Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Keributan yang Menyimpan Misteri

Pagi itu, mobil mewah dengan pintu otomatis berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Perlahan, pintu itu terbuka dan Valeria Zeline Kaelani melangkah keluar, menyapa dunia dengan senyum cerah dan seragam yang rapi. Rambutnya yang panjang tergerai indah tertiup angin sepoi-sepoi.

...Hanya ilustrasi gambar....

Di kejauhan, dari balik jendela kelasnya, Kian duduk di bangku paling belakang, tenggelam dalam sebuah buku. Namun, pandangannya teralihkan saat melihat Valeria. Ia terpesona. Buku yang digenggamnya pun terlupakan. Wajah Kian memerah, matanya tak berkedip mengikuti setiap langkah Valeria.

...Hanya ilustrasi gambar,...

Tiba-tiba, sebuah tepukan keras mendarat di bahunya. "Woah, lihat apa, Bro?" suara Liam, teman sebangkunya, mengejutkan Kian. Kian hanya tersenyum malu dan menggelengkan kepala, tak ingin menjawab. Namun, senyumnya tetap merekah.

Sementara itu, Valeria melangkah anggun di koridor sekolah yang ramai. Langkah kakinya terdengar ringan saat ia melewati loker-loker siswa. Ketika hendak berbelok di ujung koridor, ia menabrak seseorang.

...Bruk!...

Valeria oleng, buku-buku di tangannya berhamburan. Ia hampir terjatuh, namun sepasang tangan kuat segera menangkap pinggangnya. Damian Mahesa berdiri di sana. Ia berlutut di depan Valeria, menangkapnya tepat waktu, dan mata mereka bertemu. Jarak wajah mereka begitu dekat, menciptakan momen romantis yang membeku.

...Hanya Ilustrasi gambar....

Tiba-tiba, sebuah suara teriakan memecah momen itu. "Damian! Lepaskan dia!"

Keduanya menoleh. Di ujung koridor, Revan berdiri dengan wajah merah padam, terlihat jelas terkejut dan cemburu.

...Hanya ilustrasi gambar....

Valeria menengok ke arah Revan, lalu kembali ke Damian.

"Lepaskan aku, Damian!" ucap Valeria, segera melepaskan diri dari pegangan Damian. Wajahnya berubah kesal. Ia memunguti buku-ukunya dengan cepat. "Kamu nggak punya mata, ya?! Jalan kok nggak lihat-lihat!" bentak Valeria, menatap Damian dengan marah. Revan dengan langkah cepat menghampiri Valeria yang masih terduduk di lantai. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya, membantu Valeria berdiri. Debu-debu kecil menempel di seragamnya. Setelah Valeria berdiri tegak, Revan segera berjongkok, memunguti buku-buku Valeria yang berserakan. Damian pun ikut membantu, tangannya meraih buku-buku yang sama.

Saat tangan mereka bertemu, tanpa sengaja, mereka berebut sebuah buku. Tarikan kuat dari kedua arah membuat buku itu robek menjadi dua bagian. Valeria yang melihat itu menghela napas kasar.

"Udah! Biar aku aja," ucap Valeria dingin, merebut buku yang masih utuh di tangan Revan. Ia berniat membawa semuanya sendiri, namun Revan bersikeras.

"Biar aku bantu," kata Revan lembut, mencoba mengambil buku dari tangan Valeria. Matanya sempat melirik buku yang masih dipegang Damian. Ia hendak mengambilnya, namun Damian dengan cepat menarik tangannya.

"Udah aku bilang biar aku aja!" nada suara Valeria meninggi. "Kalian berdua jangan bertengkar di sini!"

Revan dan Damian terdiam, menuruti perkataan Valeria. Valeria berjalan lebih dulu meninggalkan mereka, buku-buku tertumpuk di tangannya. Revan dan Damian menyusul di belakangnya dengan langkah yang lebih pelan.

"Kamu ngapain ikutin kita?" tanya Revan sinis kepada Damian.

"Ke kelas lah," jawab Damian santai. "Aku sama Valeria sekelas. Kelas kamu kan ke sana," Damian menunjuk ke arah lorong yang berlawanan dengan kelas Valeria.

Namun, Revan tidak menggubrisnya. Ia terus mengikuti Valeria dan Damian hingga sampai di depan pintu kelas mereka. Valeria kemudian mengambil buku yang masih dipegang Revan.

"Udah, sana Revan kamu balik ke kelas kamu aja. Sebentar lagi bel masuk," kata Valeria, berusaha mengakhiri drama ini.

Sebelum berbalik, Revan mendekatkan bibirnya ke telinga Valeria dan berbisik pelan, "Jauhi dia, Valeria. Jangan sampai kamu terjerat olehnya." Setelah berbisik, Revan menatap tajam Damian, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju kelasnya.

Damian tersenyum puas melihat kepergian Revan. Dengan gerakan cepat, ia mengambil buku robek yang masih dipegang Valeria. "Biar aku bawa sebagian," ujarnya, tanpa menunggu jawaban Valeria dan langsung melenggang masuk ke dalam kelas. Valeria hanya bisa menghela napas panjang melihat tingkah kedua pria itu.

Bel masuk pun berbunyi nyaring,

...Kring...! Kring..! Kkkrrringg...!...

Mengakhiri suasana koridor yang tegang. Damian dengan santai menaruh tumpukan buku Valeria di meja kosong di sebelahnya, lalu menoleh ke arah Valeria.

"Duduk sini," ucapnya, menepuk kursi di sebelahnya dengan senyum jahil. "Kita sekelas, 'kan?"

Valeria menghela napas pasrah. Tidak ada pilihan lain karena guru sudah masuk ke kelas. Dengan langkah malas, ia duduk di sebelah Damian. Teman-teman sekelas hanya bisa saling pandang dan berbisik-bisik pelan, memperhatikan interaksi mereka. Sejak tadi pagi, adegan di koridor itu sudah menyebar cepat.

Psst... psst..."

"Eh, lihat deh! Damian sama Valeria duduk sebangku."

"Gila, 'kan? Padahal biasanya Valeria selalu sama keira atau Naila."

"Iya, aku lihat tadi di koridor. Romantis banget, sampai Damian jongkok gitu."

"Tapi si Revan kayaknya cemburu banget tadi. Muka Revan serem pas teriak-teriak."

"Valeria kan Ratu sekolah, siapa sih yang nggak mau sama dia? Damian sekarang gercep banget."

"Kayaknya mereka ada apa-apa, deh. Bakal seru nih tahun ajaran ini."

Pak Guru pun datang dan akan memulai pelajaran. Namun, Valeria tidak bisa fokus. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di koridor dan bisikan Revan yang terus terngiang di telinganya. Di sisi lain, Damian terlihat santai, sesekali mencuri pandang ke arah Valeria, menikmati momen itu.

Naila dan Keira yang duduk di barisan belakang hanya bisa saling pandang. Mereka sama terkejutnya melihat Valeria duduk di sebelah Damian.

"Kei, aku nggak salah lihat, 'kan?" bisik Naila pelan, matanya tidak lepas dari bangku depan.

"Enggak, kamu nggak salah lihat," Keira membalas, suaranya sangat lirih. "Kenapa Valeria bisa sama dia?"

Mereka sangat ingin menghampiri Valeria dan bertanya apa yang terjadi, namun Pak Guru sudah berdiri di depan kelas, siap memulai pelajaran. Naila dan Keira hanya bisa menahan rasa penasaran mereka, menunggu jam istirahat untuk mendapatkan penjelasan dari sahabat mereka.

Jam pelajaran di kelas Kian, Revan, dan Aluna dimulai. Namun, suasana di sana tidak seramai di kelas Valeria. Revan duduk di bangkunya, masih belum bisa fokus. Buku di mejanya terbuka, namun matanya kosong, menerawang ke luar jendela, memikirkan kejadian di koridor tadi. Wajahnya terlihat muram dan tegang.

Liam, yang duduk di belakang nya, menyadari perubahan sikap Revan. Ia menyentuh lengannya, melihat Revan yang tak seperti biasanya.

"Rev, kenapa?" bisik Liam. "Muka lo ditekuk gitu, kayak baju belum disetrika."

"Bro, kenapa hey? Kayak baru ditinggal cewek aja," bisik Liam, nada suaranya jahil.

Revan hanya menoleh sekilas dan kembali menatap ke luar jendela. "Diam."

"Lah, tumben. Biasanya lo nggak pernah kayak gini," Liam tidak menyerah. "Ini pasti ada hubungannya sama Valeria, kan?" Dan ada hubungannya sama yang di koridor tadi, iya kan?" Liam tidak menyerah. "Lo cemburu, ya?"

Revan mendengus kesal. "Sudah, jangan banyak tanya. Gue lagi nggak mood."

Liam hendak membalas, namun suara Pak Guru terdengar tegas. "Liam, Revan, perhatikan ke depan! Jangan berbisik saat pelajaran." Liam dan Revan pun terpaksa kembali fokus ke depan, meski pikiran Revan masih tertinggal di koridor. Aluna, yang duduk tak jauh dari mereka, hanya bisa melirik Revan dengan wajah penuh tanya.

Sedangkan Kian, yang duduk di sebelah Liam, tampak serius memperhatikan Pak Guru di depan kelas. Namun, telinganya tidak luput menangkap bisik-bisik Revan dan Liam. Kata "cemburu" yang dilontarkan Liam kini mengusik pikirannya. Diam-diam, Kian memikirkan ada apa sebenarnya antara Valeria dan Damian, dan mengapa Revan begitu terpengaruh.

Waktu seakan berjalan lambat. Akhirnya, bel istirahat berbunyi nyaring,

...Kring...! Kring..! Kkkrrringg...!...

Mengakhiri jam pelajaran yang terasa sangat panjang. Suasana kelas yang sunyi berubah menjadi ramai, semua siswa bergegas keluar.

Naila dan Keira segera menghampiri Valeria.

"Val, kamu serius? Tadi kenapa bisa sama Damian?" bisik Keira, matanya melirik Damian yang sudah berjalan keluar kelas.

"Iya, Val! Apa yang terjadi di koridor tadi? Kok bisa sampai duduk sebangku?" tanya Naila cemas.

Valeria menghela napas. "Sudah, jangan dibahas. Pokoknya, dia yang usil." Valeria merasa malu, ia tidak ingin kejadian itu menjadi bahan gosip. "Aku mau ke kantin, laper."

Di kelas sebelah, Revan bergegas merapikan bukunya. Ia masih terlihat kesal.

"Rev, ayo ke kantin," ajak Liam. "Gue laper banget nih."

Revan hanya menggelengkan kepala. "Males."

"Jangan bilang lo masih kepikiran soal tadi," ejek Liam, tapi Revan tidak merespon.

Kian, yang sejak tadi hanya diam, kini menoleh ke arah Revan. "Rev, lo harus tahu. Kalau lo nggak gerak, lo bakal ketinggalan."

"Maksud lo?"

"Valeria dan Damian sudah ke kantin. Mungkin lo harus lihat sendiri," ujar Kian pelan, lalu berdiri dan berjalan keluar kelas.

Revan terdiam. Ia mengepalkan tangannya. Tanpa berkata apa pun, ia mengikuti Kian dan Liam menuju kantin. Ia harus memastikan sendiri.

Kantin sekolah sudah dipenuhi oleh siswa-siswi yang berburu makanan dan tempat duduk. Suara sendok beradu dengan piring, riuh tawa, dan obrolan menyambut kedatangan setiap orang.

Valeria duduk di salah satu meja pojok bersama Naila dan Keira. Mereka memesan makanan, tapi obrolan mereka lebih menarik dari menu makan siang.

"Jadi, beneran 'kan, Val? Dia yang mulai duluan," kata Keira, masih merasa tidak percaya.

"Iya, aku nggak tahu kenapa dia tiba-tiba berulah begitu," jawab Valeria, mengaduk-aduk es tehnya.

"Aku nggak suka dia," timpal Naila dengan tegas. "Dia kayaknya cuma mau main-main sama kamu."

Tiba-tiba, Damian muncul di meja mereka. Dengan senyum lebar dan tatapan jahil, ia meletakkan nampan makanannya tepat di samping Valeria. "Kenapa, Nona Putri? Sampai di kantin masih cemberut."

Valeria menoleh kaget, sementara Naila dan Keira langsung menatap sinis ke arah Damian. "Damian! Pergi sana," bentak Naila.

"Sstt... Nggak boleh galak-galak," bisik Damian pada Valeria. "Nanti cantiknya hilang."

Di pintu masuk kantin, Kian, Revan, dan Liam baru saja tiba. Liam langsung bergegas menuju gerobak bakso, tapi mata Revan langsung menangkap pemandangan yang paling ia hindari: Damian yang duduk santai di samping Valeria. Wajahnya langsung memerah padam, amarah memenuhi setiap sudut matanya.

Kian, yang berdiri di sebelahnya, menyadari hal itu. Dengan tenang ia menepuk bahu Revan, seolah memberi isyarat agar Revan menahan diri. Tapi Revan tidak peduli. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan cepat ke arah meja Valeria.

"Damian! Minggir dari situ!" bentak Revan dengan suara keras, membuat seisi kantin menoleh.

Damian menoleh ke arah Revan, senyumnya justru semakin lebar. "Kenapa, bro? Kamu mau join?"

"Berisik, Revan!" balas Valeria. "Ini bukan urusanmu!"

Mata Revan bertemu dengan mata Valeria, tetapi tidak ada kelembutan di sana, hanya kekecewaan. "Kamu tidak tahu siapa dia, Valeria!" ucap Revan, tanpa mengalihkan pandangan dari Damian.

Valeria menatap Revan, matanya menunjukkan kekecewaan atas sikapnya. Namun, sebelum Valeria sempat membalas, Damian tersenyum sinis.

"Bukan urusan lo juga, Revan," ucap Damian, suaranya pelan tapi penuh penekanan. "Dan lo juga belum tentu tahu siapa gue. Jadi, jangan sok tahu."

Mata Revan membulat, amarahnya semakin memuncak. Ia hendak melangkah mendekati Damian, tapi Kian dengan sigap menahan lengannya.

"Sudah, Rev. Kita pergi," bisik Kian.

"Lepasin gue, Kian!" Revan berusaha melepaskan diri. "Dia nantangin gue!"

"Lo pikir lo siapa, Revan? Sampai harus ngatur Valeria?" Damian tertawa mengejek, membuat Revan semakin kalap.

Valeria yang terkejut melihat Revan begitu marah dan Damian yang memprovokasi, akhirnya bangkit dari kursinya. "Udah cukup! Revan, Damian, bisa nggak sih kalian berhenti?! Jangan ribut disini. "

Tapi Revan dan Damian tidak mempedulikannya. Pandangan mereka terkunci satu sama lain, siap untuk bertarung. Naila dan Keira yang panik, segera menarik Valeria menjauh dari meja.

"Ayo, Val, kita pergi dari sini," ajak Keira.

Kian, dengan kekuatan yang tak terduga, berhasil menyeret Revan menjauh dari keributan itu. Revan terus memberontak, matanya masih menatap tajam ke arah Damian. Damian hanya tersenyum puas, seolah ia telah memenangkan pertempuran kecil itu.

Di tengah keramaian kantin yang kembali normal, Valeria merasa semakin bingung dan malu. Ia tidak mengerti mengapa Revan begitu marah, dan apa maksud dari ucapan Damian. Sementara itu, di lorong kantin, Kian terus menarik Revan, menjauh dari tatapan penuh tanya siswa lain.

Suasana kantin yang sempat tegang kini kembali ramai, namun dengan bisik-bisik yang jauh lebih intens. Para siswa-siswi mulai bergosip, menyusun potongan-potongan kejadian yang baru saja mereka saksikan.

"Gila! Gila! Tadi beneran, kan?"

"Iya, Revan marah besar! Aku nggak pernah lihat dia semarah itu."

"Tapi Damian keren banget, sih. Santai gitu, padahal Revan udah kayak mau ngajak berantem."

"Aku kira bakal berantem beneran. Padahal udah seru banget!"

"Sayang banget nggak jadi. Udah siap-siap mau rekam, eh, Kian malah narik Revan pergi."

Valeria yang berjalan menjauh bersama Naila dan Keira, bisa merasakan tatapan dan mendengar bisik-bisik itu. Ia merasa malu dan tidak nyaman, seolah ia adalah pusat dari semua drama ini. Di sisi lain, Kian berhasil membawa Revan ke tempat yang lebih sepi, menjauh dari keramaian dan gosip yang bertebaran di kantin.

Setelah Revan pergi, teman-teman Damian yang sejak tadi menonton dari meja lain, mulai menghampirinya. Mereka duduk di sekeliling Damian dengan wajah penuh rasa ingin tahu dan kekaguman.

"Edan, Man! Revan sampai segitunya," kata salah satu temannya, Arga, sambil tertawa.

"Baru kali ini gue lihat si dingin Revan ngamuk. Lo kenapa, sih?" tambah Fajar, yang juga salah satu teman dekat Damian.

Damian hanya tersenyum puas, menyandarkan punggungnya di kursi. Ia mengambil sendok dan mulai menyantap makanannya.

"Ya, kenapa lagi kalau bukan karena Valeria," jawab Damian santai. "Dia kan emang nggak suka gue deketin Valeria."

"Tapi lo berani banget mancing dia. Nggak takut, Man?" tanya Arga.

"Ngapain takut? Dia siapa?" Damian mengangkat bahu. "Yang penting Valeria udah tahu, kalau ada orang yang berani perjuangin dia."

"Gue dukung lo, Man. Revan emang udah terlalu lama jadi penguasa," ujar Fajar, menepuk bahu Damian.

Damian hanya tersenyum tipis. Matanya sesekali melirik ke arah Valeria, yang sudah tidak terlihat di kantin. Ia tahu, permainannya baru saja dimulai.

Valeria, Naila, dan Keira berjalan cepat menjauhi kantin yang kini menjadi tempat gosip panas. Mereka akhirnya menemukan tempat yang lebih tenang, sebuah bangku di bawah pohon rindang di taman belakang sekolah. Valeria menjatuhkan diri di bangku, menundukkan kepala. Ia merasa malu dan kesal.

"Val, kamu nggak apa-apa?" tanya Naila lembut, mengusap bahu Valeria.

Valeria menggeleng, tidak mengangkat kepalanya. "Aku malu, Nal. Aku malu banget. Kenapa mereka harus bikin keributan kayak gitu?"

"Val, bukan salah kamu," sahut Keira. "Damian yang mulai. Dia sengaja mancing Revan."

Valeria mengangkat kepalanya, matanya berair. "Tapi kenapa Revan harus ikut-ikutan? Dia... dia sampai bilang 'Kamu tidak tahu siapa dia, Valeria!' seolah-olah dia tahu sesuatu yang aku nggak tahu. Terus, Damian bilang 'Lo juga belum tentu tahu siapa gue.' Apa maksudnya itu semua?"

Naila dan Keira saling pandang. Mereka juga tidak mengerti.

"Aku nggak mau drama. Aku cuma mau sekolah dengan tenang, punya teman-teman baik, dan hidup normal," lirih Valeria. "Sekarang, semua orang pasti ngomongin aku."

Keira memeluk Valeria. "Nggak apa-apa, Val. Kita di sini buat kamu."

Valeria hanya bisa memejamkan mata, membiarkan perasaannya campur aduk. Keributan itu bukan hanya mengganggu ketenangannya, tapi juga meninggalkan teka-teki yang sulit ia pecahkan. Ia tidak tahu, bahwa keributan kecil di kantin hanyalah permulaan dari semua rahasia yang akan menghancurkan dunia sempurna yang selama ini ia jalani.

Valeria terdiam sejenak, memikirkan kembali semua perkataan Revan dan Damian. Rasa penasaran dan bingung akhirnya mengalahkan rasa malunya. Ia harus tahu, apa maksud dari semua teka-teki itu. Ia harus bertanya pada Kian.

Valeria pun mengangkat kepalanya. "Aku mau cari Revan, " ucapnya tiba-tiba.

"Apa?!" Naila dan Keira terkejut.

"Aku harus tanya dia," lanjut Valeria, suaranya penuh tekad. "Aku nggak bisa tenang kalau nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Tapi Val, nanti dia marah lagi," kata Keira cemas. "Biar kami temani, ya?"

Valeria menggeleng. "Nggak usah. Ini urusan aku sama dia." Ia berdiri, membersihkan seragamnya yang sedikit kotor. "Kalian tunggu di sini saja."

Naila dan Keira hanya bisa menatap Valeria dengan khawatir saat gadis itu berjalan cepat meninggalkan mereka, menuju keramaian koridor, mencari sosok Revan yang mungkin bisa memberinya jawaban, atau justru menambah kebingungannya.

Valeria yang berjalan cepat menyusuri koridor hingga ia tiba di depan kelas Revan. Di ambang pintu, ia melihat Aluna sedang berdiri, melihat ke dalam kelas dengan wajah khawatir.

"Aluna," panggil Valeria.

Aluna menoleh, terkejut melihat Valeria. "Valeria? Kamu kok di sini? Bukannya masih jam istirahat?"

"Revan ada?" tanya Valeria, tidak sabar. "Aku perlu bicara sama dia."

Aluna menggeleng. "Dia belum balik." Aluna menggeser badannya sedikit, menunjuk ke dalam kelas. "Tapi Kian sudah kembali dari tadi, duduk sendirian."

Valeria melihat ke dalam. Di bangku belakang, Kian memang terlihat duduk sendirian, menatap kosong ke luar jendela, seolah dunianya sendiri.

Wajah Valeria menjadi tegang. "Kian? Tapi kenapa dia sendirian? Revan di mana?"

"Aku nggak tahu," jawab Aluna, raut wajahnya semakin cemas. "Aku juga heran. Kian cuma diam aja."

Valeria merasakan firasat buruk. Ia menghela napas. "Kalau begitu, aku harus bicara dengan Kian." Ia melirik Aluna. "Kamu tunggu di sini aja ya."

Aluna melihat tekad di mata Valeria. "Nggak apa-apa, Val. Aku temani dari sini," ucapnya, memberi isyarat bahwa ia akan menunggu di ambang pintu, mendukung Valeria.

Valeria melangkah masuk ke dalam kelas yang lengang. Langkah kakinya terdengar lembut, tapi Kian sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Ia tetap duduk di bangkunya, tatapannya kosong, terpaku pada pemandangan di luar jendela. Sebuah buku terbuka di mejanya, namun pikirannya jelas tidak ada di sana.

...Hanya ilustrasi gambar....

Valeria berdiri di depannya, menghalangi pandangannya. Ia melihat wajah Kian yang serius, dengan alis yang sedikit berkerut, seolah sedang memecahkan masalah yang rumit. Valeria menarik napas dalam-dalam.

Kian," panggilnya pelan.

Kian tersentak, seperti terbangun dari lamunan panjang. Ia langsung menoleh dan matanya langsung bertemu dengan mata Valeria. Ada keterkejutan yang nyata di wajahnya.

...Hanya ilustrasi gambar....

Kian hanya terdiam. Keterkejutan di wajahnya perlahan berubah menjadi ekspresi kosong seperti semula, namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya yang tajam menatap Valeria, seolah sedang membaca sesuatu di balik kekhawatiran di mata gadis itu.

Valeria merasa tidak nyaman dengan keheningan ini. Ia bisa merasakan tatapan intens Kian.

"Kian," panggil Valeria lagi, suaranya sedikit bergetar. "Aku... aku mau tanya sesuatu."

Kian masih diam, hanya menatapnya tanpa ekspresi. Keheningan itu terasa berat, membuat Valeria semakin frustrasi. Ia mendengarkan bisikan Aluna dari pintu, "Val, sabar..." tapi Valeria tidak bisa menahannya.

"Kenapa Revan marah-marah tadi? Apa maksud kalian berdua bilang aku nggak tahu siapa Damian? Kian, tolong jawab aku!" ucap Valeria, akhirnya tidak bisa menahan kekesalannya.

Valeria menghela napas, merasa frustrasi dengan tatapan kosong Kian. Ia mengulurkan tangannya dan menggoyangkannya perlahan di depan wajah Kian yang sedari tadi menatapnya tanpa berkedip.

"Hallo, Kian? Lo dengar gue?" tanya Valeria, nadanya sedikit meninggi karena kesal.

Kian mengerjap, seolah baru tersadar dari lamunan panjang. "Ah, iya. Maaf, Valeri. Ada apa?" jawab Kian dengan suara lembut, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang jarang terlihat itu membuat Valeria sedikit terkejut.

" Apaan tuh, dia barusan senyum ke gue. Nggak, nggak mungkin pasti gue salah liat." Ucap Valeria dalam hati.

Valeria kemudian tidak memedulikan senyum tipis Kian lagi. Matanya menatap tajam, menuntut jawaban.

" Revan, Revan di mana, Kian?" tanyanya, suaranya terdengar cemas.

Kian menurunkan pandangannya dari wajah Valeria ke meja, lalu kembali menatapnya. "Ah, Revan ada."

Jawaban yang tidak jelas itu membuat Valeria frustrasi. "Iya, di mana tepatnya? Posisinya sekarang di mana? Kenapa dia tidak kembali ke kelas?" tanya Valeria beruntun, tidak sabar.

Kian menghela napas pelan. Matanya tidak lagi menunjukkan keterkejutan, melainkan sebuah kesedihan yang sulit diartikan.

"Dia pergi ke tempat dia selalu pergi saat dia butuh waktu sendiri," jawab Kian. "Kamu tidak akan bisa menemukannya."

"Maksudnya?" tanya Valeria, nada suaranya terdengar kesal. "Jadi kamu nggak mau ngasih tahu ke aku gitu?"

Kian menatap Valeria dengan tatapan yang tulus. "Bukan begitu, Val."

"Lalu apa? Revan marah-marah, aku malu, dan sekarang dia menghilang! Kamu tahu di mana dia, tapi kamu nggak mau kasih tahu?" seru Valeria, tidak bisa menyembunyikan kekesalannya lagi.

"Revan butuh waktu sendiri," jawab Kian dengan tenang. "Dia nggak pernah semarah itu."

Valeria terdiam. Kata-kata Kian, yang diucapkan dengan tenang, justru menusuk perasaannya. Ia tahu Revan adalah orang yang pendiam dan jarang menunjukkan emosi. Jika Revan sampai marah seperti itu, berarti ada sesuatu yang sangat mengganggunya. Dan Valeria tahu, penyebabnya adalah dirinya.

"Tapi... aku harus bicara sama dia. Aku nggak suka dia marah-marah. Aku harus minta maaf," ucap Valeria, suaranya kini melunak.

"Dia bukan marah sama kamu," balas Kian, suaranya sangat pelan, nyaris seperti bisikan. "Dia marah sama dirinya sendiri."

Valeria menatap Kian, mencoba memahami arti dari kata-katanya. Ia kini tidak lagi merasa kesal, melainkan perasaan bersalah yang menyelimutinya.

"Jadi kamu tetep nggak mau kasih tahu nih?" tanya Valeria dengan suara keras, kini air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Ya, oke. Terserah lo aja."

Valeria berbalik, hendak pergi. Ia merasa sia-sia berbicara dengan Kian. Namun, saat ia melangkah, suara Kian terdengar pelan.

"Valeria..."

Langkah Valeria terhenti. Kian berdiri dari bangkunya, berjalan mendekatinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi matanya memancarkan keseriusan.

"Dia bukan marah sama kamu. Dia marah pada dirinya sendiri," ulang Kian. "Dan dia ada di tempat yang bisa membuatnya tenang. Di tempat itu, dia selalu menyendiri."

Valeria menatap Kian, menunggu petunjuk.

"Pikirkan... di mana tempat paling tenang dan sunyi di sekolah ini? Tempat yang tidak akan pernah dijamah orang lain," bisik Kian. "Itulah tempatnya."

Valeria memejamkan mata, memutar kembali ingatannya tentang setiap sudut sekolah ini. Ia memikirkan tempat-tempat yang paling jarang dikunjungi, tempat yang sempurna untuk menyendiri. Sebuah gambaran muncul di benaknya. Ia mengangguk pelan, seolah mengerti. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan berlari keluar kelas, meninggalkan Kian yang hanya bisa menatap punggungnya dengan tatapan khawatir.

...Hanya ilustrasi gambar....

Bersambung....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!