NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24 – Blue Star Menembus Batas

Ruangan tiba-tiba terasa seperti ruang operasi yang hening namun penuh denyut, setiap nafas dan detak jantung seakan ikut terekam oleh proyektor yang memantulkan cahaya biru ke wajah-wajah yang tadinya tenang namun kini menegang satu persatu.

Embun, duduk santai di ujung meja dengan laptop di pangkuan seperti pianis yang hanya menunggu satu nada untuk memulai konsernya, menatap layar proyektor sementara jari-jarinya masih bergerak pelan, kemudian semakin cepat, lalu akhirnya menari dengan ritme yang presisi, karena apa yang bergerak di layar bukan sekadar angka tapi sebuah pola hidup yang sengaja ia rancang untuk menantang asumsi—bukan merusak—sebuah pesan teknis yang menyisir setiap lapisan simulasi hingga pola-pola lama yang diam-diam membuat sistem merasa aman kini dipaksa untuk mengakui bahwa ada logika lain yang lebih adaptif.

Di dinding proyektor, huruf-huruf tegas muncul lalu menghilang, menyusul dengan kilasan-kilasan visual yang membuat semua orang di ruangan menahan napas:

THE BLUE STAR — YOU READY?

— dan dari titik itu segala sesuatu berubah dari kegaduhan administratif menjadi medan bukti, di mana garis-garis biru dan hijau berlari seperti pembuluh data yang hidup, memantul ke wajah para penonton sehingga ekspresi mereka terbaca jelas: penasaran, khawatir, terkejut, dan sedikit, entah bagaimana, terkagum.

Pak Sofyan mencondongkan tubuh sesaat, rahangnya mengeras karena tidak pernah ia bayangkan bahwa seorang kandidat bisa memulai demonstrasi dengan cara yang begitu berani, sementara Pak Ardan yang biasanya membaca angka seperti orang membaca koran pagi, kini menatap layar nyaris tanpa berkedip karena ada sesuatu yang memanggil rasa ilmiahnya.

Sebuah teka-teki canggih yang menuntut solusi non-konvensional; dan Ferdi, yang sejak awal hendak mempertontonkan superioritas timnya, kini menekan tombol demi tombol dengan wajah memerah karena setiap perintah yang ia keluarkan bukan menutup celah namun justru mengungkap pola baru dari Blue Star yang menyesuaikan diri dalam hitungan detik.

Proyektor menampilkan jalur-jalur logika yang tampak seperti peta digital yang sedang diacak tanpa merusak, pola demi pola berganti dan menimbulkan pusaran yang membuat layar seolah bernapas; ada grafik yang menukik kemudian melonjak, ada notifikasi yang berdentang serentak, ada pesan “System anomaly detected” yang muncul bergantian dengan “Unauthorized script in progress” dan “Isolate node failed”, namun alih-alih panik, Embun tetap duduk tegap, senyum tipisnya tak hilang, tatapan matanya tetap fokus pada titik yang hanya ia lihat—pola kelemahan yang sengaja ia biarkan terbuka sedikit agar sistem bisa diuji, bukan dirusak.

Ketika layar menampilkan pesan baru —‘Blue Star Accessing System Core…’—

Udara di ruangan semakin berat; Ferdi, yang melihat garis-garis biru itu menelusup semakin dalam, mengetik perintah dengan panik yang semakin nyata, serangkaian perintah signature scan, heuristic run, isolasi modul dijalankan secara berulang namun setiap kali perintah itu dieksekusi, respon di layar tidak menyusut melainkan berubah menjadi varian lain yang bahkan lebih rumit, dan keringat di pelipis Ferdi menambah ironi situasi: lelaki yang mengklaim kuasa atas sistem paling canggih di negeri ini kini dibuat berusaha sekeras-kerasnya melawan sebuah pola yang dirangkai bukan untuk menghancurkan melainkan untuk memaksa sistem berpikir ulang.

Di tengah kebisingan keyboard dan suara kipas yang semakin keras, Embun menatap dengan tenang lalu berkata, suaranya lembut namun tajam seperti bilah yang mengiris malam,

“Silakan, Pak, virusnya sudah mulai bergerak; saya mau lihat kehebatan antivirus yang Bapak banggakan tadi,”

Dan tantangan itu menggantung, bukan sebagai provokasi murahan, melainkan sebagai ajakan ilmiah yang memaksa mereka memilih antara mengakui keterbatasan atau bertahan pada klaim tanpa bukti.

Ferdi menelan ludah, tangannya bergerak seperti mesin dan nadanya mulai meninggi ketika ia menjawab, namun setiap taktik yang ia lancarkan seolah diantisipasi, setiap signature yang ia tambal justru menjadi titik baru bagi Blue Star untuk berekspresi lebih jauh.

Pola enkripsi muncul, core access dikunci, dan proyektor memamerkan teks yang membuat ruang menjadi beku:

‘Encryption Completed — Core Access Locked’,

Sementara suhu emosi di wajah Ferdi berubah dari percaya diri menjadi frustrasi terbuka, sedangkan Pak Ardan mengangkat alisnya, bukan karena takut menanggung malu, melainkan karena rasa kagum teknis yang tak bisa ia sembunyikan lagi.

Ketika Ferdi, dengan suara yang tercekik malu dan kebanggaan yang tercabik, masih berusaha memulihkan situasi dengan mengetik perintah demi perintah, Embun menatapnya sejenak lalu melontarkan satu kalimat tenang yang membuat kata-kata di ruangan itu menurun volumenya menjadi bisik,

“Sepertinya sistem antivirus yang Bapak banggakan belum bisa menangani virus adaptif yang berlapis,” dan ucapan itu bukan sindiran kosong melainkan diagnosis yang membumi, karena memang Blue Star bekerja dengan prinsip adaptasi berlapis yang memaksa alat defensif yang statis untuk berevolusi atau menelan kenyataan.

Keheningan berikutnya membawa gelombang ego yang dilanggar: Ferdi memaki pelan, berusaha kembali menambal celah yang terus berpindah, namun setiap usaha yang dilakukannya seolah hanya mempercepat penyandian yang diciptakan Blue Star.

Layar menampilkan angka-angka yang menukik, CPU yang melonjak, log yang menumpuk seperti ombak yang tak henti, hingga akhirnya Pak Ardan, yang sejak mula menonton dengan mata ilmuwan, ikut turun tangan—bukan karena putus asa namun karena rasa ingin tahu profesional yang memaksa tangan-tangannya bergerak, karena inilah momen langka ketika teori dan praktik saling bertarung di depan mata.

Pak Ardan menarik napas panjang, menempatkan kedua tangannya di keyboard dengan gerakan tenang namun pasti, sambil berkata dengan nada yang bukan menandai kekalahan melainkan pengakuan akan kualitas lawan,

“Baiklah, Mbak Embun, saya bantu Pak Ferdi; mari kita lihat seberapa dalam pola serangan ini bekerja dan apa yang sebenarnya Anda sembunyikan di balik lapisan-lapisannya,” dan kata-kata itu mengubah dinamika ruangan menjadi kolaborasi darurat, karena seorang CIO tidak cuma ingin menang tapi juga belajar saat ia menemukan sesuatu yang belum ia prediksi.

Embun menunduk ringan, memberi isyarat sopan yang sederhana namun penuh arti, “Silakan, Pak,” katanya,

dan dalam momen yang sarat tensi itu, ketika dua aliran teknik bertemu di layar—satu dari sisi defensif Ferdi yang panik dan satu dari sisi analitis Ardan yang terfokus—terlihat bagaimana kompetisi berubah menjadi proses pembelajaran kolektif, sementara semua orang di meja, termasuk Pak Sofyan yang sejak awal hanya mengamati dengan kepedulian seorang mediator, menyaksikan bukan hanya pertarungan yang memperlihatkan batas kemampuan sebuah produk, melainkan juga munculnya pengakuan bahwa kemampuan seorang kandidat dapat membawa perusahaan untuk berpikir ulang tentang definisi kekuatan sistemnya sendiri.

Grafik CPU di layar besar makin liar—naik, turun, melesat, lalu merosot lagi seperti gelombang badai elektronik yang tidak bisa diprediksi. Semua garis yang tadinya stabil kini bergerak zig-zag, melengkung, memanjang, lalu menyempit dalam hitungan detik. Log sistem tidak lagi muncul satu baris per satu baris, melainkan meledak seperti hujan meteor digital.

Ferdi yang tadinya duduk dengan dada membusung kini tampak seperti seseorang yang ditinggalkan kapal di tengah laut. Wajahnya pucat, bukan karena takut, tetapi karena ia tidak pernah membayangkan skenario di mana antivirus Atmaja—kebanggaan pribadinya sekaligus proyek yang ia jaga bertahun-tahun—dapat dipukul mundur sedemikian rupa.

Jari-jarinya mulai gemetar. Keyboard-nya tidak lagi terdengar presisi—melainkan seperti suara orang yang mencoba memecahkan teka-teki sambil dikejar waktu.

“Nggak mungkin… ini nggak mungkin…” gumam Ferdi, pelan namun penuh tekanan.

Ia berpikir keras, ‘apakah ini hanya simulasi yang dipalsukan? Apakah Blue Star memanfaatkan celah tak resmi?’ Namun setiap log menunjukkan hal yang sama:

Behavior adaptif.

Unpredictable branching.

Self-modifying heuristic.

Virus itu benar-benar hidup.

Pak Sofyan menelan ludah, pandangannya bergeser antara monitor dan wajah Ferdi yang mulai merah. Ardan masih tenang, tetapi tegangnya jelas terlihat dari garis rahangnya yang mengeras.

Dan Embun…

Gadis itu bersandar santai, kedua tangannya terlipat di dada, matanya terfokus sepenuhnya pada pola-pola Blue Star seperti seseorang yang sedang menikmati sunrise dari tempat paling tinggi.

Pertandingan sepihak.

**

Di lantai lima puluh, ruang kerja Langit biasanya terasa seperti pusat kendali sebuah kerajaan teknologi—hening, jernih, penuh garis rapi dan cahaya kaca yang memantulkan langit kota Surabaya. Laptopnya jarang sekali berulah. Sistem internal Atmaja Group dibangun dengan struktur berlapis yang ia sendiri ikut rancang bertahun-tahun lalu. Tidak ada anomali yang lewat tanpa sepengetahuannya.

Namun, sore itu, layar laptopnya berkedip lagi untuk kesekian kalinya—ritmis, seperti pola yang sengaja dibuat. Satu kedipan setiap tiga menit. Terlalu teratur untuk dianggap glitch.

Langit menghentikan aktivitasnya, telunjuknya menekan cepat beberapa shortcut hingga activity monitor terbuka. Data CPU melonjak turun naik dalam pola yang tidak ia kenal. Ada peringatan kecil yang berkedip di sudut layar:

“Unusual Simulation Interaction Detected.”

Dahinya mengernyit. Simulasi? Siapa yang menjalankan simulasi di jam kerja—tanpa izin divisi IT utama?

Ia mengetik beberapa baris command untuk memastikan lapisan mana yang terimbas. Layar menampilkan hasil scan cepat… kemudian pesan lain muncul:

“Behavior anomaly — pattern unidentified.”

Langit mencondongkan tubuh, alisnya turun, ekspresinya berubah serius.

Ia menekan tombol interkom. “Reno, ke ruangan saya. Sekarang.”

Tak sampai satu menit, pintu diketuk dan Reno masuk—membawa laptop tipis dengan sticker debugging di pojoknya, wajah fokus, bahu tegang, dan sikap formal yang langsung menyesuaikan atmosfer bosnya.

“Ya, Pak? Ada masalah?”

Langit menunjuk layar. “Lihat ini. Aktivitas abnormal. Polanya tidak dikenal. Bantu cek.”

Reno langsung membuka laptop, dan duduk di seberang meja. Ia mengetik cepat, membuka akses internal, lalu mencocokkan traffic yang muncul di layar Langit dengan traffic yang ia tangkap.

Dalam hitungan detik, browsenya terbuka, lalu terminal mengeluarkan baris demi baris informasi jaringan.

“Saya trace dulu, Pak.”

Langit mengangguk. Ia ikut membuka aksesnya sendiri, jari-jarinya cekatan seperti engineer murni yang sudah puluhan kali beperang melawan bug dan anomali sistem. Ia tidak hanya memerintah—ia ikut menganalisis.

Reno memicingkan mata, menekan beberapa tombol tambahan, memfilter log, lalu… Mendadak tubuhnya menegang.

“Pak… IP-nya ketemu.” Suaranya menurun setengah oktaf—bukan takut, tapi kaget.

Langit mendongak. “Dari mana?”

Reno menatap layar, lalu menatap Langit lagi. Hanya satu detik, tapi cukup untuk memberi tahu bahwa ada sesuatu yang tidak masuk akal.

“IP-nya… dari dalam gedung ini, Pak. Dari jaringan internal Atmaja sendiri.”

Langit membeku sepersekian detik. Kemudian tubuhnya condong ke depan.

“Internal?”

“Iya, Pak. Untuk lokasinya akan saya cari tahu.” Reno menggulirkan layar, menunjukkan detil routing. “Sepetinya … ini dari lantai sepuluh, pak. Soalnya gedung ini punya kode tersendiri disetiap lantai, dan lokasinya ada di lantai sepuluh.”

“Lantai Divisi HRD?” tanya Langit menatap Reno.

“Sepertinyaa, Pak”

Hening turun seperti kabut tebal. Langit menatap layar Reno, lalu ke layarnya sendiri, memastikan keduanya menampilkan informasi yang sama.

Dan memang sama.

‘Ada seseorang menjalankan serangan simulasi—atau serangan sungguhan—dari dalam Atmaja Group.’ Mata Langit mengeras. Dingin. Berbahaya.

“Sudah berapa lama ini berjalan?”

Reno mengecek time stamp. “Hampir tiga puluh menit, Pak.”

Langit tidak suka jawaban itu. Bukan hanya karena durasinya lama, tapi karena antivirus Atmaja—yang ia banggakan, yang ia biayai miliaran rupiah—tidak menghentikan serangan kecil pun.

“Kalau ini benar serangan, kenapa sistem kita belum memblokirnya?”

Reno menelan ludah. Ia jarang terlihat gugup, tapi kali ini wajahnya serius penuh.

“Saya… saya nggak tahu, Pak. Ini bukan pola umum. Bukan malware komersial, bukan exploit publik, bukan signature yang dikenal. Polanya adaptif.”

Ia mengetik lagi. “Dan… Pak… bentuknya seperti… uji penetrasi, tapi versi… sangat canggih.”

Langit memejamkan mata sejenak. Bukan karena lelah—tetapi karena mulai memahami sesuatu yang jauh lebih besar.

“Siapa yang berani melakukan ini di dalam gedung saya…”

Sebelum ia sempat melanjutkan, pintu ruangan terbuka. Sosok Papi Arga muncul dengan wajah serius, coat kerjanya masih menempel, matanya langsung memindai kedua laptop itu.

“Ada apa ini, Lang? Papi dengar dari pusat monitoring bahwa sistem simulasi kita tidak stabil. Apa ini serangan cyber?”

Langit mengangkat wajah. “Belum tahu pasti, Pih. Reno baru tracking IP-nya.”

Papi Arga menatap Reno. “Dari luar atau dalam?”. Maksud Papi Arga adalah serang dari dalam negeri atau dari luar negeri

Reno menarik napas panjang sebelum menjawab. “Dari dalam, Pak. Dari gedung ini sendiri.”

Papi Arga langsung menegakkan tubuh. “Dari lantai mana?”

“Lantai sepuluh. Lantai divisi HR. Ada aktivitas yang… nggak biasa.”

Langit menutup laptopnya dengan tegas. Suara klik-nya terdengar tajam.

“Kita turun ke bawah.” Nada suaranya datar, tapi dinginnya bisa membuat ruangan retak.

Papi Arga mengangguk. “Papi ikut.”

Reno segera berdiri, laptop masih terbuka di tangannya, matanya tetap terpaku pada grafik CPU yang kini memunculkan pola-pola liar seperti badai digital.

“Pak, simulasi serangan ini, berhasil melumpuhkan Sebagian data. Ada beberapa data yang tidak bisa dibuka” ucap Reno dengan wajah tegang.

Mereka bertiga berjalan cepat menuju lift. Pintu lift terbuka seakan ikut merasakan kepanikan server.

Mereka masuk. Langit berdiri paling depan dangan Papi Arga, wajah mereka berdua kaku seperti marmer.

Lift mulai turun. 50… 45… 41…

Reno melaporkan sambil memperhatikan layar, “Pak… virusnya makin cepat. Antivirus nggak bisa ngunci. Ini… bukan random script.”

Langit melirik ke arahnya. “Bilang saja apa yang kamu pikirkan.”

“…sepertinya otak di balik simulasi serangan ini sangat jenius, Pak.”

Papi Arga menoleh dengan tajam. “Maksudmu serangan ini DIKONTROL langsung?”

Reno menunduk ringan. “Iya, Pak. Polanya bukan otomatis. Terlalu rapi untuk chaos, terlalu cepat untuk kerja manual. Ini… perpaduan.”

Lift turun lagi. 12… 11…

Langit menghela napas panjang, namun bukan napas menyerah—melainkan napas seseorang yang sudah siap menghadapi apa pun yang menunggunya.

Ketika angka digital berubah menjadi 10, lift berhenti dengan ding pelan.

Pintu membuka. Dan ketiganya melangkah keluar—

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!