Alaska Arnolda, CEO terkenal Arnolda, terpaksa menanggalkan jas mewahnya. Misinya kini: menyamar diam-diam sebagai guru di sebuah SMA demi mencari informasi tentang pesaing yang mengancam keluarganya. Niat hati fokus pada misi, ia malah bertemu Sekar Arum Lestari. Gadis cantik, jahil, dan nakal itu sukses memenuhi hari-hari seriusnya. Alaska selalu mengatainya 'bocah nakal'. Namun, karena suatu peristiwa tak terduga, sang CEO dingin itu harus terus terikat pada gadis yang selalu ia anggap pengganggu. Mampukah Alaska menjaga rahasia penyamarannya, sementara hatinya mulai ditarik oleh 'bocah nakal' yang seharusnya ia hindari?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BabyCaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15 - Kehidupan Baru Arum
Arum melihat Dian berdandan cantik seperti biasa, make up rapi dan rambut yang terurai sedikit bergelombang membuat wanita itu tampak lebih dewasa dari usianya. Gaunnya yang ketat berwarna hitam keemasan memantulkan cahaya lampu ruang tamu, menambah kesan glamor khas pekerja malam.
Arum menahan napas sebentar; melihat Dian berdandan seperti itu memang bukan hal baru, tapi tetap saja ia merasa khawatir. Gadis itu tahu betul dunia tempat Dian bekerja tidak selalu ramah bagi perempuan.
“Rum, kakak mau pergi dulu. Kok keringatan ga jadi naik taxi?” tanya wanita itu bingung sambil merapikan lipstiknya yang merah marun.
“Naik ojek kak, kak kenapa sih pake baju kayak gitu mulu, ga malu apa ya?” Arum bertanya dengan polos, tanpa menyadari bahwa kekhawatirannya begitu terlihat di wajahnya.
“Yang benar aja lu masa gua pakai cadar. Gua kerja di club tertutup kan aneh kocak,” tawa Dian terlepas begitu saja, ringan namun tetap menunjukkan sikap cuek ala dirinya.
“Ya tetap aja kakak nanti digodain cowo,” keluh Arum sambil manyun.
“Siapa yang mau godain barkes kayak gua. Lu walaupun pake pakaian tertutup selama kerja kalau otak orang lagi eror, sekali eror tetap eror. Jadi ingat, kalau lu ngerasa ada orang yang jahatin lu langsung lapor gua,” ucap Dian, nada seriusnya muncul di bagian akhir.
Arum mengangguk pelan. Selama bekerja di club itu, syukurnya ia belum pernah bertemu pelanggan aneh. Tugasnya jelas: hanya mengantar minuman.
Tidak perlu duduk menemani tamu, tidak perlu tersenyum manis berlebihan, dan tidak perlu bersentuhan dengan siapa pun. Tapi tetap saja, pertama kali ia bekerja di sana, kenyataan yang ia lihat membuat matanya terbuka lebar.
Banyak gadis muda, bahkan beberapa masih terlihat seperti anak SMA. Ada juga anak kuliah yang rela menjadi LC atau simpanan demi mengejar gaya hidup glamor. Dunia malam benar-benar penuh cerita yang tidak pernah diceritakan di siang hari.
Untungnya, Dian selalu mengawasinya. Wanita itu mengingatkan kalau orang mabuk sering berbuat bodoh. Arum harus pintar jaga jarak. Jangan terlalu dekat. Jangan menatap mata pria terlalu lama. Dan jika ada yang bertingkah, segera panggil satpam atau panggil Dian.
“Nanti malam weekend, kau datang ya. Pasti ramai, banyak yang reservasi juga,” ucap wanita itu sambil meraih tas kecilnya.
“Iya kak, nanti Arum masak dulu ya bawain bekal buat kakak,” jawab gadis itu.
“Lu dah kayak bocah aja gua dibikin. Bukan kerja kantoran dibawain bekal, tapi bawain ya makanan lu enak,” kekeh Dian akhirnya tersenyum.
“Siap kakak!” seru Arum dengan semangat empat lima.
“Yaudah pergi dulu, bye.” Dian melambaikan tangan santai lalu keluar rumah.
Arum memandangi punggung wanita itu sebentar sebelum akhirnya menutup pintu. Sejak tinggal bersama Dian, ia merasa benar-benar dihargai. Dian memperlakukannya seperti adik sendiri. Arum menghela napas, lalu menaruh barang belanjaan ke meja dapur.
Sejak di sekolah dulu, Arum memang tidak punya ponsel. Bila anak-anak lain sibuk dengan media sosial, Arum bahkan tidak tahu apa itu Instagram atau TikTok secara langsung. Hidupnya seperti berada di belakang zaman. Ibarat semua orang punya TV, ia masih mendengar berita lewat radio. Semua itu karena Sarah tidak pernah memberinya uang jajan. Ponsel? Mustahil.
“Apa besok pinjam HP kak Dian aja ya? Tapi kan aku ga punya nomor mereka juga. Apa aku izin sehari aja ya? Boleh ga ya… kangen yang lain,” gumam Arum sambil menyandarkan dagu di meja.
Gadis itu melanjutkan aktivitasnya. Waktu berlalu tanpa disadari. Matahari berganti dengan lampu-lampu malam di luar jendela. Setelah selesai makan dan membersihkan piring, Arum bersiap untuk pergi bekerja. Ia memegang kotak bekal yang sudah dimasak tadi, tersenyum kecil saat membayangkan Dian akan senang.
Sesekali ia memandangi ruangan utama rumah mewah itu. Hanya ada foto Dian terpajang, tidak ada foto keluarga lain. Rumah itu hening, sepi, dan sedikit terasa dingin meski luasnya luar biasa.
“Apa kakak juga tidak punya ayah dan bunda sama seperti aku ya? Tapi kakak sangat baik,” gumamnya lirih.
“Semoga kakak bertemu pria yang baik agar dia tidak terus hidup seperti ini. Karena sebenarnya dia orang yang baik,” tambahnya lagi, senyum kecil muncul di bibirnya.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Arum mengambil jaket tipisnya lalu keluar rumah, menutup pintu dengan perlahan. Dia harus berjalan sedikit ke depan untuk menemukan ojek karena malam seperti ini tidak banyak yang mangkal.
Perjalanan menuju club hanya memakan waktu sekitar lima belas menit. Dari jauh, tulisan neon besar bertuliskan:
Club Las Vegas KW
Lampu-lampu ungu dan merah muda berkelip di sekitarnya. Banyak mobil mewah terparkir rapi di area valet. Beberapa bahkan ditutupi kertas pada bagian plat nomor tindakan lumrah bagi pria-pria yang ingin menyembunyikan identitas demi menghindari masalah rumah tangga.
Satpam di pintu melirik Arum dan tersenyum.
“Arum, rajin sekali,” sapa pria itu.
“Semangat begadang kak,” kekeh Arum sambil menepuk bahunya.
Ia melangkah masuk, melewati lorong yang redup. Aroma parfum mahal bercampur asap rokok mulai terasa. Dentuman musik makin terdengar jelas. Lampu warna-warni memantul di dinding dan langit-langit. Jam segini belum terlalu ramai, tapi tetap saja suasananya bising.
Saat pertama kali ke sini, Arum ketakutan. Tapi sekarang ia sudah bisa mengikuti ritme tempat ini. Ia melewati lantai dansa yang sudah dipenuhi beberapa orang yang mulai memanaskan suasana dengan tarian mereka. Arum bergegas masuk ke lorong lain menuju ruangan bertuliskan Staff Only.
Saat ia membuka pintu, semua kepala menoleh.
Para wanita malam itu mengenakan baju seksi, makeup tebal, rambut disemprot hairspray hingga kaku. Mata-mata mereka menatap Arum tajam namun bukan benci lebih ke refleks karena pintu terbuka.
“Wah hari ini kalian tampak seksi sekali,” ucap Arum sambil tertawa kecil.
“ARUMMM!!! KAMI KIRA SIAPA!” teriak mereka serempak, membuat ruangan dipenuhi gelak tawa.
“Arum, kau bawa apa itu? Sangat wangi, masak apa?” tanya Vivi sambil memeluk Arum dengan gemas.
“Ini makan malam buat kak Dian, udang kesukaan kak Dian,” tawa gadis itu sambil mengangkat kotak bekal.
“Yah buat kak Dian doang!” teriak Salsa penuh protes.
“Arum gamau coba pakai baju gini? Juga dada mu sangat bulat dan besar untuk ukuran anak seumuran mu. Kau laku keras loh,” goda Salsa sambil mengangkat alis naik turun.
Arum langsung tersipu, tetapi sebelum ia sempat membalas, pintu ruang dalam terbuka. Seorang wanita dengan gaun merah menyala dan syal bulu ungu keluar. Aromanya harum, langkahnya mantap, dan raut wajahnya elegan namun tajam.
Dian.
Wanita itu mendengar suara gaduh dari luar dan langsung melirik Vivi sebelum menoyor keningnya.
“Jangan racuni Arum ya, atau bayaranmu aku potong,” ucap Dian.
“Ih Madam bercanda! Minta udangnya aja deh madam,” keluh Vivi manja.
“Minta ke langgananmu itu. Aku lihat dia selalu memesanmu, pasti kau memiliki tip lain bukan,” lirih Dian sambil menyipitkan mata.
“Hehe tau aja madam,” Vivi terkekeh.
“Yaudah, Arum sana ganti baju mu. Nanti tamu makin rame, yang di depan pada susah,” ucap Dian akhirnya.
“Siap, jangan lupa makan dulu ya kak. Bye kakak-kakak,” ucap Arum sambil melambaikan tangan.
...----------------...
Fyi, jangan lupa mampi ke cerita aku yang lain ya masih on going juga lah kisah ini cerita anak dari Reno dan Anggun, terimakasih\~