"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEDATANGAN ARIN MENGUAK SEBUAH FAKTA
[Mau diapain nih akunnya, nih. Siap pokoknya, serang apa gimana?]
[Dasar wanita tak tahu diri, murahan. Udah Mbak jangan mau dimadu, mending cerai terus nuntut harta gono gini biar kismin tu orang.]
Sebuah komentar membuatku terbahak di pagi-pagi buta. Itu memang rencanaku. Tapi tentu semua membutuhkan proses. Sebab, pengajuan harta gono gini hanya bisa dilakukan ketika putusan cerai sudah dikeluarkan. Itu yang aku ketahui setelah bertanya pada pihak yang lebih ahli.
Ratusan hingga ribuan komentar memenuhi beranda Faceb**k dan semua media sosial milikku pagi ini. Tak jarang pula yang meminta ijin untuk kisahku dijadikan cerita novel online dan juga dishare di sosial media mereka. Tentu aku mengijinkan, bukankah semakin banyak yang mengupload mereka akan semakin viral dan terkenal?
Aku terus terkikik, bahkan sarapan yang aku buat hampir gosong karena aku fokus membaca komentar-komentar dengan nada emosi hingga menyedihkan.
"Astaghfirullah," sentakku kaget saat kulihat wajan sudah mengepul asap. Cepat aku mematikan kompor lalu melihat ke kanan dan ke kiri, berharap Zahra tidak ada di sekitar dapur dan melihat kepulan asap tadi. Kemudian traumanya kembali.
Kusimpan ponsel dalam saku celana, kusingkirkan perihal sosial media dan beralih fokus mengurus Zahra.
"Zahra, sini, Nak, Bunda udah buatin nasi goreng buat kamu. Katanya kangen sama nasi goreng Bunda." Seraya berjalan ke arah meja makan aku berujar dengan suara sedikit keras karena Zahra masih terlihat fokus dengan mainan di ruang tamu.
"Zahra," ulangku, ia menoleh lalu bergegas ke arahku.
"Iya, Bunda."
"Makan dulu, Sayang."
"Kamu di sana terus ngapain?"
"Lihat rumah Zahra, Bun."
Degh! Rupanya aku sudah salah dalam bertanya.
"Rumah?"
Ia mengangguk. "Kalau Zahra duduk di sana Zahra bisa lihat rumah Zahra sama nenek. Emang sih usah nggak ada. Tapi ...." Ucapannya terjeda, kemudian ia menundukkan kepala.
"Eh, Zahra... sedih itu boleh, tapi nggak boleh terus-terusan Zahra. Sekarang kita makan nasi goreng kesukaan kamu, ya." Kutarik satu kursi untuknya dan kursi lain untukku. Lalu aku menyuruhnya segera duduk. Bola matanya tampak mengamati menu yang ada di meja satu per satu.
"Semua kesukaan Zahra kan. Nasi goreng, telur ceplok, sama kerupuk udang. Bunda juga buat ayam goreng tepung sama sausnya, ni."
"Kamu mau makan apa?"
"Nasi sama telur aja."
"Oke, Bunda siapin, ya?!"
Ia mengangguk.
Perlahan aku menyuapinya, ia tampak lahap. Senyum ini tak henti-hentinya mengembang, rasanya sudah lama sekali aku tidak melakukan ini pada Zahra.
"Ayah kapan pulang, Bun? Kok, lama?"
Sendok di tangan inipun seketika terjatuh dan menimbulkan suara cukup nyaring ketika Zahra menanyakan perihal Mas Pandu. Sedangkan aku sama sekali belum memikirkan tentang jawaban itu.
"Aduh, Zahra, Bunda ambil sendok baru dulu, ya. Yang ini kotor." Aku bergegas ke dapur, selain untuk mengalihkan pembicaraan, aku juga perlu memikirkan jawaban apa yang kiranya paling tepat. Tak mungkin memberi tahunya sekarang perihal perceraian, jelas ini bukan waktu yang tepat dan kurang baik untuk kesehatan mental Zahra. Kehilangan secara bertubi-tubi akan membuatnya terjatuh dalam trauma semakin dalam, hal itu tentu akan berpengaruh pada perkembangan psikisnya.
Kukeluarkan ponsel lalu kubuka aplikasi pencarian dan kuketik tentang bagaimana cara untuk menyampaikan perihal perceraian secara tepat pada anak agar tidak terlalu membuatnya hancur. Untuk saat ini, hanya aplikasi pencarian inilah yang menjadi jurus pamungkas di kala aku membutuhkan bantuan secara cepat.
Namun, sebelum aku menekan menu cari, panggilan masuk terlebih dahulu, mengubah tampilan pencarian menjadi gambar Arin.
Aku pun terbelalak kemudian dengan cepat aku menerima.
"Arin," sapaku begitu kuletakkan ponsel di telinga.
"Mai, ya Allah, Mai." Ia langsung tergugu, begitu mendengar suaraku. Suaranya terdengar begitu memilukan. Ada apa gerangan?
"Arin, kamu nggak papa, kan?" tanyaku khawatir.
"Mai, maafin aku, Mai. Aku nggak bisa bantu kamu selama ini, Mai. Maaf," ucapnya ditengah tangis yang terus terdengar, bahkan semakin keras.
"Rin, udah, Rin. Aku nggak papa, yang penting kamu nggak papa."
"Mai kamu pasti menderita, kan, Mai?"
"Rin, penderitaanku sudah aku lalui, sekarang aku sudah kembali."
"Bunda," teriak Zahra memanggilku, membuatku harus menyela pembicaraan dengan Arin.
"Rin, udah dulu, Zahra mencariku."
"Kamu udah di rumah?!"
"Iya, ya udah, ya. Kondisi Zahra sedang kurang baik.
Jadi nanti kita sambung lagi. Nanti aku ceritain semuanya."
"Mai."
Aku menutup panggilan secara sepihak. Sebab, Zahra terus memanggilku secara terus menerus.
Aku berlari kembali ke meja makan, membawa serta sendok yang aku janjikan.
"Maaf, tadi temen Bunda menghubungi."
"Om Dokter?"
"Bukan."
"Ayah?"
Aku menggeleng. "Tante Arina. Masih inget nggak sama Tante Arina?"
"Oh, yang kayak Barbie itu?"
"Iya."
"Sekarang lanjutin makannya, ya."
"Bunda, habis makan aku mau ke rumah Salwa."
Aku tak lantas menjawab. Entah mengapa, rasanya aku belum siap jika Zahra harus keluar, khawatir ia akan mendengar sesuatu yang membuatnya kembali mengingat hal-hal buruk.
"Boleh, ya, Bun?" Dengan wajah penuh permohonan ia berujar.
"Oh, iya, boleh, nanti Bunda anterin." Terpaksa aku mengiyakan, melihat wajah Zahra seperti itu membuatku tak tega.
"Ye ...."
***
Zahra menyuruhku untuk pulang setelah aku mengantar sampai rumah Salwa. Salwa adalah cucu Bu Neneng, usianya sepantaran dengan Zahra. Ia termasuk teman dekatnya, kalau bahasa sekarang bisa dibilang bestie.
Aku tak serta merta meninggalkan Zahra begitu saja, aku banyak berpesan pada Bu Neneng dan yang ada di rumah itu untuk tidak membahas yang berhubungan dengan rumah dan Bude Ayu. Mereka pun paham kemudian menyuruhku untuk meninggalkan Zahra dan akan mengantar kalau Zahra mau pulang. Karena memang Zahra tak ingin ditemani.
Sebuah mobil yang kukenal, berhenti tepat di depan rumah kala aku hendak menutup pintu.
"Maira." Arina keluar dari dalam mobil tersebut lalu berlari ke arahku dan memeluk tubuhku dengan erat.
"Arin, kamu ke sini kok nggak bilang?"
"Mai, aku kangen banget sama kamu, Mai," ujarnya lalu mengurai pelukan itu. "Kamu nggak papa, kan? Ada yang luka nggak, hah?" tanyanya panik seraya memeriksa seluruh anggota tubuhku satu per satu. Aku tersenyum.
"Nggak, Rin, nggak papa. Aku sehat. Ayo, masuk dulu,
kita ngobrol di dalam aja biar enak."
"Iya, Mai, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan
sama kamu."
"O, ya?"
Ia menganggukkan kepala kuat-kuat.
Kami melangkah masuk. Ia memindai seluruh sudut ruangan entah mencari apa. Namun sejak melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, matanya tak henti menyisir semua yang ada di dalamnya.
"Rumah barumu lumayan, nggak salah lagi, ini pasti Pandu yang melakukannya?" ujarnya setelah mendudukkan diri di sofa.
"Bisa dibilang begitu."
"Kamu tiba-tiba ngubungin aku tau dari mana kalau aku udah pegang hp? Kan kemarin-kemari aku hubungi nggak bisa-bisa?"
"Dari media sosial yang lagi Viral. Sorry kemarin aku
banyak masalah jadi aku perlu waktu sendiri aja."
Berdua kami mulai bercerita, terutama aku, sebab Arin terus memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Terutama perihal apa saja yang terjadi ketika aku berada di rumah Mas Pandu. Lalu ceritaku terus bergulir sampai kematian Bude Ayu.
Air matanya menetes, prihatin dengan apa yang kualami. Kemudian tangan itu terkepal kuat saat aku bercerita mengenai insiden jatuhnya Namira dan akulah yang dipersalahkan, bahkan, hampir dimasukkan ke penjara oleh Viona.
"Dasar nggak tahu malu!" ujarnya penuh penekanan.
"Seandainya, Mai. Seandainya aku bisa bantu kamu pasti kamu nggak akan menderita." Wajah yang sebelumnya terlihat begitu geram kini berubah suram.
"Udah, Rin. Asal kamu nggak papa, itu udah cukup. Aku juga mikirin kamu tau. Khawatir kamu kenapa-kenapa. Sekarang aku lega bisa lihat kamu sehat nggak kurang suatu apapun."
"Perlu kamu tahu, Mai. Pandu mengancamku dengan skandal Papaku yang sudah bertahun-tahun lalu. Dia licik, Mai. Awalnya aku kira setelah aku keluar dari sana aku bisa membantumu. Tapi ternyata nggak semudah itu."
"Iya, nggak papa."
"Sebetulnya aku langsung menyusun strategi untuk menghancurkan Pandu waktu itu. Tapi, papaku melarang keras. Ternyata, Papaku sendiri takut sama Pandu." Ia terus berujar, seolah dia sudah melakukan kesalahan besar karena tidak menolongku. Ia terlihat begitu tak enak. Padahal aku sama sekali tidak mempermasalahkan.
"Takut? Pak Adi Sasongko takut sama Mas Pandu?"
tanyaku dengan dahi berkerut.
"Kamu nggak tahu, Mai siapa suamimu itu?"
"Yang aku nggak tahu adalah dia ternyata kepala cabang."
"Hah?!" Arin kemudian tertawa sumbang. "Emang licik tu orang," lanjutnya.
"Bisa dibilang saat ini dia paling disegani di bidang garmen dan fashion, lo, Mai."
"Maksudnya apa, sih?!"
"Mai, setelah aku keluar dari rumah Pandu. Papaku mengatakan semua tentang Pandu dari A sampai Z. Dia bukan kepala cabang, dia itu direktur utama."
Mataku membulat, tak percaya. "Tapi, Viona bilang dia kepala cabang."
"Berarti Viona juga dikibulin," seraya tertawa ia berujar.
"Maksudnya?!"
"Perusahaan itu milik Pak Hartawan, perusahaan itu hampir mengalami kebangkrutan sekitar dua tahun yang lalu. Jadi Pak Hartawan itu punya dua istri, istri pertama diceraikan tak lama setelah Pak Hartawan menikah dengan istri ke dua dan sekarang Pak Hartawan tinggal bersama istri ke dua. Sampai di sini ngerti?!"
Aku mengangguk paham. "Iya, terus apa hubungannya sama Mas Pandu?"
"Dengan istri ke dua beliau nggak punya anak, karena anaknya meninggal saat usia lima tahun, ada yang bilang karena sakit keras ada yang bilang dibun*h sama istri pertama. Kalau masalah itu aku kurang paham. Soalnya udah nggak ada lagi yang bahas. Udah puluhan tahun soalnya."
"Oke, terus?"
"Terus sampai sekarang mereka nggak punya anak. Awal mula kenapa Pandu bisa diangkat menjadi direktur utama adalah saat satu tahun terakhir perusahaan itu mulai maju pesat dan selamat dari kebangkrutan atas kerja keras Si Pandu. Emang sih, sebelumnya si Pandu itu udah jadi anak emas di perusahaan itu karena prestasi-prestasinya. Tapi dulu Pandu nggak punya kuasa karena cuma karyawan biasa. Hingga akhirnya Pak Hartawan mengalami stroke bahkan sampai sekarang masih koma. Usut punya usut istrinya menyerahkan kekuasaan sama Pandu karena Pandu yang paling dipercaya dan punya kemampuan. Mereka nggak mau kepemimpinan kosong dan para pesaing menyerang."
"Kenapa Mas Pandu? Kenapa bukan istrinya sendiri yang pegang?"
"Istrinya itu udah ter Pandu-pandu. Bahkan, menganggap Pandu sebagai anaknya sendiri karena emang nggak punya anak sih dia. Selain itu dia nggak mau kalau ujuk-ujuk anak dari istri pertama datang lalu menguasai semuanya. Mumpung dia punya kuasa dialihkanlah semuanya sama Si Pandu. Yang sudah pasti di belakang semua itu ada perjanjian antara ke duanya, entah apa. Lagi pula katanya, istri ke dua itu nggak begitu pandai perihal perusahaan jadi selalu mengandalkan tangan kanan."
Aku menghela napas mendengar semua penjelasan dari Arin. Tak kusangka permainan Mas Pandu serumit ini. Lalu apa tujuannya membohongi aku dan Viona? Apa karena dia tidak ingin skandal pernikahan keduanya terendus media dan berpengaruh dengan kariernya? Ah, sekarang bukan itu yang seharusnya aku pikirkan.
"Coba deh kamu pikir lagi, sekelas kepala cabang nggak mungkin punya rumah sebesar itu. Bayar penjaga sebanyak itu. Nggak masuk akal, kan?" Arin terus meyakinkan.
"Saat di sana aku hanya memikirkan bagaimana caranya keluar tanpa membahayakan orang di sekitarku, Rin. Aku nggak pernah berpikir sedetail itu. Aku hanya berpikir bahwa bisa saja Mas Pandu ambil rumah dan fasilitas secara kredit."
"Lalu rumah kamu yang ini? Kamu nggak mikir dari mana dia bisa dapat uang secepat dan sebanyak itu?"
Aku menggeleng. "Aku sempat curiga, tapi dia bilang
dapat bonus dan kerja lembur untuk bisa bangun rumah ini. Nyatanya lembur di rumah madu!"
"Aku ngerti, Mai, mungkin kalau aku jadi kamu, aku hanya akan memikirkan perasaanku. Tak sempat memikirkan yang lain. Kamu hebat, Mai. Bisa bertahan sejauh ini, hidup setiap hari sama madu dan keluarga yang membencimu sedangkan kamu hanya sendirian pasti tidaklah mudah," ujarnya mengusap pundakku.
"Lalu, rencana kamu apa, Mai?"
"Aku sudah mengajukan gugatan ke pengadilan, kebetulan semua berkas ada di rumah. Mungkin Mas Pandu lupa mengambilnya. Aku juga khawatir dia sengaja mengulur perceraian, buktinya Samapi sekarang dia nggak ambil berkas untuk mengajukan gugatan. Jadi aku mendahului. Sebelum dia benar-benar berubah pikiran."
"Bagus, Mai."
"Aku juga berencana menggugat harta gono gini. Agar mereka tahu diri."
"Mantap."
"Tapi, itu hanya bisa aku lakukan kalau surat cerai sudah jadi katanya."
"Kamu pakai pengacara atau nggak?"
"Pakai, cuma pengacara yang biasanya menawarkan diri di area sidang itu lo, Rin. Soalnya aku nggak bisa sering-sering ninggalin Zahra. Kamu paham, kan? Jadi aku sekalian aja, cari yang cepet waktu masukin surat
terus ketemu pengacara itu."
"Oh, nggak papa, Mai. Harta gono gini mungkin memang baru bisa diajukan saat keputusan cerai keluar.
Jadi tugas kita mempercepat keluarnya keputusan itu."
"Maksudmu?"
"Dulu saudaraku pernah, tau-tau surat keluar tanpa sidang atau panggilan."
"Masak?!"
"Iya, asal ada uang semua pasti cepet. Gini aja, Mai. Semua biar diurus sama pengacaraku. Pengacaramu biar kerjasama sama pengacaraku. Pokoknya serahkan semua sama Arin. Tapi, tetep aku nggak bisa terang-terangan bantu kamu. Kamu ngerti, kan?"
"Baiklah, Rin dan aku akan terus memperkeruh suasana lewat sosial media. Aku yakin, itu juga akan berpengaruh sama karier Mas Pandu."