Matanya berubah menjadi pink.
Warna yang tidak masuk akal untuk mata manusia normal.
Tubuhku refleks menegang.
“…Oi. Matamu. Kau… penyihir?”
Ari tersenyum. Senyum miring yang tidak pernah kulihat darinya sebelumnya.
“Sudah terlambat, Arya. Kau akan jadi milikku.”
Aku bersiap.
Mengencangkan otot tubuh.
Menahan napas.
Menunggu sesuatu menyerang pikiranku, tubuhku, atau apa pun itu—
Tapi…
Tidak ada.
5 detik.
10 detik.
15 detik.
Tidak ada apa-apa.
Tidak ada sensasi apa pun.
Aku hanya berdiri di sana, diam, sehat, dan sepenuhnya sadar.
Kami berdua membeku, saling menatap.
“A-apa…”
Ari memegang kepalanya sendiri. “Apa yang terjadi? Kenapa teknik pesonaku tidak mempan?!”.
Dia mencoba lagi.
Perlahan, Ari mengangkat tangannya. Jemarinya bergetar halus, seolah menarik sesuatu dari udara.
Aku bisa merasakan hawa tipis menyentuh kulitku—seperti hembusan angin dingin yang membawa aroma asing. Energi kutukan. Ringan… tapi mencekam.
Namun hasilnya sama.
Nihil. Tidak ada efek apapun padaku.
“Kenapa…?”
Suara Ari parau, putus asa.
“Seharusnya teknik ini membuat lawanku jatuh cinta padaku… kenapa tidak mempan padamu?!”
Wajahnya memerah bukan karena malu—tapi karena frustasi yang hampir berubah menjadi keputusasaan.
Aku menutup mata sejenak, menarik napas panjang.
Entah kenapa… rasanya aku lebih lelah daripada takut.
“Kau bilang itu… teknik pesona, ya?”
Aku berdiri perlahan, membenarkan posisiku, menatap mata Ari yang masih berwarna pink.
“Tidak kusangka ada teknik seperti itu. Tapi sesuai dugaanku…”
Tatapanku menajam.
“Kaulah dalang di balik kejadian itu… yang terjadi di sekolah.”
Ucapanku jatuh seperti pisau.
Dan reaksinya langsung terlihat.
Ari menggigit bibir—begitu keras hingga terlihat ada sedikit warna merah muncul di sudutnya.
Tangannya mengepal kuat, buku-buku jarinya menegang sampai memutih, seolah tulang-tulangnya menekan kulit dari dalam.
Bahunya bergetar halus, entah karena marah… atau karena ketakutan kalau semua rahasianya benar-benar terbongkar.
Ketegangan di ruangan terasa seperti tali yang ditarik terlalu kencang.
“Aku tidak peduli kenapa kau melakukannya,” lanjutku, tapi nada suaraku berubah. Tidak setajam tadi.
Ada… kelembutan yang terselip di sana. Campuran iba dan sesuatu yang bahkan aku sendiri tak mau akui.
“Tapi ada satu hal yang perlu kau tahu.”
Ari mengangkat wajahnya perlahan.
Tatapannya—meski masih berwarna pink yang tidak wajar—tampak bergetar halus.
Ada ketakutan kecil yang menyelinap di balik sorot matanya,
seolah ia gentar pada kalimat yang akan keluar dari mulutku.
“Daripada mencintai seseorang sepertiku…”
Kata-kataku turun lebih pelan, lebih berat.
“…lebih baik kau mencintai orang lain.”
Suasana seolah membeku.
Aku sendiri hampir tidak mengenali suara yang keluar dari mulutku—serak, lemah, seperti menyimpan luka lama.
“Mencintaiku… hanya akan menambah penderitaanmu.”
Ari tidak berkedip.
Seluruh tubuhnya diam, seperti waktu berhenti di titik itu.
Lalu perlahan… warna pink di matanya memudar.
Kembali menjadi gelap. Normal.
Namun ada kilau air mata yang tertahan, menempel di bulu matanya.
“…Maaf karena mengganggumu.”
Suaranya berubah kecil. Rapuh.
Seperti anak yang baru menyadari bahwa dunianya kembali runtuh.
Dia menunduk dalam-dalam, bahunya gemetar.
Kemudian berjalan menuju pintu dengan langkah goyah, seolah setiap langkah adalah beban.
Pintu terbuka.
Udara malam yang dingin merayap masuk.
KLIK.
Pintu tertutup perlahan… dan suara itu terasa seperti sesuatu yang patah di dalam rumah ini.
Keheningan merayap kembali.
Terlalu sunyi. Terlalu dingin.
Aku terjatuh duduk di lantai.
Lututku lemas.
Tanganku naik menutupi wajah—entah ingin menenangkan diri, atau sekadar menyembunyikan ekspresi yang bahkan aku sendiri tak ingin lihat.
Di balik kelopak mata tertutup, bayangan sorot mata Ari muncul lagi.
Bukan tatapan orang patah hati.
Bukan tatapan orang yang diabaikan.
Bukan tatapan orang cemburu.
Itu sorot seseorang yang pernah—dan mungkin masih—terperosok ke tempat paling gelap.
Tempat tanpa suara, tanpa cahaya, tanpa tangan yang menolong.
Sorot mata yang menandakan…
…dia pernah melihat neraka.
Aku mengusap wajah, merasakan dingin yang menempel di kulitku.
Heningnya rumah terasa menekan dada.
“…Seperti apa raut wajahku tadi?” gumamku pelan.
Karena kalau tatapan Ari bisa berubah seperti itu hanya karena melihatku…
Mungkin aku sendiri tidak siap untuk mengetahui jawabannya.