(Warisan Mutiara Hitam Season 2)
Setelah mengguncang Sekte Pedang Awan dan memenggal Jian Chen, Chen Kai mendapati bahwa kemenangannya hanyalah awal dari mimpi buruk baru. Sebuah surat berdarah mengungkap kebenaran yang meruntuhkan identitasnya: ia bukan anak Klan Chen, melainkan putra dari buronan legendaris berjuluk "Sang Pengkhianat Naga".
Kini, Klan Jian dari Ibu Kota memburunya bukan demi dendam semata, melainkan demi "Darah Naga" di nadinya—kunci hidup untuk membuka segel terlarang di Utara.
Demi melindungi adiknya dan mencari jati diri, Chen Kai menanggalkan gelar Juara dan mengasingkan diri ke Perbatasan Utara yang buas. Di tanah tanpa hukum yang dikuasai Reruntuhan Kuno, Sekte Iblis, dan Binatang Purba ini, Chen Kai harus bertahan hidup sebagai pemburu bayangan. Di tengah badai salju abadi, ia harus mengungkap misteri ayahnya sebelum darahnya ditumpahkan untuk membangkitkan malapetaka kuno.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teratai Mekar di Tengah Badai
Rasa sakit itu bukan sekadar fisik; itu adalah dekonstruksi total dari keberadaan seseorang.
Di dalam Mata Angin, tubuh Chen Kai mengejang hebat. Pil Pembersih Sumsum Sembilan Naga membakar sumsum tulangnya menjadi cairan lahar, sementara kelopak Teratai Hati Es membekukan aliran darahnya menjadi kristal biru.
Panas dan Dingin. Yang dan Yin. Dua kekuatan yang berlawanan berperang di dalam meridiannya, menjadikan tubuhnya sebagai medan pertempuran.
"AAAAARGH!"
Chen Kai meraung, tapi suaranya langsung ditelan oleh deru tornado yang mengelilinginya.
Kulit tembaganya retak, memancarkan cahaya merah dari dalam, lalu tertutup lapisan es, kemudian retak lagi. Proses penghancuran dan regenerasi ini terjadi ratusan kali dalam satu jam.
"Tahan, Bocah!" suara Kaisar Yao terdengar cemas di kepalanya. "Jaga kesadaranmu! Jika kau pingsan sekarang, energimu akan meledak dan kau akan menjadi kembang api darah!"
Chen Kai menggertakkan gigi hingga gusi berdarah. Dia memusatkan pikirannya pada Sutra Hati Kaisar Naga Abadi.
Dia membayangkan seekor naga. Bukan naga api yang mengamuk, tapi naga yang tidur di dasar danau es.
Saat dia mencoba menyeimbangkan kedua energi itu, efek psikiatris dari Teratai Hati Es mulai bekerja. Dunia fisik memudar. Kesadarannya ditarik ke dalam alam bawah sadar yang putih bersih.
Di sana, di tengah kehampaan putih, seorang wanita berdiri membelakanginya. Dia mengenakan jubah putih dengan sulaman teratai perak di punggungnya.
"Ibu?" bisik Chen Kai.
Wanita itu tidak berbalik, tapi suaranya bergema lembut, seolah berasal dari segala arah.
"Kai'er... Teratai Hati Es bukan hanya obat. Itu adalah kunci untuk menenangkan 'Api' yang diwariskan ayahmu. Kau butuh es untuk mengendalikannya, bukan memadamkannya."
Bayangan itu mulai memudar.
"Hati-hati dengan mereka yang membawa lambang Teratai Merah... Mereka bukan keluargamu..."
WUUUSHH!
Kesadaran Chen Kai tersentak kembali ke dunia nyata.
Saran ibunya—atau mungkin memori yang tersimpan dalam teratai itu—memberinya pencerahan. Dia berhenti mencoba melawan hawa dingin itu dengan api. Sebaliknya, dia membiarkan hawa dingin itu membungkus api.
Seperti pedang panas yang dicelupkan ke air dingin untuk ditempa.
CRACK!
Suara keras terdengar dari dalam tubuhnya. Bukan tulang patah, tapi suara belenggu yang hancur.
Pusaran Qi di Dantian-nya berputar gila-gilaan, menyerap semua angin, api, dan es di sekitarnya. Cairan Qi di dalamnya memadat, warnanya berubah dari merah murni menjadi merah tua dengan kilauan biru kristal yang aneh.
BOOOM!
Ledakan energi menyapu keluar dari tubuh Chen Kai.
Dinding angin tornado yang mengelilinginya selama ribuan tahun... berhenti sejenak. Terhempas oleh tekanan Qi yang baru lahir.
Chen Kai membuka matanya.
Tidak ada api yang menyembur. Matanya jernih, setenang danau dalam yang menyimpan monster di dasarnya.
Dia berdiri. Pakaiannya sudah hancur total, memperlihatkan tubuh yang baru. Kulitnya tidak lagi berwarna tembaga kasar, melainkan kembali ke warna kulit normal namun dengan kilau halus seperti giok. Di bawah kulit itu, tulangnya kini sekeras baja yang telah ditempa ribuan kali.
"Pembangunan Fondasi... Tingkat Menengah," gumam Chen Kai. Dia mengepal tangannya, merasakan kekuatan fisik yang naik dua kali lipat.
"Bukan hanya itu," kata Yao, suaranya terdengar puas. "Lihat tulangmu. Kau telah mencapai tahap awal 'Tulang Giok Api'. Pertahanan fisikmu sekarang bisa menahan serangan senjata Tingkat Bumi tanpa lecet."
Chen Kai menarik napas dalam-dalam, menghirup udara lembah yang tajam. Dia merasa ringan. Tekanan angin yang sebelumnya terasa seperti gunung, kini hanya terasa seperti angin sepoi-sepoi.
"Berapa lama aku di sini?"
"Sembilan hari," jawab Yao. "Kau lebih cepat dari perkiraan."
Chen Kai mengangguk. Dia mengambil jubah baru dari cincin penyimpanannya dan mengenakannya.
Namun, saat dia hendak melangkah keluar dari Mata Angin, hidungnya berkedut.
Indra penciumannya yang tajam—diperkuat oleh naluri naga—menangkap bau yang tidak asing. Bau yang berbeda dari ozon dan debu lembah.
Bau besi. Bau amis.
Darah.
Dan itu bukan darah hewan buas. Itu darah manusia.
Wajah Chen Kai yang baru saja tenang langsung berubah dingin. Kilatan biru-merah melintas di matanya.
"Sun. Xiao Mei."
BAM!
Chen Kai tidak berjalan. Dia meledak dari tempatnya berdiri. Tanah pijakannya retak. Dia melesat menembus badai angin, bukan dengan menghindarinya, tapi dengan menabraknya secara brutal.
Kecepatan penuh. Menuju mulut lembah.