NovelToon NovelToon
Seribu Hari Mengulang Waktu

Seribu Hari Mengulang Waktu

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Aplolyn

"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

~ Bab 23

Keesokan harinya, suasana berubah. Camilla tidak pergi ke ruang kerja Putra Mahkota dan tidak ada utusan dari pria itu yang datang memanggilnya.

Jadi dia memutuskan mengurung diri di kamar, hanya keluar sebentar untuk berjalan di taman. Para pelayan mulai berbisik-bisik, heran kenapa biasanya ia selalu terlihat di sisi Putra Mahkota, kini menghilang.

Arthur memperhatikan perubahan itu dari jauh. Ia melihat Camilla duduk sendirian di taman, menatap bunga tanpa senyum. Ada sesuatu yang menusuk dadanya, tetapi ia tetap tidak mendekat.

Di ruang sidang, bahkan para menteri menyadarinya. Salah satu dari mereka berbisik pada yang lain, “Putra Mahkota tampak lebih.. tegang hari ini.”

Arthur berusaha menutupi dengan wajah dinginnya. Tetapi ketika malam tiba, ia kembali ke ruang kerjanya, menatap kursi kosong di seberang meja. Kursi yang biasanya dipenuhi sosok Camilla, kini terasa seperti bayangan yang mengolok-oloknya.

Beberapa hari berlalu. Jarak antara mereka semakin terasa. Camilla berhenti menulis catatan tambahan, berhenti menyapa Arthur dengan senyum.

Hari-hari berikutnya, suasana di istana semakin janggal. Para pelayan mulai merasakan ketegangan, meskipun mereka tidak berani berbisik terlalu keras.

Kursi di ruang kerja Putra Mahkota tetap kosong setiap hari, dan keheningan menggantikan percakapan singkat yang biasanya tercipta antara Arthur dan Camilla.

Camilla sendiri semakin menyibukkan diri di taman atau perpustakaan kecil. Ia menenggelamkan diri dalam buku-buku lama, meski pikirannya tak pernah benar-benar fokus. Mary sering menemukannya menatap kosong pada halaman yang sama selama berjam-jam.

“Yang Mulia,” Mary berkata suatu siang, “apakah Anda tidak ingin berbicara dengan Putra Mahkota? Diam begini hanya membuat keadaan semakin buruk.”

Camilla menutup buku dengan keras, lalu bangkit. “Mary, aku sudah mencoba memahami. Tapi setiap kali aku mengingat tatapan dinginnya rasanya dadaku sesak. Jika dia memang tidak ingin aku ada di sisinya, lebih baik aku mundur.”

Namun, takdir tidak memberi mereka banyak waktu untuk saling menjauh.

Suatu sore, berita mengejutkan datang. Seorang kurir berlari ke istana, membawa laporan mendesak dari garis depan. Wajahnya pucat, pakaiannya kotor penuh debu.

Arthur segera dipanggil ke aula pertemuan bersama beberapa penasihat militer. Dokumen rahasia dibuka, dan ruang itu dipenuhi suara tegang para jenderal.

“Benteng Utara diserang tiba-tiba. Pasukan cadangan tidak cukup kuat untuk menahan,” ujar salah seorang jenderal.

Arthur meraih peta besar di meja, matanya tajam. “Jika benteng jatuh, jalur pasokan ke ibu kota akan terbuka lebar. Kita tidak boleh terlambat.”

Namun, saat ia berbicara, Camilla yang kebetulan berada di aula luar mendengar sebagian percakapan itu. Ia menegang, hatinya berdebar keras.

Ingatan tentang masa lalu menyeruak dalam pikirannya.

Dia akan segera pergi, ku mohon.. jangan bawa Annette kesini..

***

Musim semi belum sepenuhnya menghangatkan udara ketika kabar itu datang. Lonceng istana berdentang tiga kali, tanda adanya pesan penting dari perbatasan. Arthur dipanggil ke ruang dewan, dan sejak saat itu, suasana seluruh istana berubah.

Camilla mendengar kabar itu dari Mary, yang wajahnya pucat saat berlari ke kamarnya.

“Yang Mulia, kabar buruk.. musuh telah menggerakkan pasukan besar. Putra Mahkota mungkin harus berangkat memimpin perang.”

Buku di tangan Camilla jatuh begitu saja. Hatinya mencelos, napasnya tercekat. “Perang..?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Mary mengangguk, matanya cemas. “Ya. Semua prajurit sibuk bersiap. Bahkan jenderal-jenderal sudah dipanggil untuk rapat darurat. Sepertinya keadaan benar-benar genting.”

Camilla berdiri, langkahnya goyah, lalu berjalan cepat menuju ruang dewan. Namun ketika ia tiba, pintu dijaga ketat. Tidak seorang pun diizinkan masuk kecuali pejabat tinggi.

Sudah pasti, keputusannya akan sama seperti dulu, mereka akan pergi selama setahun dan Annette akan masuk ke Istana..

Ia hanya bisa menunggu di lorong panjang yang dingin, menahan rasa cemas. Setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk jantungnya.

Beberapa jam kemudian, pintu akhirnya terbuka. Para jenderal keluar dengan wajah serius. Arthur menyusul paling belakang, jubah hitamnya berkibar. Matanya langsung bertemu dengan Camilla, namun dia tidak berniat menyapanya.

Camilla berlari menghampiri. “Apa yang terjadi?”

Arthur menghela napas, menatapnya dalam. “Aku harus memimpin pasukan ke Utara. Musuh terlalu kuat. Jika aku tidak berada di sana, kita bisa kehilangan benteng dalam sekejap.”

Camilla terdiam, semuanya terjadi lagi, namun kali ini pria itu belum menyebutkan nama Annette.

Mungkin masa depan bisa berubah..

Arthur menatapnya lama, lalu berkata “Ibu Suri akan memanggil dua Lady dari peserta Putri Mahkota untuk menemani mu selama aku pergi berperang.”

Camilla tertegun.

“Ketika aku pergi, kau akan jadi sasaran empuk. Aku tidak bisa membiarkanmu sendirian di istana, apalagi dengan semua mata mengawasimu. Karena itulah..”

*Brengs*k.. kau khawatir dengan keselamatanku? Lalu kenapa harus membawa wanita lain yang jelas-jelas akan membuatmu malah tertarik padanya nanti! Bahkan dia akan membuat sekutu untuk membunuhmu*!

Arthur melanjutkan, “Annette sudah dipilih, kau tahu dia, gadis dari keluarga Marquis Leclair. Dia cukup cerdas, dan keluarganya loyal pada kerajaan. Satu lagi… adalah Seraphina, putri bangsawan kecil dari Selatan. Dia tenang, penuh perhitungan, dan dipercaya oleh dewan.”

“Jadi… kau akan menaruh dua sainganku di sisiku?” suara Camilla pecah, tak percaya.

“Bukan saingan.” Arthur mendekat, menatapnya lurus. “Mereka adalah perisai. Jika ada yang mencoba menyakitimu, mereka akan jadi garis depan. Tidak ada yang akan berani menyentuhmu jika kau dikelilingi calon Putri Mahkota resmi.”

Apa aku boleh mengatainya!

Camilla tersenyum mengejek lalu balas berkata, "Apa kau mencintaiku sampai kau khawatir padaku? Jika tidak, seharusnya kau biarkan aku mati di sini selama kau pergi!"

Ada keheningan setelah Camilla memutuskan mengeluarkan semua amarahnya.

Lucunya, Arthur sama sekali belum tahu, apakah ini di sebut cinta atau hanya rasa kasihan pada Camilla yang nampak lemah di matanya.

***

Keesokan harinya, Annette dan Seraphina tiba di istana.

Annette, dengan gaun biru muda, berjalan anggun sambil menebar senyum yang terlalu manis. Tatapannya sempat melirik Camilla, ada kilatan kepuasan terselubung di matanya.

Sementara Seraphina tampak kontras. Ia berambut hitam legam, wajahnya tenang tanpa banyak ekspresi. Matanya dingin, seakan menilai semua orang tanpa bicara.

Mary yang berdiri di samping Camilla menggenggam tangannya pelan. “Yang Mulia.. hati-hati. Gadis-gadis ini mungkin terlihat manis, tapi masing-masing punya ambisi.”

Camilla hanya mengangguk, wajahnya datar. Namun dalam hati, badai berkecamuk.

Arthur memperkenalkan keduanya secara resmi di aula kecil. “Annette, Seraphina, mulai hari ini kalian akan tinggal di istana. Tugas kalian adalah menemani Camilla dan memastikan keselamatannya.”

Annette tersenyum cerah. “Merupakan kehormatan besar, Yang Mulia. Saya akan menjaga Lady Camilla seolah ia saudari saya sendiri.”

Camilla nyaris tersedak mendengar kata-kata itu.

Seraphina hanya menunduk sedikit. “Saya akan menjalankan tugas sesuai titah Anda.”

Arthur mengangguk, lalu beralih menatap Camilla. Tatapannya seolah berkata percayalah padaku, meski bibirnya tidak mengucapkan.

Namun Camilla hanya diam, tangannya mengepal di balik rok. Ia tidak bisa membantah di depan semua orang, tapi hatinya memberontak.

Malam itu, Camilla duduk di kamarnya, menatap lilin yang hampir habis. Mary sibuk membereskan tempat tidur, sesekali menatapnya dengan khawatir.

“Apa Anda benar-benar baik-baik saja, Yang Mulia?” tanya Mary pelan.

Camilla menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Mary. Arthur bilang ini demi keselamatanku tapi rasanya seperti dia tidak percaya aku bisa menjaga diriku sendiri. Dan sekarang, aku harus berbagi udara dengan mereka.”

Mary mendekat, duduk di sampingnya. “Mungkin Putra Mahkota benar-benar cemas. Perang ini berbahaya, dan dia tidak ingin ada celah.”

Camilla menggigit bibirnya. “Tapi kenapa harus Annette? Kenapa harus seseorang yang jelas-jelas menaruh dendam padaku?”

Mary menunduk. Ia tidak bisa menjawab, karena di lubuk hatinya pun ia setuju dengan Camilla.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!