Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.
Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.
Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang Fara Revisi
Lanjutan 🍁
Bram mengangguk. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi ia harus melakukannya. Ia meninggalkan Dina di ruang keluarga, lalu berjalan perlahan menuju kamar Fara. Ia berhenti di depan pintu, menarik napas dalam, lalu mengetuknya.
"Fara, ini Papa," katanya pelan. "Bisa kita bicara sebentar?"
Tidak ada jawaban. Namun, Bram bisa mendengar isak tangis yang tertahan dari balik pintu.
"Papa tahu kamu marah, Sayang. Papa minta maaf, tapi ini harus kita lakukan. Buka pintunya, Nak," kata Bram, suaranya melembut.
Dari dalam, Fara akhirnya bersuara, suaranya parau dan dipenuhi amarah. "Aku nggak mau! Pergi, Pa! Aku nggak mau bicara sama Papa!"
"Fara, dengar Papa," kata Bram, suaranya kini lebih tegas. "Buka pintunya."
Suara Bram yang tegas menembus dinding pertahanan Fara. Ia tidak lagi terdengar sebagai ayah yang memarahi, melainkan ayah yang lelah, namun penuh tekad.
Fara terdiam di dalam kamarnya. Amarah yang membara di dadanya perlahan meredup, digantikan oleh kesedihan yang mendalam. Ia menyadari ia tidak punya siapa-siapa lagi, dan ia tidak tahan sendirian.
Terdengar suara kunci berputar. Fara membuka pintu, matanya merah dan wajahnya basah oleh air mata.
Bram menghela napas lega. Ia melangkah masuk, memeluk putrinya yang gemetar. Fara tidak menolak. Ia justru membenamkan wajahnya di dada Bram, menangis terisak-isak.
...Hanya ilustrasi gambar....
Bram menenangkan Fara yang masih menangis tersedu-sedu. Ia membiarkan putrinya melepaskan semua emosi yang terpendam. Perlahan, tangisan Fara mereda. Bram melepaskan pelukan, memegang kedua bahu putrinya, dan menatapnya lurus-lurus.
"Papa tahu kamu marah, Nak," kata Bram, suaranya pelan dan penuh kesabaran. "Kamu merasa Papa dan Mama tidak ada di pihak kamu. Tapi, Nak, semua yang kami lakukan ini karena kami sayang sama kamu. Kami ingin kamu menjadi orang yang lebih baik."
Fara hanya menunduk, tidak berani menatap ayahnya.
"Papa tidak akan menghukum kamu," lanjut Bram. "Tapi Papa akan membiarkan kamu menghadapi konsekuensi dari perbuatan kamu. Kamu sudah tahu, kan, kalau kamu tidak akan lagi tinggal bersama Aluna?"
Fara mengangguk lemah.
"Itu hanya awal, Sayang," kata Bram. "Papa mau kamu mengerti, hidup itu tidak semudah yang kamu pikirkan. Kamu tidak bisa menyelesaikan masalah dengan uang atau dengan menyakiti orang lain. Ini saatnya kamu belajar. Papa ingin kamu berubah. Demi kebaikan kamu sendiri."
Bram menatap putrinya, suaranya kini kembali tenang namun penuh keseriusan.
"Fara, Papa meminta padamu," katanya. "Mulai besok dan seterusnya, kamu tidak boleh mendekati Valeria. Kamu harus menjauhinya dan tidak membuat masalah dengannya. Dan Aluna... jangan sakiti dia."
Fara mengangkat kepalanya, air matanya masih membasahi pipi.
"Dia hanya sendiri di sini, Nak," lanjut Bram, suaranya melembut. "Orang tuanya di luar negeri. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di sini. Papa sebagai omnya dan kamu sebagai sepupunya, harus menjaga dia. Papa minta kamu untuk mendekatinya, menemaninya, dan menjadi temannya. Dia sendirian, Fara."
Setelah mendengar semua kata-kata Bram, air mata Fara yang tadinya mereda, kini mengalir lagi. Kali ini bukan karena amarah, melainkan karena kesedihan yang mendalam. Ia merasa kosong, lelah, dan kesepian.
Ancaman hukuman tidak lagi terasa penting, yang ada hanyalah rasa sakit dan penyesalan.
Fara menatap wajah ayahnya. Ia melihat ketulusan dan kekhawatiran di sana.
"Fara akan coba, Pa," jawab Fara, suaranya parau. "Tapi Fara tidak tahu bagaimana caranya."
Bram duduk di sampingnya, merangkulnya. "Papa akan bantu kamu, Sayang. Mama juga. Kita akan hadapi ini bersama-sama."
Keesokan harinya, Valeria bersiap untuk berangkat ke sekolah. Pagi itu, ia akan diantar oleh Tante Kiara. Tepat pada saat yang sama, Diandra juga bersiap menuju kantor dengan sopirnya.
Sebelum berangkat, Diandra mendekati Valeria. "Ingat, Valeria, apa yang sudah Mama katakan semalam."
Tante Kiara, yang berdiri di samping Valeria, diam-diam memberikan kode dengan mengedipkan matanya. Valeria mengerti.
"Iya, Ma, Valeria ingat," jawab Valeria, suaranya tenang.
Valeria dan Tante Kiara kemudian masuk ke mobil, sementara Diandra masuk ke mobilnya sendiri dan berangkat.
Di rumah Aluna, ia sudah rapi mengenakan seragam sekolah. Ruangan-ruangan terasa sunyi, tanpa suara orang tua atau langkah kaki sanak saudara. Seperti hari-hari lainnya, ia mengambil ponselnya dan memesan ojek online.
Sambil menunggu ojek datang, Aluna menatap sekeliling. Meskipun rumah itu besar dan mewah, ia merasa hampa. Tidak ada sarapan yang menunggunya di meja makan, tidak ada tawa yang terdengar dari ruang keluarga. Hanya keheningan yang menjadi teman setia.
Ponselnya berdering, menandakan bahwa pengemudi ojek sudah tiba. Aluna menghela napas, mengambil tasnya, dan melangkah keluar, siap menghadapi hari di sekolah seorang diri.
Aluna tiba di sekolah. Ia melangkah ke koridor dengan kepala tertunduk. Ia tidak ingin bertemu siapa pun, apalagi Valeria.
Namun, Valeria sudah menunggunya. Valeria memanggil Aluna dan menghampirinya. "Hai, Aluna," sapanya. "Lo sendiri? Enggak sama Fara? Biasanya lo sama Fara?"
Aluna menoleh, sedikit terkejut. "Iya, soalnya Fara udah enggak tinggal lagi bareng gue."
"Oh, bagus dong," kata Valeria.
Tepat saat itu, Revan, Kian, dan Damian datang. Mereka melihat Valeria dan Aluna berbicara, dan langsung menghampiri mereka.
"Lagi ngomongin apa?" tanya Damian.
"Enggak ngomongin apa-apa," jawab Valeria dengan cepat.
Damian mengangguk. "Oke."
Namun, Revan dan Kian saling melirik, terlihat tidak yakin. Revan menatap Valeria. "Masak, sih?"
"Iya," jawab Valeria.
Revan kemudian menoleh ke Aluna. "Benar, Lun?"
"Ah, iya," jawab Aluna, canggung. Ia menghela napas lega. "Gue ke kelas duluan, ya."
"Eh, bareng aja," kata Kian. "Kan sekelas."
"Iya," Revan menambahkan.
Damian kemudian berkata kepada Valeria, "Ya sudah, Val, kita juga ke kelas, yuk."
Valeria mengangguk. "Oke," kata Revan. "Kalau gitu, sampai bertemu di jam istirahat."
Setelah mengatakan itu, mereka berpisah dan berjalan ke kelas masing-masing.
Di saat yang sama, Fara baru tiba di sekolah, diantar oleh Bram. Mereka duduk di dalam mobil untuk sesaat.
"Fara, dengarkan Papa," kata Bram, suaranya melembut.
"Cobalah bersikap baik. Jangan buat masalah lagi. Kamu harus bisa membuka diri dan menerima Aluna."
Fara menatap ayahnya, mendengarkan setiap kata.
"Selain sebagai sepupumu, kamu juga harus bisa menjadi temannya," lanjut Bram. "Dia sendirian di sini. Papa harap kamu bisa mengerti."
Bram mengusap kepala putrinya. "Papa percaya kamu bisa, Nak. Sekarang, pergilah. Dan semoga harimu menyenangkan."
Fara mengangguk, mengambil napas dalam-dalam, lalu membuka pintu mobil. Ia melangkah keluar dan berdiri di depan gerbang sekolah, sendirian.
Setelah mengantar Fara ke sekolah, Bram meninggalkan gerbang dan langsung menuju kantornya. Sementara itu, Fara berjalan sendirian di koridor. Tepat saat ia melangkah, bel masuk berbunyi.
Pada saat yang sama, Liam datang tergesa-gesa. Ia berlari kencang di koridor hingga tidak sengaja menyenggol Fara.
"Woy, bisa enggak, sih, enggak usah lari-lari!" seru Fara, refleks marah.
Liam, yang sudah sedikit menjauh, berbalik dan melihatnya. "Maaf, Far, gue enggak lihat," katanya.
Fara hendak melontarkan kata-kata pedas lagi. "Lo..." Namun, tiba-tiba ia teringat pesan Bram barusan. Ia menghentikan kalimatnya, menunduk, dan terus berjalan tanpa memedulikan Liam.
Liam menatap punggung Fara, merasa aneh dengan sikapnya. Biasanya Fara akan terus memaki dan berteriak, tidak pernah mengalah seperti ini.
Liam melanjutkan perjalanannya ke kelas, ia berjalan di belakang Fara. Fara terus berjalan tanpa menoleh, langkahnya cepat dan pasti.
Sesampainya di depan kelas, Fara masuk dan langsung duduk di samping Aluna. Aluna menoleh, terkejut melihat Fara.
Tepat saat itu, Liam tiba. Ia masuk dan duduk di samping Kian. Ia melirik Fara dan Aluna, lalu berbisik pada Kian.
"Lo lihat, enggak?"
Kian mengangguk, matanya menatap tajam ke arah Fara.
Tidak lama kemudian, guru masuk dan memulai pelajaran fisika, mengakhiri semua bisik-bisik dan tatapan aneh.
Di dalam kelas, saat guru memulai pelajaran fisika, Liam mencondongkan tubuhnya ke arah Kian.
"Tadi gue enggak sengaja nabrak Fara di koridor," bisik Liam.
Kian terkejut. Revan, yang duduk di bangku depan mereka, juga ikut terkejut mendengarnya. Ia berbalik sedikit.
"Terus, Fara gimana?" tanya Revan, juga berbisik. "Dia marah?"
"Awalnya dia teriak," jawab Liam, suaranya pelan. "Tapi terus dia berhenti. Dia cuma bilang 'Lo...' terus diam aja, terus jalan ke kelas. Aneh banget."
Kian mengangguk. "Iya, dia duduk di samping Aluna juga, kayak biasa, tapi dia diam aja. Enggak ribut kayak biasanya."
Revan mengamati Fara dan Aluna yang duduk berdampingan di bangku mereka. Fara terlihat tenang, sementara Aluna tampak sedikit canggung. Revan berbisik lagi, "Ada yang aneh hari ini."
Bisik-bisik Liam, Kian, dan Revan rupanya menarik perhatian guru fisika yang sedang mengajar di depan kelas. Guru itu berhenti sejenak, melipat tangannya di dada, dan menatap tajam ke arah mereka bertiga.
"Kalian di belakang," tegurnya, suaranya tenang namun tegas. "Kalau mau gosip, nanti di jam istirahat. Sekarang waktunya belajar."
Ketiga anak laki-laki itu langsung diam. Liam dan Kian kembali menatap ke depan, sementara Revan berbalik menghadap papan tulis. Namun, pikiran mereka masih tertuju pada Fara dan Aluna yang duduk di bangku di depan.
"Iya, Bu, maaf," kata Kian, suaranya pelan.
Guru itu mengangguk, lalu melanjutkan pelajarannya. Namun, bisik-bisik yang terhenti tidak berarti suasana kembali normal. Kian dan teman-temannya memang diam, tetapi pikiran mereka masih tertuju pada Fara dan Aluna yang duduk di bangku di depan.
Sementara itu, di bangku mereka, keheningan terasa sangat canggung. Fara duduk tegak, matanya lurus ke depan, pura-pura fokus pada guru. Di sebelahnya, Aluna juga melakukan hal yang sama. Namun, keduanya sadar betul ada "dinding" tak terlihat di antara mereka. Aluna was-was, sementara Fara tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan.
Setelah pelajaran berlangsung, guru mengumumkan untuk memulai pengerjaan soal. Ia memanggil Jerry untuk mengerjakan soal nomor empat. Namun, baru saja Jerry akan bangkit, bel istirahat berbunyi nyaring, menandakan berakhirnya jam pelajaran.
Suasana kelas langsung berubah riuh. Guru itu menghela napas, menyadari bahwa waktu pelajaran sudah habis. "Baiklah, karena bel sudah berbunyi, kita akhiri pelajaran hari ini. Pastikan kalian mempelajari materinya lagi," katanya sambil mengemasi barang-barangnya.
Begitu guru keluar dari kelas, suasana langsung berubah riuh. Para murid mulai berhamburan keluar kelas, bersiap untuk jam istirahat. Damian menghampiri Valeria.
"Lo mau istirahat bareng Aluna lagi?" tanyanya.
"Iya, sama Keira dan Naila," jawab Valeria.
Tepat saat itu, Keira dan Naila menghampiri Valeria. "Val! Kantin yuk!" ajak Keira.
Valeria tersenyum. "Oke!"
Mereka bertiga kemudian berjalan bersama menuju kantin. Damian, yang tadinya berdiri, akhirnya mengikuti mereka dari belakang di koridor, menuju kelas Aluna.
"Eh, sebelum ke kantin, kita ajak Aluna, yuk, ke kantin bareng," kata Valeria.
"Oke," jawab Keira dan Naila serempak.
Di kelas lain, Fara dan Aluna masih duduk di bangku mereka. Mereka berdua diam. Revan, Kian, dan Liam juga masih berada di kelas, menatap Fara dan Aluna dengan penasaran.
Tiba-tiba, Valeria, Keira, dan Naila muncul di depan pintu kelas. Sementara Damian masih dibelakang mereka, Valeria memanggil Aluna. "Aluna, yuk ke kantin bareng!"
Aluna menoleh ke arah Valeria dan teman-temannya, lalu menatap Fara yang masih duduk di sebelahnya. Aluna ingin mengajak Fara, tetapi ia ragu dan merasa tidak enak dengan Valeria.
Fara yang merasakan tatapan Aluna, meliriknya. "Kalau lo mau istirahat sama mereka, ya sudah sana," kata Fara dengan nada dingin. "Enggak usah liatin gue kaya gitu."
Revan, Kian, dan Liam yang masih berada di kelas menoleh ke arah mereka. Aluna kembali menatap Valeria. "Kalian duluan saja," katanya, pelan.
Fara menatap Aluna. "Sana!" katanya, lebih tegas.
"Tapi lo enggak ke kantin?" tanya Aluna.
"Jangan urusin gue!" jawab Fara. "Lo lebih baik sana ke kantin bareng mereka. Jangan sampai mereka berpikir gue melarang lo buat bareng ke kantin dengan mereka."
"Bukan begitu," kata Aluna.
"Kalau bukan, sana cepetan pergi, Aluna!" Fara menoleh, menghindari tatapan Aluna.
Valeria, Keira, dan Naila masih berdiri di depan pintu kelas, menunggu Aluna. Di belakang mereka, Damian juga ikut menunggu dengan tenang. Di dalam kelas, Revan, Kian, dan Liam menatap penasaran, ingin tahu apa yang akan Aluna pilih.
Aluna menatap Valeria, Keira, dan Naila. Ia merasa tidak enak karena membiarkan mereka menunggu. Tanpa berkata-kata, Aluna berdiri dari tempat duduknya.
"Yaudah kalau gitu gue duluan," kata Aluna, suaranya pelan, ditujukan kepada Fara.
Fara tidak menoleh, ia hanya diam seolah-olah tidak mendengar.
Aluna melangkah keluar kelas, meninggalkan Fara yang sendirian. Ia bergabung dengan Valeria, Keira, Naila, dan Damian. Mereka langsung berjalan bersama menuju kantin.
Di belakang mereka, Revan, Kian, dan Liam juga berjalan menuju kantin. Mereka masih membicarakan kejadian barusan.
"Lo lihat, enggak?" bisik Liam. "Aluna akhirnya milih istirahat bareng Valeria."
"Iya, dan Fara cuma diam aja," Kian menambahkan. "Aneh banget."
"Fara kelihatan beda banget hari ini," kata Revan.
Mereka tiba di kantin dan berhasil menemukan satu meja kosong yang cukup besar untuk mereka bersembilan. Valeria, Aluna, Keira, dan Naila duduk berhadapan. Di sisi lain meja, duduk Damian, Revan, Kian, dan Liam.
Mereka semua memesan makanan, namun suasana di meja terasa canggung. Aluna tampak lebih banyak diam, sementara tatapan ingin tahu dari para laki-laki sesekali tertuju padanya.
Revan, yang tidak bisa menahan rasa penasarannya, memecah keheningan. "Aluna," panggilnya, membuat semua orang menoleh. "Gue mau tanya, lo sama Fara ada masalah, ya?"
Aluna terdiam, menggenggam erat botol minum di tangannya.
"Tadi di kelas, dia kelihatan aneh banget. Enggak kayak biasanya," timpal Kian.
Valeria melirik mereka dengan tajam. "Kok kalian tanya begitu?"
"Santai, Val," sahut Damian. "Kita cuma penasaran. Lagian, Fara juga kelihatan beda banget hari ini. Tadi pagi gue juga lihat dia di koridor, diam aja," tambahnya.
Aluna menghela napas panjang. Ia menunduk sejenak sebelum menjawab. "Enggak kok... enggak ada masalah apa-apa."
"Tapi tadi dia kenapa ngusir lo?" tanya Liam, suaranya pelan.
Aluna mengangkat kepalanya. Pandangannya kosong. "Gue... enggak tahu."
Valeria menatap Aluna dengan alis berkerut, tatapannya penuh keraguan. "Tapi Lun, gimana ceritanya Fara enggak tinggal lagi sama lo? Apa lo usir?" tanyanya, suaranya terdengar tidak suka.
Revan, Kian, Damian, dan Liam terkejut mendengar fakta bahwa Fara tidak lagi tinggal bersama Aluna. Revan langsung menimpali. "Yang benar, Lun? Sejak kapan?"
"Kemarin setelah pulang sekolah," jawab Aluna, suaranya melemah. "Papa dia, ya, yaitu om gue, ngajak Fara pulang."
"Dan Fara mau?" tanya Kian, bingung.
Aluna menggelengkan kepala perlahan. "Awalnya dia enggak mau. Tapi om gue... ya begitulah." Ia berhenti sejenak, wajahnya terlihat kosong. "Yang jelas, gue enggak tahu apa yang terjadi di dalam kamar. Gue enggak lihat, gue cuma dengar suara teriakan Fara nolak barang-barangnya dimasukin ke dalam koper. Gue nggak lihat langsung apa yang om gue lakuin ke Fara, karena om gue nyuruh gue untuk duduk di ruang tamu."
Keheningan menyelimuti meja kantin. Kata-kata Aluna yang penuh kesedihan menggantung di udara, membuat semua orang terdiam. Ekspresi terkejut terlihat jelas di wajah Valeria, Keira, Naila, dan juga para laki-laki. Rasa penasaran mereka tentang Fara seketika berubah menjadi keprihatinan yang dalam.
Valeria memegang tangan Aluna di atas meja. Tatapannya kini dipenuhi penyesalan. "Maaf, Lun. Gue enggak tahu kalau... seburuk itu," bisiknya, suaranya melembut.
Revan mengepalkan tangannya di bawah meja. "Ayah Fara... kenapa dia begitu?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. Kian dan Liam saling berpandangan, sama-sama terkejut. Mereka baru menyadari, sikap aneh Fara hari ini bukanlah karena kenakalannya, melainkan karena ia sedang terluka.
"Itu... itu gila," kata Damian dengan suara rendah. "Pantas aja Fara diam terus. Dia pasti syok banget."
Aluna hanya bisa mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di matanya. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, seolah seluruh tenaganya terkuras habis.
Air mata Aluna akhirnya tumpah. Ia menundukkan kepala dan terisak di atas meja, membuat semua orang terkejut.
"Ini semua karena gue," isaknya. "Seandainya gue enggak cerita apa yang dilakukan Fara ke gue, dan gue enggak bilang kalau gue takut tinggal sama Fara, om gue pasti enggak akan maksa Fara."
Semua orang terdiam, terkejut mendengar pengakuan Aluna. Valeria segera merangkul bahu Aluna, berusaha menenangkannya. "Bukan salah lo, Lun. Lo cuma cerita apa adanya," bisik Valeria lembut.
"Iya, kita juga enggak tahu akan begini jadinya," timpal Keira, menatap Aluna penuh simpati.
Di seberang meja, Revan, Kian, Damian, dan Liam hanya bisa saling berpandangan. Mereka menyaksikan betapa hancurnya perasaan Aluna, menyadari bahwa di balik semua konflik, ada rasa bersalah yang begitu besar.
"Jadi sekarang lo sendiri di rumah?" tanya Valeria, suaranya penuh kekhawatiran.
Aluna mengangguk. "Iya, tapi nanti siang om gue akan bawa orang yang bakal tinggal sama gue, nemenin gue, dan bantuin gue," jawabnya pelan.
Mendengar itu, Keira menghela napas lega. "Syukurlah. Setidaknya lo nggak sendirian, Lun."
"Siapa yang datang, Lun?" tanya Naila, penasaran.
Aluna menggeleng. "Gue enggak tahu. Katanya dia teman om gue."
Damian dan Revan saling berpandangan, menyadari bahwa situasi ini tidak sesederhana yang mereka kira. Aluna kini terombang-ambing antara perasaan bersalahnya pada Fara dan kegelisahan karena harus tinggal bersama orang asing.
Bel berbunyi nyaring, menandakan jam istirahat telah usai. Tepat saat itu, Aluna berdiri dan menengok ke sekeliling kantin. Matanya menemukan sosok Fara yang duduk sendirian di salah satu meja, sedang menghabiskan makanannya dengan kepala tertunduk.
Melihat keraguan di wajah Aluna, Valeria segera memegang pundak temannya itu. Ia mengajak Aluna untuk segera kembali ke kelas, lalu berkata, "Kalau lo mau samperin, samperin aja, Lun. Kita tungguin."
Aluna menatap Fara, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Enggak, gue... gue enggak tahu mau ngomong apa," jawabnya, suaranya terdengar frustrasi.
Aluna akhirnya menghela napas, menyerah. Ia mengikuti Valeria, Keira, Naila, dan Damian kembali ke kelas. Sepanjang jalan di koridor, pikirannya masih tertuju pada Fara yang ditinggalkannya sendirian.
Revan, Kian, dan Liam berjalan di belakang rombongan Aluna. Mereka saling melirik, lalu menatap punggung Aluna dari belakang. Bisik-bisik mereka terhenti, digantikan oleh pemahaman baru. Mereka sekarang mengerti mengapa Fara bersikap aneh hari ini, dan betapa rumitnya perasaan Aluna.
Seolah ada beban berat yang ikut mereka pikul, mereka mengikuti teman-teman mereka kembali ke kelas.
Valeria, Keira, Naila dan Damian berjalan bersama Aluna di koridor. Damian berkata "Sampai nanti," katanya sambil melambaikan tangan. Di saat yang sama, Revan, Kian, dan Liam juga berpamitan untuk masuk ke kelas mereka.
Tanpa mereka sadari, Fara berada di belakang mereka. Ia melihat semuanya, melihat bagaimana Aluna berjalan bersama teman-temannya. Ia hanya terdiam, kemudian berjalan ke kelasnya seorang diri.
Sesampainya di kelas, ia melihat Aluna sudah duduk di kursinya. Fara melangkah masuk, berjalan ke bangkunya, dan duduk di sebelah Aluna. Tanpa sepatah kata pun, Fara menundukkan kepalanya di atas meja, menghindari tatapan apa pun.
Aluna menoleh ke samping, terkejut melihat Fara sudah duduk di sebelahnya. Ia mengamati Fara yang langsung menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik lengan. Hati Aluna terasa perih. Ia tahu Fara pasti melihatnya berjalan bersama Valeria, Keira, dan Naila di koridor.
Rasa bersalah kembali menghantamnya. Andai saja tadi ia memberanikan diri menghampiri Fara di kantin. Sekarang, Fara terlihat begitu rapuh dan sendirian.
Aluna mengulurkan tangannya perlahan, ragu-ragu. Ia menghentikannya di tengah jalan, tidak jadi menyentuh pundak Fara. Ia hanya diam, tidak tahu harus berbuat apa.
Di bangku belakang, Revan, Kian, dan Liam melirik ke arah Aluna dan Fara. Mereka berbisik pelan, mengamati keheningan tegang yang menyelimuti meja kedua gadis itu.
"Dia bahkan enggak mau lihat Aluna," bisik Liam, matanya mengikuti setiap gerakan Fara.
"Gue enggak nyangka bokapnya sekejam itu," balas Kian, suaranya dipenuhi rasa prihatin.
Revan hanya diam, rahangnya mengeras. Ia melihat Aluna yang duduk cemas, dan Fara yang menundukkan kepala. Suasana di antara mereka begitu berat, dan ketiga anak laki-laki itu sadar, masalah ini jauh lebih rumit daripada yang mereka duga.
Revan dan Kian mendengarkan bisikan Liam dengan serius.
"Gue bukannya mau menghakimi atau gimana, tapi mungkin enggak sih bokapnya bukan kasar ke dia?" bisik Liam, matanya masih terfokus pada Fara yang menunduk.
"Mungkin aja karena melihat sikap dan perlakuan Fara ke Aluna, dari Fara yang memfitnah Aluna dan lainnya, akhirnya kesabaran bokapnya habis."
Liam mencondongkan tubuhnya ke depan, memastikan bisikannya tidak terdengar siapa pun. "Dan lo dengar kan kata Aluna apa? Saat dia bilang takut tinggal sama Fara, bokapnya langsung bereaksi seperti itu."
Revan dan Kian terdiam, mencerna perkataan Liam. Teori itu terasa masuk akal, tapi juga sangat menyakitkan. Hal itu berarti Fara mungkin mendapatkan konsekuensi dari semua perbuatannya.
"Perkataan lo masuk akal, Liam," bisik Revan. "Kalian ingat pas Aluna cerita saat omnya bilang mau ajak Fara pulang dan menanyakan kepada Aluna apa dia takut tinggal sama Fara?"
"Ingat," balas Kian. "Dan Aluna bilang dia enggak takut. Aluna cuma berharap Fara bisa berubah."
Ketiganya terdiam, menyadari betapa ironisnya situasi ini. Aluna yang berharap hubungannya dengan Fara membaik, justru secara tidak sengaja memicu kejadian yang membuat Fara semakin terpuruk.
Keheningan di antara mereka berlima pecah. Revan menghela napas panjang, tatapannya beralih dari Kian dan Liam ke arah Aluna dan Fara. Tanpa berkata apa-apa, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan perlahan menuju bangku mereka. Kian dan Liam hanya bisa menatapnya, bingung.
Suasana di kelas mendadak hening. Beberapa siswa lain menoleh, penasaran melihat Revan berjalan ke depan kelas saat jam pelajaran hampir dimulai. Revan mengabaikan tatapan mereka.
Guru yang mengajar masuk ke dalam kelas. Ia berjalan ke depan, meletakkan bukunya di meja, dan menatap ke sekeliling. Pandangannya berhenti pada Fara yang masih menundukkan kepalanya di atas meja.
Keheningan seketika menyelimuti ruangan. Bisik-bisik Revan, Kian, dan Liam terhenti. Semua mata kini tertuju pada Fara.
Guru itu menatap Aluna yang duduk di samping Fara.
"Aluna, apa Fara sakit? Kenapa dia seperti itu?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh perhatian.
Semua orang menunggu jawaban Aluna. Aluna menatap Fara, lalu menoleh ke arah guru. Ia kini berada di posisi yang sulit, harus memilih antara menutupi kebenaran atau menceritakan semua nya.
Aluna menoleh ke gurunya. "Saya tidak tahu, Bu. Tapi akan saya bangunkan," jawabnya, suaranya pelan dan ragu.
Aluna menghela napas, lalu dengan hati-hati ia menyentuh pundak Fara. Fara yang tadinya menunduk, terbangun dan dengan cepat mengangkat kepalanya. Matanya mengerjap, terlihat bingung dan sedikit terkejut. Ia melirik ke arah Aluna, lalu ke arah guru yang berdiri di depan kelas, menunggu penjelasannya.
Guru menatap Fara dengan khawatir. "Fara, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut.
Aluna melihat Fara sejenak, sebelum Fara mengangkat kepalanya dan memberikan senyum yang dipaksakan. "Ya, Bu, saya baik-baik saja. Saya cuma sedikit sakit kepala," jawabnya, suaranya sedikit serak.
"Kalau begitu, apa tidak lebih baik kamu ke UKS saja?" saran guru itu.
"Tidak, Bu. Tidak apa-apa, saya di sini saja," tolak Fara dengan cepat, nada suaranya tegas. Ia tidak ingin pergi.
Guru itu mengangguk, memahami. "Baiklah kalau begitu. Kalau tidak kuat, langsung ke UKS saja, ya."
"Iya, Bu, terima kasih," kata Fara, kembali menundukkan kepalanya.
Guru itu kemudian berbalik, mengambil spidol, dan mulai menulis di papan tulis, memulai pelajaran. Di samping Fara, Aluna memandanginya dalam diam. Ia tahu Fara berbohong, dan rasanya sakit melihat Fara begitu menderita.
Guru sudah memulai pelajaran, tetapi Aluna masih gelisah di kursinya. Ia menoleh ke arah Fara yang duduk di sebelahnya. Dengan suara sangat pelan, Aluna berbisik,
"Fara, lo yakin enggak ke UKS aja?"
Fara tidak menjawab. Pundaknya sedikit bergetar, dan ia semakin menundukkan kepalanya, seolah bisikan Aluna adalah beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Ia diam, tidak menoleh, tetapi keheningannya adalah jawaban paling jelas.
Aluna mengerti. Ia menarik tangannya dari pundak Fara, membiarkannya sendirian. Selama sisa pelajaran, mereka berdua duduk dalam diam. Jarak di antara mereka terasa jauh, meskipun mereka duduk berdampingan.
Waktu terus berjalan, dan bel pulang sekolah pun berbunyi. Aluna berjalan pulang sendirian, karena Valeria dan teman-temannya sudah dijemput. Sepanjang jalan, pikirannya terus melayang pada Fara dan kejadian di kantin tadi.
Ia melangkah masuk ke rumah, yang terasa lebih sunyi dari biasanya. "Aku pulang," katanya lirih. Tidak ada jawaban. Aluna pun berjalan menuju kamarnya.
Tepat saat ia hendak membuka pintu, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Aluna menoleh.
Siapakah yang datang?
Bersambung......