"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAR VORTEX
Malam menjelang, langit kota berwarna hitam pekat dengan lampu-lampu jalan memantul di aspal basah. Di dalam markas Shadow of Death, suasana terasa lebih tegang dari biasanya.
Para anggota berbaris rapi di sepanjang lorong utama, menunduk dalam diam. Mereka tahu, malam ini nona mereka turun tangan sendiri.
Dari balik pintu logam besar, muncul sosok Thalia. Bukan sang gadis absurd yang bisa membuat semua orang pusing karena kelakuannya.
Yang berdiri di hadapan mereka kini adalah pemburu maut dalam balutan keanggunan.
Gaun hitam pas badan dengan belahan tinggi di sisi paha memperlihatkan sedikit kulit mulusnya, namun cukup untuk menyembunyikan deretan senjata yang terselip di sana, pisau lipat, senjata api mini, dan pistol perak legendarisnya.
Rambutnya terikat rapi dengan beberapa helaian dibiarkan jatuh alami di bahu, bibirnya merah gelap tanpa berlebihan, dan aroma parfumnya lembut tapi tajam, seperti peringatan bagi siapa pun yang mendekat.
Semua anggota Shadow menunduk. Tak satu pun berani menatap terlalu lama. Mereka sudah tahu akibatnya. Namun di antara ketakutan, ada decak kagum tersembunyi.
Langkah sepatu hak tingginya terdengar mantap,
tak… tak… tak…
menyusuri lantai dingin markas bawah tanah itu. Salah satu anggota memberi laporan, “Semua sudah siap, Nona. Mobil di depan sudah menunggu. Kami akan mengawal dari jarak aman.”
Thalia menatap cermin besar di dinding. Senyum miring muncul di wajahnya.
“Cantik bukan untuk dipuji,” katanya sambil mengaitkan pistol perak di paha kanannya. “Cantik cuma alat buat mematikan orang tanpa mereka sadari.”
Ia melangkah menuju pintu keluar, lalu berhenti sejenak, menatap semua bawahannya.“Target kita Tuan Joko. Lokasi ada di Bar Vortex, pusat kota. Jangan ada yang ikut campur kecuali kupanggil.”
Sebelum masuk ke dalam mobil sport hitam miliknya, Thalia berbisik lirih, suara yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
“Baiklah, Tuan Joko… malam ini terakhir kau menghirup udara.”
Ia tersenyum tipis, menaikkan kaca mata hitam kecil di ujung hidungnya meski malam sudah larut. Begitu pintu mobil tertutup, deru mesin mengaum, dan konvoi kecil mobil bayangan mulai bergerak mengikuti dari jauh.
Langit malam, lampu kota, dan deru mesin, semuanya menyambut kembalinya sang pembunuh elegan yang sudah lama tertidur.
Di belahan bumi lainnya, tepatnya di markas Golden Blood Athar dan kelima sahabatnya juga sedang bersiap.
"Bos siap.. " Tanya Raka menatap Athar.
"Hemm.. Cabut"Ucap Athar datar.
Deru lima motor sport mengoyak malam yang dingin. Di bawah sorotan lampu jalan, konvoi itu melaju cepat seperti kilatan bayangan, tanpa pelat nomor, tanpa simbol, tanpa identitas apa pun. Hanya suara knalpot yang berat dan teratur, khas geng Golden Blood.
Athar melaju di posisi paling depan, helm hitamnya menutup rapat wajah dinginnya.
Ia tidak membawa senjata yang dipesan malam ini, hanya pistol pribadi dan belati di dalam jaket kulitnya.
Baginya, malam ini bukan soal transaksi.
Malam ini soal intuisi. Sesuatu terasa janggal.
Dibonceng angin malam, suara Dion terdengar di intercom kecil yang terpasang di helm,“Bos, pembeli udah konfirmasi. Dia di Bar Vortex, ruangan VIP lantai dua. Katanya sendirian.”
Athar menjawab datar, "Terlalu mencolok”
Raka yang berada di belakang menyahut sambil terkekeh,“Mungkin dia pengen gaya. Biar keliatan berani. Atau… dia pengen pancing kita keluar dari sarang.”
Athar tak menjawab. Ia hanya menyalakan lampu sinyal tangan, kode diam mereka.
Semua anggota langsung paham.
Formasi menyebar.
Satu blok sebelum Bar Vortex, mereka berhenti. Lima motor berjejer rapi di gang sempit, tersembunyi dari pandangan orang.
Dion menatap Athar, “Jadi kita gak bawa senjata pesanan, kan?”
Athar membuka helmnya perlahan. Tatapan tajamnya memantul dari cahaya lampu jalan.
“Hem...jika jebakan habisi."Ucap Athar dingin dan menatap sahabatnya kembali "jika pembeli berikan."
Rafi menarik napas dalam-dalam, “Tempatnya rame, bos. Banyak sipil. Kalo salah langkah bisa kacau.”
Athar menatap sekeliling bar yang dari luar tampak seperti tempat hiburan biasa, tapi dengan pengamanan yang terlalu rapi untuk ukuran klub malam biasa.
“Itu dia. Terlalu rapi untuk tempat bersenang-senang.”
Suara mesin dimatikan satu per satu.
Mereka berjalan kaki menuju barberpakaian seperti anak geng motor biasa.
Tak ada simbol Golden Blood di tubuh mereka malam ini, karena operasi ini harus senyap.
Athar memimpin masuk, matanya langsung menyapu seluruh ruangan, musik keras, lampu neon, dan aroma alkohol bercampur parfum mahal. Tapi di balik semua itu… ada aura lain. Sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Ia berbisik pada Dion tanpa menoleh,“Ada sesuatu yang gak beres. Fokus. Siap di posisi.”
Dan di saat yang sama, di sisi lain bar, pintu belakang terbuka…
Langkah sepatu hak tinggi terdengar mantap.
Thalia melangkah masuk, diiringi dua bayangan berpakaian hitam.
Athar tidak sadar target malam ini bukan hanya miliknya.
Malam ini, dua dunia bayangan akan berpapasan tanpa mereka tahu bahwa lawan di depan adalah orang yang sama… yang diam-diam mulai mengisi ruang hati masing-masing.
Lima pemuda dengan penampilan ala geng motor melangkahkan kakinya menuju Ruang VIP, di tangan sang ketua Athar sudah menyampir ransel yang ia isi tumpukan sampah dan atasnya pistol replika pesanan pembeli.
Saat sampai di ruang VIP udara terasa menegangkan. Lampu temaram menciptakan bayangan samar di wajah pria paruh baya yang duduk di sofa empuk berlapis kulit.
Di depannya, Athar berdiri tenang dengan jaket hitam yang terbuka, tas besar di tangannya diletakkan di atas meja.
Pria itu tersenyum lebar, menghembuskan asap rokok perlahan.“Ah, Tuan Athar. Rupanya Golden Blood tetap menepati janji. Aku kira kalian cuma omong besar.”
Athar tak membalas, hanya menatap datar. Ketika Raka, Rafi, Dion, dan Doni hendak duduk, pria itu menegakkan tubuh dan menyipitkan mata.“Apa Tuan Athar takut kalau cuma transaksi berdua dengan saya?”
Nada suaranya seperti ejekan, berisi tantangan terselubung.
Athar mengangkat alis, lalu tersenyum miring senyum khas yang membuat lawan sulit menebak apakah ia sedang tenang… atau siap menyerang. “Takut bukan gaya saya,” ucapnya datar, lalu memberi kode halus dengan gerakan tangan.
Keempat temannya langsung paham.
Tanpa perdebatan, mereka keluar ruangan, menutup pintu dengan tenang.
Begitu di luar, Raka berbisik pelan sambil menempelkan alat komunikasi ke telinganya.
“Untung si bos pasang alat sadap sama kamera kecil di jaketnya. Kita bisa denger semua percakapan dan situasi di dalam dari sini.”
Doni mengangguk, fokus menatap layar kecil di ponselnya yang menampilkan sudut pandang kamera dari dada Athar.
Suara pria paruh baya dan tawa tipis Athar terdengar samar.
Tiba-tiba Dion nyeletuk, “Kita tunggu di sini, atau turun beli minum dulu? Haus banget sumpah.”
Semua langsung menatapnya datar.
Rafi sampai mencubit lengannya pelan.
Doni mendengus kesal,“Ini kita lagi misi bukan nongkrong di kafe. Kalo haus, minum ludah sendiri dulu.”
Dion nyengir tapi tetap berbalik menuju tangga, “Yaudah, gue beli minum bentar, sambil pantau aja lewat HP.”
Rafi, dengan wajah malas, akhirnya ikut juga, meninggalkan Raka dan Doni berjaga di depan ruangan VIP.
.......
Sementara itu di lantai bawah, suasana Bar Vortex makin padat. Musik menghentak, lampu berwarna ungu dan biru menari di udara.
Di sudut bar, Thalia duduk anggun di kursi bartender dress pas tubuhnya membuat beberapa pria tak sengaja melirik, tapi tak satu pun berani menyapa.
Tatapan matanya tajam, tapi senyum di bibirnya terlalu tenang untuk seorang wanita biasa. Ia meneguk minumannya pelan. Telinganya mendengar bisikan lewat earpiece kecil dari anak buahnya yang berjaga di luar.
“Nona, target sudah di ruang VIP lantai dua. Tapi… dia gak sendirian. Ada seseorang dari dunia bawah bersamanya. Mungkin sedang ada transaksi.”
Thalia mengetuk bibir gelasnya pelan, matanya melirik ke arah tangga menuju lantai atas.“Apa nona mau bergerak sekarang atau menunggu mereka selesai?”
Thalia hanya mengangkat tangan, memberi kode halus untuk menunggu. Matanya menajam, menatap bayangan refleksi di cermin belakang bar.
“Belum waktunya,” gumamnya pelan,
“Aku ingin lihat… siapa lawan main Tuan Joko malam ini.”