NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:9k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. Mencatat dalam Kepala

Pariyem tersenyum polos sambil terus membuka kancing. "Saya hanya khawatir, Ndoro. Khawatir Ndoro terlalu lelah sampai jatuh sakit seperti beliau. Kalau memang penyakitnya menurun dalam keluarga, Ndoro harus lebih hati-hati. Ndoro juga harus bercerita pada saya, agar saya lebih berhati-hati, mungkin ada beberapa bahan makanan yang menjadi pantangan?"

Penjelasan yang masuk akal. Yang membuat Soedarsono mengangguk perlahan.

"Bukan penyakit keturunan, Yem," jawabnya sambil duduk di tepi tempat tidur yang ditaburi Pariyem dengan kelopak melati. "Dimas Soenarto terlihat selalu murung setelah menjadi bupati. Sebenarnya dia tidak ingin. Dia lebih senang mengembangkan perkebunan tembakaunya daripada bekerja di pemerintahan, tapi ibu memaksa untuk menggantikanku waktu itu."

 Ada nada pahit dalam suara Soedarsono. Pariyem menangkap itu, mencatat semua dalam ingatan.

Dia melepas blangkon, meletakkannya di meja dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah benda itu sangat berharga.

"Apa dokter benar-benar yakin itu serangan jantung, Ndoro?" tanyanya dengan nada sangat hati-hati, seolah hanya penasaran biasa.

Soedarsono menoleh, menatapnya dengan alis terangkat. "Kenapa kau bertanya begitu?"

Pariyem cepat-cepat tersenyum. "Bukan apa-apa, Ndoro. Saya hanya ... kadang dengar dari pelayan-pelayan, mereka suka berbisik-bisik. Kata mereka ada yang mencurigakan tentang kematian almarhum Ndoro Gusti Soenarto. Tapi saya tidak percaya mulut mereka. Jadi lebih baik saya bertanya langsung pada Ndoro."

Soedarsono terdiam lama. Terlalu lama. Ekspresinya sulit dibaca.

Akhirnya dia berkata pelan, "Dokter Belanda yang memeriksanya. Dokter kepercayaan Residen. Dia bilang jantung. Tidak ada yang mencurigakan."

Tapi nada suaranya ... ada yang aneh. Seperti dia sendiri tidak sepenuhnya yakin. Atau tidak mau membahas lebih jauh.

Pariyem tidak meneruskan pertanyaan. Terlalu berbahaya. Dia sudah mendapat cukup informasi untuk saat ini.

"Sudahlah, Ndoro," ucapnya sambil mendorong lembut Soedarsono agar berbaring. "Jangan pikirkan hal-hal sedih. Ndoro ada di sini sekarang. Bersama saya. Biarkan saya merawat Ndoro agar Ndoro tidak sakit seperti beliau."

Soedarsono tersenyum sembari berbaring dengan mata terpejam. Pariyem melanjutkan pijatan dengan telaten; dari bahu, turun ke punggung, ke pinggang, dengan tekanan yang pas di setiap titik tegang.

"Kau memang yang terbaik, Yem," gumam Soedarsono, suaranya sudah mulai mengantuk. "Yang paling mengerti aku."

Pariyem tersenyum, senyum pahit yang tidak dilihat Soedarsono.

Mengerti? Dia bahkan tidak mengerti siapa dirinya yang sekarang. Dia yang dulu setia, sekarang menjadi pengkhianat.

Dia yang dulu mencintai pria ini, sekarang hanya menggunakannya untuk kepentingan lain. Tapi semua demi Pramudya.

Demi kesempatan melihat putranya lagi. Hal sepele yang bahkan tak bisa Soedarsono berikan.

\~\~\~

Tak lama, Soedarsono tertidur dengan sangat pulas. Napasnya teratur, dada naik turun dengan ritme yang tenang.

Wajahnya yang biasanya tegang kini rileks sempurna; dahi yang berkerut menjadi mulus, rahang yang biasa mengatup keras kini mengendur.

Pariyem duduk di tepi dipan, mengipas pelan dengan kipas anyaman bambu. Gerakan tangannya lambat, berirama, menciptakan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan.

Kelopak melati yang ditaburkan di kasur mulai layu, aromanya yang tadi kuat kini memudar, bercampur dengan aroma dupa cendana yang masih mengepul tipis dari tungku kecil di sudut kamar.

Matahari sudah tinggi. Cahaya terang menyusup melalui celah-celah jendela yang ditutup tirai tipis, menciptakan garis-garis cahaya keemasan yang bergoyang-goyang tertiup angin.

Tengah hari. Soedarsono masih tertidur lelap.

Ini tidak biasa. Pria itu tidak pernah tidur sampai sesiang ini. Tapi kali ini berbeda. Dia tidur dengan sangat pulas, seperti orang yang sudah berhari-hari tidak tidur dan akhirnya mendapat kesempatan beristirahat total.

Pariyem tidak membangunkannya, membiarkan dia tidur. Pria ini memang sangat lelah, terlihat jelas dari kantung mata yang menghitam, dari garis-garis kelelahan di wajah, dari bahu yang tegang meski sudah dipijat.

Kipas anyaman bambu terus bergerak di tangan Pariyem. Meski lengannya mulai pegal, dia tidak berhenti. Ini tugasnya, melayani suaminya, membuat pria ini nyaman.

Ia berdoa dalam hati, berharap mendapatkan lagi hal penting yang bisa ia jual untuk memperoleh bantuan bertemu putranya.

Tiba-tiba napas Soedarsono berubah. Tidak lagi teratur. Menjadi pendek-pendek, terengah.

Pariyem berhenti mengipas, menatap wajah suaminya dengan khawatir.

Bola mata di balik kelopak yang terpejam bergerak-gerak tidak teratur, bergerak cepat ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Seperti sedang melihat sesuatu yang membuatnya gelisah.

Mimpi buruk?

Bibir Soedarsono bergerak. Menggumam sesuatu yang tidak jelas. Suara sangat pelan, hampir tidak terdengar.

Pariyem mendekatkan telinga ke mulut suaminya, mendengarkan dengan saksama.

"Tidak ... Ibu …," gumam Soedarsono dengan suara parau. "Itu ... berbahaya ...."

Pariyem menahan napas. Telinganya menangkap setiap kata dengan tajam.

Soedarsono bergerak gelisah. Napasnya semakin terengah, seperti sedang ketakutan.

"Kalau Belanda tahu …," suaranya semakin jelas, lebih keras, penuh kecemasan. "Kita ... dalam bahaya ..."

Keringat dingin muncul di kening dan pelipis. Mengalir pelan membasahi rambut yang menempel di dahi.

Pariyem cepat-cepat mengambil kain halus dari meja, menyeka keringat itu dengan gerakan lembut dan penuh perhatian.

Tangannya bergerak hati-hati, tidak ingin membangunkan suaminya tapi ingin membuat dia nyaman.

Soedarsono terdiam sejenak. Napasnya masih terengah, tapi perlahan mulai melambat. Bola matanya berhenti bergerak cepat. Wajahnya perlahan rileks lagi.

Lalu napasnya kembali teratur. Tenang. Damai.

Pariyem meletakkan kain itu kembali, mengambil kipas, mengepakkan dengan gerakan yang sangat pelan. Otaknya bekerja keras mengingat setiap kata yang digumamkan Soedarsono.

Apa yang berbahaya? Apa yang tidak boleh diketahui Belanda? Apa yang membuat Soedarsono begitu ketakutan sampai mengigau dalam tidur?

Informasi ini harus disampaikan pada Marius. Ini penting.

Pariyem terus mengipas, lengannya semakin pegal tapi dia tidak peduli. Matanya terus mengawasi wajah suaminya, berharap dia akan mengigau lagi, memberikan petunjuk lebih jelas tentang apa yang dia takutkan.

Tapi Soedarsono tidur tenang. Tidak ada lagi gumaman. Tidak ada lagi gerakan gelisah. Pariyem hanya sesekali meninggalkannya untuk ke kamar kecil, dan makan atau minum.

Matahari bergerak perlahan melintasi langit. Bayangan di lantai kamar bergeser. Cahaya yang masuk melalui celah tirai berubah dari keemasan menjadi lebih putih terang.

Tengah hari sudah lewat. Hampir sore. Tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan.

"Gusti Ayu rawuh! Gusti Ayu rawuh!" (Nyonya datang!)

Jantung Pariyem langsung berhenti berdetak. Kanjeng Raden Ayu Kusumawati. Ibu mertua. Perempuan yang paling ditakuti di rumah ini.

Dari halaman depan, suara kegaduhan mulai terdengar. Langkah kaki yang berlarian. Suara abdi dalem yang panik berbisik-bisik.

Pariyem bangkit dengan hati-hati, meletakkan kipas di meja. Dia melirik Soedarsono sekali lagi; pria itu masih tertidur pulas, tidak terbangun meski ada kegaduhan di luar.

Dengan gerakan sangat perlahan, Pariyem berjalan ke pintu, membukanya sedikit, mengintip keluar.

1
Hanz
awas diracun
Hanz
perempuan cerdas. realistis.
EL M, rizky
alhamdulillah yem masih paham agama..🤭
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
✿⃟‌⃟ᶜᶠᶻSENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!