NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19

-Kamu gak ke sini?-

Devan mengirim pesan itu pelan, seolah takut terdengar terlalu berharap. Ia memandangi layar ponselnya beberapa detik, menunggu gelembung balasan muncul. Tapi tak ada apa-apa. Hening.

Ia menghela napas pendek. Rasa bosan tiba-tiba menyergap, bosan karena hari itu ia belum melihat wajah Jovita sama sekali. Entah sejak kapan kehadiran wanita itu menjadi rutinitas yang ia tunggu.

Saat pandangannya menyapu ruangan apartemen, rasa bosan itu justru berubah jadi risih. Ruang tamu sedikit berantakan; jaketnya tergeletak di sofa, buku laporan berserakan di meja. Di dapur, piring dan gelas kotor menumpuk di wastafel.

Akhirnya, meski malas, Devan berdiri. Ia mulai membereskan semuanya, separuh dengan alasan agar apartemennya tidak terlihat kacau… separuh lagi karena ia masih berharap, barangkali Jovita hanya telat.

Devan mencuci piring dengan cepat. Sesekali ia menoleh ke layar ponsel yang berada di tepi meja dapur, menunggu layar itu menyala. Semakin lama, semakin cemas.

Saat akhirnya sebuah notifikasi muncul, Devan segera menyambar ponselnya.

-Gak dulu-

Singkat. Dingin. Tanpa penjelasan.

Perasaan Devan seketika jatuh. Ia mendengus pelan, tidak tahu ia harus kecewa pada siapa, pada dirinya yang terlalu berharap, atau pada Jovita yang membalas begitu datar.

Ia hendak kembali mencuci saat sikunya tanpa sengaja menyenggol sebuah gelas di tepi wastafel. Gelas itu pecah berhamburan di lantai.

Devan memejam sebentar, menarik napas panjang dan berat. “Kebiasaan…” gerutunya pelan.

Selesai dengan semua pekerjaan rumah tangga, Devan akhirnya menjatuhkan tubuhnya di sofa. Punggungnya menempel pada permukaan yang dingin, tapi ruangan itu tetap terasa terlalu luas. Terlalu sepi.

Ia menatap langit-langit sambil menghela napas. Rasanya ia ingin sekali mendengar suara Jovita yang ramai, yang memenuhi ruangnya tanpa permisi.

Tiba-tiba ponselnya berdenting.

Devan langsung bangkit setengah duduk, meraih ponsel di meja. Begitu melihat nama pengirimnya, sudut bibirnya terangkat tanpa ia sadari.

Jovita.

-Cuman karena aku gak dateng, bukan berarti kamu bisa santai-

Devan membaca pesan itu, dan entah bagaimana, ia bisa benar-benar mendengar suara Jovita yang sedang mengomel di kepalanya, lengkap dengan nada cerewetnya.

Belum sempat ia tersenyum lebih lebar, pesan berikutnya muncul.

-Kerjakan dengan benar. Jangan lari dari tanggung jawab-

Devan terkekeh pelan, gelengan kecil muncul di kepalanya. Senyum itu tidak juga hilang saat ia mengetik balasan.

-Iya. Aku tau. Kapan aku lari dari tanggung jawab?-

Balasan Jovita datang tak lama kemudian.

-Aku pegang kata-katamu-

Percakapan mereka berakhir di sana, tapi keheningan malah kembali terasa lebih pekat dari sebelumnya. Devan menatap layar ponsel yang redup, lalu dengan ragu ia mengetik:

-Kenapa gak dateng?-

Jarinya menggantung di atas tombol kirim. Ada rasa ragu menggelayut. Setelah beberapa detik, ia menghapus pesan itu perlahan.

Ponsel itu diletakkannya di samping kepala. Ia menutup mata dan mengembuskan napas panjang.

“Ada apa denganku?” gumamnya lirih, hampir seperti pengakuan pada diri sendiri.

***

Sudah tiga hari Jovita tidak datang ke apartemen Devan, dan pria itu masih belum tahu kabarnya.

Namun sore itu, begitu ia memasuki lobi, langkahnya mendadak terhenti. Matanya membelalak tipis sebelum akhirnya bibirnya terangkat membuat senyum kecil. Jovita duduk di tempat yang sama seperti biasa.

“Kenapa liat aku begitu?” tanya Jovita, heran. Wajahnya tampak lelah.

Devan cepat-cepat mengerjapkan mata lalu berdeham, mencoba menutupi keterkejutannya.

“Kemana aja kamu? Aku pikir kamu udah menyerah,” ujarnya dengan dagu sedikit terangkat, berusaha tampak tenang.

“Eden dirawat di rumah sakit. Aku harus nemenin dia,” jawab Jovita datar.

Ah, begitu... gumam Devan dalam hati. Sekarang ia paham kenapa wanita itu tidak muncul beberapa hari ini.

“Terus, gimana? Ada perkembangan?” tanya Jovita lagi.

Devan terdiam sejenak, lalu memalingkan kepala perlahan, gerakan yang langsung memicu kecurigaan Jovita.

“Jangan bilang kamu gak ngapa-ngapain selama aku gak datang?” tebaknya, mata menajam.

Devan tetap tutup mulut. Sesekali ia melirik Jovita, dan itu saja sudah cukup sebagai jawaban.

Jovita mendesis. Tanpa ragu, ia menarik dasi Devan hingga wajah pria itu mendekat.

“Katanya mau tanggung jawab? Mana? Nyatanya cuma bisa ngomong.”

“Aku gak kerja karena kamu hilang kabar,” balas Devan, suara rendah dan defensif. “Aku kira kamu menyerah.”

“Mana mungkin aku menyerah?” Jovita melepaskan dasi itu dengan kasar hingga Devan sedikit terundur. “Kalau aku nyerah, ngapain aku capek-capek balik ke sini?”

Baru saja Jovita ingin melangkah pergi, Devan tiba-tiba menahan lengannya. Ia menatap pria itu dengan kening masih berkerut karena sisa amarah. Devan langsung melepasnya seketika, seolah ia sendiri terkejut sudah berani menyentuhnya.

“Ngapain?” tanya Jovita heran.

“Temani aku,” ucap Devan cepat, terlalu cepat. Kata itu seolah melompat begitu saja dari mulutnya.

“Hah?”

Devan membeku. Ia sendiri bingung kenapa mengatakannya. Kenapa aku bilang begitu? Otaknya segera berputar mencari alasan yang masuk akal agar bisa bersama wanita itu lebih lama.

“Bantu aku kerjain pekerjaanku,” katanya akhirnya, meski membuat Jovita semakin bingung. “Pekerjaanku numpuk. Aku sibuk. Kalau kamu bantu, aku bisa selesai lebih cepat dan punya waktu buat fokus ke kasusmu.”

Jovita menimbang. Ada benarnya juga. Ia terlalu fokus pada kasusnya sendiri sampai tidak mempertimbangkan pekerjaan Devan yang lain. Setelah berpikir beberapa detik, ia mengangguk.

“Oke.”

Senyum kecil langsung muncul di wajah Devan, refleks, tapi buru-buru ia hilangkan. Dalam hatinya ia senang setengah mati karena bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Jovita.

Begitu masuk apartemen, Devan langsung menjatuhkan diri ke sofa sambil menyalakan ponsel. “Kita makan dulu. Aku lapar. Mau makan apa?”

“Apa aja,” jawab Jovita santai.

Devan meliriknya malas, lalu menghela napas panjang. “Jangan bilang gitu. Aku benar-benar akan pesan apapun.”

Jovita hanya mengangguk tanpa ragu. “Gak masalah.”

“Serius?” Devan memastikan lagi. Jovita mengangguk untuk kedua kalinya.

“Kalau gitu, aku pesen ayam pedas. Super pedas. Yang bikin kamu bolak-balik kamar mandi seharian,” ucapnya sambil tersenyum jahil.

Awalnya Jovita hanya melotot kecil, mengira itu sekadar candaan. Tapi begitu mengingat kejadian masa SMA: mereka makan ayam super pedas, dan dia harus keluar masuk toilet seharian sampai dimarahi guru, ia langsung mendesis kesal. Ia meraih bantal dan melemparkannya tepat ke wajah Devan.

“Kamu mau membunuhku?” serunya menahan jengkel.

Devan tertawa pelan. “Makanya bilang mau makan apa,” katanya penuh penekanan.

Awalnya Jovita masih belum bisa memutuskan mau makan apa. Devan menunggu, menunggu… sampai akhirnya menyerah total. Ia mengulurkan ponselnya ke arah Jovita.

“Pilih sendiri,” katanya pasrah.

Jovita menerima ponsel itu tanpa banyak bicara. Ia menelusuri menu cukup lama, menimbang satu per satu, sampai akhirnya memilih sesuatu. Pesanan masuk, dan kini mereka tinggal menunggu makanan diantar.

“Apa yang harus kulakukan?” tanya Jovita sambil duduk di sofa. Matanya mengikuti gerakan Devan yang sedang mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tas kerjanya.

Devan tidak menjawab. Ia sibuk membolak-balik isi tas, menggeser berkas, lalu mengernyit bingung.

“Di mana aku taruh…?” gumamnya pelan. Ia memincingkan mata, mencoba mengingat urutan terakhir ia memegang dokumen itu.

Beberapa detik kemudian, ekspresi sadar muncul di wajahnya. “Ah.” Ia berdiri tergesa-gesa. Sesuatu yang ia cari, masih tertinggal di mobil.

Jovita baru hendak bertanya ketika Devan meraih kunci mobil. “Aku ke bawah dulu. Jangan diapa-apain,” katanya sambil menatap berkas-berkasnya seolah itu bayi yang rawan rusak. Lalu ia pergi begitu saja.

Jovita mendengus kesal. Padahal Devan sendiri yang memintanya untuk membantu, tapi sekarang ia malah dianggurin. Ia menyandarkan punggung sebentar, tapi rasa haus membuatnya bangkit.

Tanpa sungkan, ia berjalan ke dapur seperti di rumah sendiri. Suaranya menggeratak pelan.

“Di mana dia naruh gelasnya?” gumamnya sambil masih menggeledah satu per satu.

Ia bahkan sempat membuka laci yang isinya bukan gelas, melainkan serbet, sendok, dan... baterai remote. Ia memelotot kecil. “Yang bener aja.”

Tak lama kemudian, Devan kembali dengan sebuah tas kertas di tangannya. Begitu memasuki dapur, pandangannya langsung tertarik pada sosok Jovita yang masih mengobrak-abrik laci.

“Apa yang kamu cari?” tanya Devan.

“Di mana gelasmu?” balas Jovita cepat, tanpa basa-basi.

Devan menghela napas, meletakkan tas kertasnya di meja, lalu mendekat. Tanpa menjawab, ia berdiri tepat di depan Jovita. Tatapannya menaut pada wajah wanita itu, tenang, tapi terlalu dekat.

Jovita merasakan jantungnya melonjak. “Ngapain liat gitu?” gumamnya, menoleh kanan-kiri, mencari ruang untuk menjauh.

Devan justru melangkah satu langkah lagi. Refleks, Jovita mundur sampai punggungnya mentok pada kabinet. Tak ada ruang tersisa.

“Mau apa kamu?” tanyanya lirih. Ada waspada, ada sedikit takut, tapi juga… bingung.

Perlahan, Devan mengangkat tangannya, bukan ke arahnya, tetapi ke atas kepala Jovita. Ia membuka pintu kabinet atas, lalu mengambil satu gelas dari dalamnya.

Jovita mendongak, melongo. “Siapa yang naruh gelas di atas begitu?”

“Aku. Kenapa?” jawab Devan ringan sambil menyodorkan gelas itu.

Jovita mengambilnya tanpa berkata apa-apa, masih merasa bodoh karena sempat takut tanpa alasan.

Tak lama, Jovita kembali dengan segelas minuman dingin. Devan otomatis menoleh.

“Kamu bikin untukmu doang?” tanyanya, seolah tak percaya.

“Hm. Kamu cuma kasih satu gelas,” jawab Jovita santai sambil duduk di sofa. Ia menyesap minumannya pelan. “Lagian, harusnya aku yang komplain. Aku tamu, tapi bikin minuman sendiri.”

Devan terdiam. Bibirnya sempat membuka, tapi tak jadi. Pada akhirnya, ia hanya menghela napas pendek. Seperti biasa: tidak ada gunanya berdebat dengannya..

Ia kembali menunduk, melanjutkan pekerjaannya.

Jovita tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia menaruh gelasnya di meja kecil di samping sofa, lalu melongo sedikit mendekat, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Devan. Tanpa sadar, wajahnya semakin dekat, terlalu dekat.

Napas Devan langsung tersendat. Bahunya menegang. Begitu ia menoleh, wajah Jovita sudah berada hanya beberapa senti darinya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya Jovita, matanya menatap Devan penuh rasa ingin tahu.

Lidah Devan mendadak kelu. Jantungnya memukul dinding dadanya tanpa kendali. Tatapannya terpaku pada wajah Jovita… lalu turun ke bibirnya. Seketika bayangan ciuman pertama mereka kembali melintas jelas di kepala.

Tidak. Tidak lagi.

Devan mendesis frustasi. Ia mengangkat tangannya dan mendorong wajah Jovita menjauh, pelan, tapi jelas menghindar.

“Jangan dekat-dekat,” ucapnya cepat, hampir terdengar gugup. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri berdentum keras.

Jovita terbelalak. “Serius kamu melakukan ini padaku?” tanyanya, tidak percaya. Matanya melebar, sorotnya campuran antara kaget dan tersinggung.

Devan tak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, seakan sedang berusaha menenangkan jantungnya yang masih kacau. Jovita menghela napas pendek sambil terkekeh kesal, seperti sedang berusaha menahan emosi.

Suasana langsung berubah canggung. Untungnya, ketukan pintu membuat Devan kembali bernapas. Devan berdiri terlalu cepat, hampir seperti kabur dari situasi, dan membuka pintu. Makanan pesanan mereka tiba.

Ia menaruh kantong makanan di meja makan, lalu menoleh pada Jovita yang masih duduk dengan ekspresi jengkel.

“Sini. Mau makan gak?” tanyanya datar.

Jovita menatapnya sinis, masih kesal dengan perlakuan barusan. Tapi Devan tampak tenang-tenang saja, seolah tidak merasa bersalah sedikit pun.

“Cepetan, keburu dingin,” katanya lagi tanpa menoleh.

Dengan malas, seperti anak yang disuruh makan paksa, Jovita bangkit dan duduk di meja makan. Devan hanya melirik sekilas dan menyembunyikan senyum kecilnya.

Ia ikut duduk di seberang. Makanan yang dipesan adalah hidangan mi. Devan mengambil satu bungkus, membuka tutupnya, lalu mengaduknya dengan telaten. Jovita melakukan hal yang sama, tapi dengan gerakan setengah hati.

Tanpa sepatah kata, Devan menyorongkan mangkuk mi yang ia aduk ke arah Jovita.

“Makan itu,” katanya singkat.

Jovita tertegun. Ia menatap Devan, kaget, heran, dan tidak mengerti. Bagaimana bisa pria yang barusan bersikap menyebalkan sampai membuatnya emosi, tiba-tiba memberi makanan dengan perhatian seperti itu?

Devan pura-pura fokus pada makanannya sendiri, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!