Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23: KOTAK KEMATIAN
TENGAH MALAM - ATAP KEDIAMAN CAKRAWALA
Bulan separuh bersembunyi malu di balik awan tebal, menyelimuti Kediaman Cakrawala dalam kegelapan pekat. Angin malam bertiup dingin, membawa aroma tanah basah dan daun busuk dari hutan belakang.
Di puncak pohon beringin tua—lima puluh meter dari kamar Baskara—sesosok bayangan bertengger.
Jimbrong.
Ia berjongkok dengan keseimbangan sempurna di ujung ranting rapuh. Napasnya ditekan hingga nyaris tiada. Detak jantungnya melambat mengikuti ritme malam. Ini adalah meditasi kematian yang ia latih selama tiga puluh tahun.
Di balik masker hitamnya, sepasang mata tajam menatap jendela kamar Baskara tanpa berkedip.
Target di dalam. Sendirian. Tanpa penjaga. Tanpa formasi pelindung.
'Terlalu mudah,' batinnya meremehkan.
Namun, ada gelitik kecil di tengkuknya. Insting veterannya berbisik.
‘Terlalu sunyi. Terlalu sempurna.’
Sepanjang kariernya membantai 700 nyawa—mulai dari saudagar licik hingga kultivator Inti Emas—insting ini selalu menyelamatkannya. Tapi malam ini, kilau sepuluh ribu Batu Roh di kantongnya membungkam bisikan itu.
'Persetan dengan insting. Aku sudah dibayar.'
KILAS BALIK - 3 JAM LALU
Di gang sempit yang bau, Wibawa mencengkeram lengan Jimbrong. Wajah Tuan Muda itu pucat pasi, matanya liar.
"Dengar," desis Wibawa, suaranya bergetar. "Baskara... dia bukan orang biasa. Dia licin. Dia kuat. Dia mengalahkan Surya dengan satu pukulan. Tujuh pembunuh bayaranku lenyap tanpa jejak."
Jimbrong tertawa. Suaranya serak seperti gesekan dua batu kali.
"Kau pikir aku amatir?" cibirnya. "Diam, Bocah. Aku sudah sering menyembelih orang yang lebih kuat dariku. Inti Emas Bintang 3? Bintang 4? Mereka semua mati dengan tenggorokan berlubang."
Jimbrong mendekatkan wajahnya ke Wibawa, matanya berkilat kejam.
"Di arena, yang kuat yang menang. Tapi di kegelapan? Yang licik yang berkuasa. Dan aku... adalah rajanya kelicikan."
KEMBALI KE MASA KINI
Sepuluh menit berlalu. Tidak ada pergerakan di kamar target. Lampu padam. Target tidur.
'Sempurna.'
Jimbrong bergerak.
Ia melompat dari dahan ke atap genteng. Gerakannya seringan kapas, tidak menimbulkan suara sedikit pun. Seperti hantu yang menapak di atas angin.
Dalam lima detik, ia sudah berada tepat di atas kamar Baskara. Jari-jarinya yang kurus meraba bingkai jendela. Dengan satu sentilan Prana, kuncinya terbuka.
'Bodoh.'
Ia menggeser jendela itu perlahan, inci demi inci, hingga celah cukup besar untuk tubuh kurusnya menyelinap masuk.
Kamar itu gelap gulita. Hanya siluet perabotan yang terlihat samar. Di atas ranjang, gundukan selimut menunjukkan posisi target yang sedang terlelap.
Jimbrong menyeringai di balik masker. Ia mencabut pedang pendeknya. Bilah logam itu berkilau hijau suram—dilapisi Racun Jiwa Beku, racun yang membekukan darah dalam hitungan detik.
Ia melangkah mendekat. Langkahnya tidak menyentuh lantai sepenuhnya.
Lima langkah.
Tiga langkah.
Satu langkah.
Ia mengangkat pedang, membidik tepat ke arah leher di balik selimut.
"Mati."
Pedang itu menghunjam deras.
JLEB!
Namun... dalam sekejap mata, angin berhembus, bayangan melesat dari kasur.
Tidak ada suara daging yang robek. Tidak ada cipratan darah. Tidak ada jeritan tertahan.
Pedangnya hanya menembus kapuk dan kain.
'Hah?! Kosong?!'
Mata Jimbrong membelalak.
"Kau lambat."
Suara berat itu berbisik tepat di telinga kirinya. Sedingin malam.
Jimbrong tersentak hebat. Seluruh bulu kuduknya berdiri. Ia memutar tubuhnya secepat kilat, menebaskan pedang ke belakang—
WUSH!
Kosong lagi.
Sebelum ia sempat memproses apa yang terjadi, sesuatu yang dingin dan tajam melilit lehernya.
SRET!
Tubuhnya ditarik paksa ke belakang dengan kekuatan monster. Kakinya terangkat dari lantai. Ia terlempar, menghantam lantai kayu dengan keras.
BRAK!
Maskernya retak. Napasnya sesak.
Saat ia mencoba bangkit, ia menyadari horor yang sebenarnya. Ia tidak bisa bergerak. Tangan dan kakinya terikat kencang oleh benang baja tipis yang nyaris tak kasat mata. Semakin ia meronta, semakin benang itu mengiris kulitnya hingga berdarah.
'Bagaimana dia bisa—teknik ini—'
"Teknik Jaring Laba-laba..." suara dingin itu kembali terdengar dari sudut gelap di atas lemari. "Milik Klan Pembunuh Bayangan Merah. Benang yang bisa memotong tulang, tapi cukup fleksibel untuk menyiksa. Apa kau kenal?"
Jimbrong mendongak susah payah.
Di atas lemari, Baskara duduk santai dengan satu kaki menggantung. Matanya menyala merah dalam kegelapan, menatap Jimbrong seperti manusia menatap kecoa.
Di tangan kanannya, ia memainkan gulungan benang baja yang terhubung ke tubuh Jimbrong.
"Ba-bagaimana..." suara Jimbrong tercekat. "Bagaimana kau tahu aku datang?!"
Baskara melompat turun tanpa suara. Ia berjalan mendekat, lalu menginjak dada Jimbrong.
"Mudah saja," jawabnya datar. "Tikus sepertimu, berbau menyengat."
"Bajingan!"
"Dan kau..." Baskara menarik benang di tangannya sedikit, membuat Jimbrong mengerang kesakitan, "...datang tepat waktu untuk menjadi mainan baruku."
Jimbrong menggertakkan gigi. 'Sialan! Aku tidak akan mati semudah ini!'
"TUBUH ASAP!"
Teknik terlarang. Tubuh fisik Jimbrong tiba-tiba memudar, berubah menjadi gumpalan asap hitam pekat. Benang baja Baskara menembus asap itu tanpa hambatan.
WUSH!
Jimbrong lolos! Asap itu melesat mundur, memadat kembali menjadi wujud manusia di dekat jendela.
"Benang bajamu tak mempan padaku," Jimbrong terengah-engah, namun bibirnya menyeringai. "Sekarang beritahu aku, bagaimana kau bisa gunakan teknik Klan Bayangan Merah yang sudah punah?!"
"Aku mempelajarinya dari 'teman' yang kutemui di hutan."
"Siapa?"
"Entahlah, percuma kau tahu. Sebentar lagi kau akan mati."
"Hah, kau lah yang akan mati di sini!" Jimbrong bersiap menyerang, pedang beracunnya terhunus ke depan.
Baskara merentangkan tangan, seolah mempersilakan tamu. "Di sini sempit. Ayo kita main di luar."
DUARR!
Baskara menendang pintu kamar hingga hancur berkeping-keping, lalu melesat keluar menuju hutan belakang.
Jimbrong ragu sejenak, tapi instingnya berteriak untuk mencari tempat terbuka agar teknik asapnya maksimal. Ia melompat keluar jendela, mengejar Baskara.
HUTAN BELAKANG KEDIAMAN
Hutan itu lebat, gelap, dan sunyi. Arena yang sempurna untuk pembunuhan.
Mereka mendarat di tanah lapang kecil yang dikelilingi pohon-pohon tinggi. Bulan masih tersembunyi, satu-satunya cahaya berasal dari jamur fosfor alami di batang pohon—cahaya hijau samar yang membuat suasana semakin mencekam.
Jimbrong berdiri di satu sisi, tubuh rendah dalam posisi bertarung. Di tangan kanannya, pedang panjang dengan bilah hitam bergerigi. Di tangan kirinya, tiga pisau lempar kecil terselip di antara jari-jari.
Baskara berdiri di sisi lain, tangan kosong, ekspresi tenang.
Keheningan sesaat.
Lalu—
CLASH!
Jimbrong menyerang pertama—gerakan blur, pedang menyambar dari tiga arah sekaligus dengan teknik ilusi.
Tapi Baskara tidak tertipu. Mata yang telah menyerap kemampuan berbagai Spirit Beast dapat membedakan ilusi dengan mudah.
Ia melangkah ke kiri—melewati dua serangan ilusi—lalu menangkap pedang asli dengan tangan kosong yang dilapisi Prana tebal.
CLANG!
Logam bertemu Prana.
Jimbrong melepaskan tiga pisau lempar dari tangan kiri—langsung ke wajah, leher, dan dada Baskara dalam jarak nol.
Baskara melepaskan pedang Jimbrong dan berputar ke belakang—pisau-pisau melewati di bawahnya—saat mendarat, tangannya sudah menarik benang baja yang tersembunyi.
SWISH SWISH SWISH!
Tiga benang meluncur ke arah Jimbrong —dua mengincar kaki, satu mengincar leher.
Jimbrong meleleh jadi asap lagi—benang melewati tubuh transparannya tanpa efek. Ia mereformasi di belakang Baskara, pedang sudah berayun—
Tapi Baskara sudah tidak ada di sana.
[SILENT FLASH]
Muncul di samping kiri Jimbrong, tinju dilapisi Prana hitam-merah menghantam rusuk.
BOOM!
Jimbrong terbang lima meter, menghantam pohon dengan keras. Ia batuk—tapi tidak ada darah. Ia menggunakan Tubuh Asap di detik terakhir untuk mengurangi dampak.
'Cepat. Terlalu cepat.'
"Kau kuat," ucap Baskara sambil berjalan santai mendekat, mengeluarkan dua bilah belatinya. "Lebih baik dari tujuh sampah sebelumnya."
Jimbrong berdiri, napasnya sedikit terengah. 'Dia bilang tujuh? Jadi Wibawa tidak bohong...'
Ia meraih sabuk di pinggangnya—dan melempar tiga bom asap ke tanah.
POOF!
Asap hitam tebal meledak, menyelimuti seluruh area dalam sekejap.
Di dalam kabut itu, Jimbrong bergerak dengan Langkah Angin—melompat dari pohon ke pohon tanpa menyentuh tanah.
Lalu ia menyerang dari enam arah berbeda dalam waktu bersamaan—kombinasi pisau lempar beracun.
Tapi saat asap mulai menipis—
Baskara berdiri di tempat yang sama, tidak bergerak. Enam pisau beracun tertancap di tanah di sekelilingnya dalam formasi lingkaran sempurna.
Tidak ada yang mengenai.
'Dia bisa menghindar?!'
Jimbrong melesat maju, Langkah Angin membuatnya tepat di depan Baskara dalam kedipan mata.
Tebasan-tebasan pedang ditangkis kuat oleh Baskara. Tiap tebasan mengeluarkan asap ungu dari bilahnya.
Tiba-tiba…
BOOM!
Satu bola asap kecil meledak di wajah Baskara, mengganggu konsentrasi.
Satu tusukan Jimbrong melesat.
Baskara terlambat menghindar, pisau itu menggores lehernya.
Jimbrong tersenyum dan melompat mundur jauh. "Satu goresan cukup."
"Racun?" Baskara mengusap lehernya yang tergores.
"Racun Tulang Hitam. Mematikan. Bisa membunuh kultivator Inti Emas dalam sepuluh detik jika mengenai aliran darah," ucap Jimbrong dengan tawa puas.
Baskara menatap Jimbrong dengan mata dingin.
"Sayangnya, racun tidak bekerja padaku."
[PASIF: KEKEBALAN 1000 RACUN- AKTIF]
Jimbrong merasakan frustrasi pertamanya. Ini tidak masuk akal. Tidak ada yang kebal terhadap Racun Tulang Hitam kecuali—
Tidak ada waktu untuk berpikir.
Baskara menyerang balik—menggunakan teknik yang diambil dari memori para pembunuh bayaran yang pernah dia serap.
Teknik Pisau Bayangan—pisau-pisau Jimbrong yang menancap tanah, Baskara lemparkan bagai bayang.
Teknik Langkah Hantu—Gerakan kaki ganda.
Teknik Serangan Balik Ular—pertahanan menjadi serangan.
Pertarungan menjadi brutal. Logam bertemu logam—suara CLANG CLANG CLANG bergema di hutan.
Jimbrong mulai terdesak. 'Bagaimana dia menguasai begitu banyak teknik assassin?!'
Saat mereka berhadapan dalam jarak dekat—pedang saling mengunci— Jimbrong membuka mulutnya dan menyemburkan asap ungu pekat langsung ke wajah Baskara.
Racun Naga Ungu.
Racun inhalasi paling mematikan yang dia miliki—bisa membunuh dengan satu napas.
Asap menyelimuti Baskara—dan Jimbrong tersenyum di balik maskernya. ‘Menang.’
Tapi saat asap reda...
Baskara masih berdiri. Wajah dan lehernya hanya sedikit memerah. Matanya sedikit berair. Tapi dia... menyeringai.
"Itu... hanya itu?"
Jimbrong mundur selangkah, shock membuatnya keluar dari fokus untuk pertama kalinya.
'Mustahil. Mustahil! Racun Naga Ungu bisa membunuh kultivator Jiwa Baru! Kenapa kulitnya hanya memerah?!'
[Iron Body pasif + 1000 Poisons Immune + Battle Regression,] bisik Sistem. [Tubuh Anda sangat resisten. Racun level ini hanya menimbulkan iritasi ringan.]
Baskara mengabaikan sensasi terbakar di tenggorokannya.
"Giliranku," ucapnya dengan nada gelap.
[Tuan, saya sudah menganalisis teknik Tubuh Asap musuh. Teknik ini memiliki cooldown 3 detik setelah digunakan 5 kali berturut-turut. Dia sudah menggunakannya 4 kali.]
Baskara menyeringai. "Saatnya mencincang asap."
Ia menyerang beruntun, memaksa Jimbrong menggunakan Tubuh Asap lagi.
Satu kali lagi. Jimbrong menghilang menjadi asap.
'Sekarang!'
[SILENT FLASH]
ZRRRT!
Baskara menghilang. Bergerak lebih cepat dari asap yang mencoba memadat kembali.
Ia muncul tepat di titik di mana Jimbrong akan mewujud.
BUAGH!
Sebuah tendangan menghantam rusuk Jimbrong yang baru setengah padat.
KRAK!
Tulang rusuk patah. Jimbrong terlempar menabrak pohon. Belum sempat ia jatuh, Baskara sudah ada di depannya lagi.
Sebuah belati hitam menusuk bahu Jimbrong, memaku tubuhnya ke batang pohon.
"ARGHHH!"
Jimbrong mencoba berubah menjadi asap lagi.
"Jangan harap."
Tangan kanan Baskara berubah. Sisik hitam tumbuh menjalar. Kuku memanjang menjadi cakar setajam silet. Aura merah darah meledak.
[Cakar Naga - Parsial]
Baskara mencengkeram leher Jimbrong dengan cakar itu. Aliran Prana di tubuh Jimbrong seketika kacau balau, membatalkan teknik asapnya.
"A-apa ini..." Jimbrong menatap tangan mengerikan itu. "Monster..."
Baskara mendekatkan wajahnya.
"Cecunguk sialan," bisiknya. "Keluarkan lagi trik recehmu! Di hadapan kekuatan mutlak, trikmu hanyalah lelucon."
"AMPUN! AKU CUMA DIBAYAR! AKU BISA BERIKAN UANGNYA PADAMU!"
"Aku tidak butuh uangmu. Aku butuh..."
Mata Baskara menyala lapar.
"...kultivasimu."
JLEB!
Cakar naga itu menembus dada Jimbrong, meremas jantungnya.
Jimbrong kejang sesaat, lalu matanya meredup. Mati.
"Absorb."
WUUUSH!
Energi dari kultivator Inti Emas Bintang 1 yang berpengalaman puluhan tahun mengalir deras ke tubuh Baskara. Tubuh Jimbrong mengering, layu seperti daun di musim kemarau.
[DING!]
[Menyerap Inti Emas Bintang 1!]
[LEVEL UP!-RANAH INTI EMAS BINTANG 1 -> BINTANG 2!]
[Skill Diperoleh: Transformasi Bayangan (Shadow Transformation) - Mengubah tubuh menjadi in-corporeal untuk durasi pendek]
Baskara melepaskan mayat mumi itu. Tubuhnya terasa penuh tenaga.
"Bintang 2," gumamnya puas. "Lumayan."
SLASH
Satu ayunan ringan, kepala kering itu terlepas.
Ia menendang mayat tanpa kepala itu ke sungai deras di dekat hutan.
BYUR. Hilang. Tanpa jejak.
Baskara menatap ke arah kediaman Wibawa di kejauhan.
"Sekarang... saatnya mengirim pesan."
PAGI BERIKUTNYA - KAMAR WIBAWA
Matahari baru saja terbit, tapi Wibawa sudah mondar-mandir di kamarnya seperti orang gila. Ia tidak tidur sedetik pun.
‘Kenapa belum ada kabar? Kenapa tidak ada keributan? Apakah Baskara sudah mati?’
TOK. TOK.
Wibawa melompat kaget. "Siapa?!"
"Pelayan, Tuan. Ada... paket untuk Anda."
Wibawa membuka pintu dengan kasar. Seorang pelayan gemetar menyerahkan sebuah kotak kayu hitam yang terlihat mahal namun berbau aneh.
"Siapa pengirimnya?"
"T-tidak ada nama, Tuan. Ditemukan di depan pintu kamar Tuan subuh ini."
Wibawa menyambar kotak itu dan membanting pintu.
Jantungnya berdegup kencang. ‘Pasti dari Jimbrong. Pasti ini bukti kematian Baskara. Mungkin jari? Atau telinga?’
Dengan tangan gemetar, ia membuka tutup kotak itu.
DEG.
Wibawa berhenti bernapas.
Di dalam kotak, di atas bantalan beludru merah yang basah...
Terdapat kepala.
Kepala Jimbrong.
Tapi kondisinya mengerikan. Kulitnya kering kerontang menempel pada tengkorak, seolah semua cairannya telah dihisap habis. Matanya melotot lebar, membeku dalam ekspresi teror abadi.
Dan di dahinya yang keriput, terukir kasar dengan pisau:
"GILIRANMU."
"UEEKK!"
Wibawa muntah. Ia melempar kotak itu.
Kotak itu jatuh terbalik. Dan saat menyentuh lantai...
CESS...
Kepala itu mulai meleleh. Daging, tulang, dan kotak kayu itu mencair menjadi bubur hitam yang mendesis dan mengeluarkan asap beracun berbau busuk.
Wibawa mundur hingga punggungnya menabrak dinding, lalu merosot jatuh. Kakinya lemas. Celananya basah.
"Monster..." bisiknya, air mata ketakutan mengalir. "Aku... aku membangunkan monster..."
ARENA TURNAMEN - PAGI HARI
Tribun penonton sudah penuh sesak. Pertandingan babak kedua akan segera dimulai.
Di barisan peserta, Baskara duduk tenang dengan mata terpejam. Jubah hitamnya bersih, wajahnya segar. Tidak ada tanda-tanda bahwa semalam ia baru saja membantai seorang ahli pembunuh.
Saat gong dipukul, ia membuka matanya.
Mata hitam itu melirik sekilas ke arah tribun kehormatan.
Di sana, ia melihat Wibawa. Duduk di samping Patriark. Wajah Wibawa pucat pasi, matanya cekung, dan tangannya gemetar hebat. Saat tatapan mereka bertemu, Wibawa langsung membuang muka, tubuhnya tersentak kaget.
Baskara tersenyum tipis.
[Tuan,]
bisik Sistem.
[Ada pengamat lain. Ranah Jiwa Baru Bintang 1 dan Bintang 3 . Di pohon besar di belakang arena. Aura mereka kuat.]
Baskara tidak menoleh. Ia tetap menatap lurus ke depan.
'Biarkan saja,' batinnya. 'Biarkan mereka menonton. Biarkan mereka menikmati pertunjukanku.'
Wasit naik ke panggung.
"PERTANDINGAN PERTAMA BABAK KEDUA! BASKARA ATMAJA DIRGANTARA MELAWAN..."
Baskara berdiri.
Pesta baru saja dimulai.
[BERSAMBUNG KE BAB 24]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe