Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Gerbang sekolah sore itu dipenuhi siswa yang berdesakan keluar, suara motor, klakson, dan teriakan teman-teman bercampur jadi satu. Chesna berjalan agak cepat, matanya terus menyorot ke arah seorang sosok tinggi yang tak asing baginya. Degup jantungnya makin kencang. Alan.
Tubuh itu bergerak santai di antara kerumunan, tas disampirkan ke satu bahu, telinganya tersumbat handsfree. Alan tak mendengar apa pun selain musik di kepalanya.
“Alan!” suara Chesna nyaris tercekat, tapi tetap meluncur keluar. Ia mengangkat tangan, mencoba melambaikan. Orang-orang menoleh sekilas, tapi Alan tidak.
“Alan, tunggu!” kali ini lebih keras.
Namun langkah Alan justru makin jauh, tidak memperhatikan sama sekali. Sesekali ia menunduk, seolah sibuk melihat pesan di ponselnya.
Chesna mulai setengah berlari, menembus kerumunan, berdesakan dengan siswa lain. Dadanya sesak, bukan karena lelah, melainkan karena campuran rindu yang menyesakkan dan ketakutan kalau ini adalah kesalahan. Tapi wajah itu terlalu jelas. Itu memang kembarannya.
Di sisi lain, berdiri tak jauh dari gerbang, Gideon baru saja keluar bersama dua temannya. Ia mematung ketika melihat pemandangan itu. Chesna berlari-lari kecil, jelas memanggil Alan.
Mata Gideon menyipit. Rahangnya menegang.
“Kenapa… cewek itu ngejar Alan?” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri.
Ia memperhatikan dengan tatapan tajam, menonton bagaimana Chesna berusaha keras mengejar, namun Alan tetap berjalan tanpa menoleh sedikit pun. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Campuran rasa kesal, heran, dan… entah apa lagi.
Chesna akhirnya terhenti, napasnya tersengal. Alan sudah masuk ke dalam mobil mewah yang bahkan pintu dibukakan untuknya. Matanya memanas, keringat dingin, tangannya gemetar menggenggam tali tasnya.
Gideon mendengus kecil. Bagi orang lain, adegan itu terlihat biasa saja. Tapi bagi Gideon, pemandangan Chesna yang mencoba mengejar Alan, sahabat dekatnya, menimbulkan bara aneh di dadanya.
Ia melangkah pelan mendekat, tapi berhenti beberapa meter sebelum Chesna. Ia hanya mengawasi wajah lelah dan kecewa itu. Bibirnya terangkat tipis, antara sinis dan penasaran.
“Cewek ini… apa maunya sama Alan?” pikir Gideon, tatapannya tak lepas dari punggung Chesna.
Langkah Chesna terasa berat sore itu. Sepulang dari sekolah, ia berjalan menyusuri trotoar yang padat dengan lalu-lalang orang, namun hatinya justru terasa sepi. Tangan kirinya masih menggenggam erat tali tas, sementara tangan kanannya meremas botol minum yang sejak tadi tak disentuh.
Wajah Alan, punggungnya yang tegap, langkahnya yang tenang, earphone yang menutup dirinya dari dunia, semua itu terus berputar di kepala Chesna. Ia memanggil, bahkan berlari mengejar, tapi tidak sekali pun Alan menoleh. Seolah dirinya tidak pernah ada.
Sampai di persimpangan jalan, Chesna menunduk. Ada rasa perih yang sulit ia jelaskan. Apa dia benar-benar tidak dengar? Atau… memang tidak ingin menoleh? pertanyaan itu menusuk hati, membuat matanya panas.
Ia terus berjalan, membiarkan deru kendaraan menelan dirinya yang diam. Sesekali matanya berkaca-kaca, tapi Chesna buru-buru mengedip, menahan air mata agar tidak jatuh di depan umum. Ia tak ingin terlihat lemah.
Begitu tiba di kos, Chesna masuk ke kamarnya dengan langkah tergesa. Tas langsung ia lempar ke kursi kayu usang di pojok ruangan. Tanpa sempat melepaskan sepatu, ia menjatuhkan diri ke kasur tipis, menutup wajah dengan kedua tangan.
Suara napasnya berat. Di balik kedua tangannya, isak kecil akhirnya lolos. “Kenapa… kenapa harus kayak gini…” bisiknya. Ia tahu benar sosok yang ia lihat adalah Alan, kembarannya. Tapi pertemuan itu hanya berakhir dengan jarak yang semakin jauh.
Hening kamar kos membuat rasa sesak itu semakin kuat. Di luar, terdengar suara anak-anak kos lain tertawa bercanda, namun dunia Chesna justru terasa hampa.
Ia bangkit pelan, membuka ponsel dan menatap layar kosong. Jari-jarinya sempat ingin menulis pesan untuk mamanya, ingin meluapkan apa yang baru saja terjadi. Namun ia ragu. Bagaimana jika hanya membuat mamanya ikut sedih?
Chesna akhirnya meletakkan ponsel itu di meja. Ia menatap langit-langit kamar, membiarkan air mata jatuh perlahan ke pelipis. Hatinya remuk, bukan hanya karena gagal bertemu Alan, tapi juga karena bayangan bahwa ia dan kembarannya mungkin memang dipisahkan oleh takdir yang kejam. “Dia… sudah melupakanku.”
___
Di kamarnya malam itu, Gideon duduk di kursi belajarnya dengan wajah kusut. Buku-buku pelajaran menumpuk di meja, tapi tak ada satu pun yang benar-benar ia baca. Pikirannya melayang, berputar-putar pada sosok adik kelas yang belakangan sering mengusik hatinya. Chesna.
Ia memejamkan mata, teringat lagi jelas bagaimana Chesna berlari kecil mengejar Alan di halaman sekolah. Napasnya terlihat memburu, wajahnya penuh harap, tapi Alan sama sekali tidak menoleh. Dan Gideon, entah kenapa, merasa hatinya tersulut panas melihat itu.
“Jangan-jangan… dia suka sama Alan?” gumamnya lirih, sambil menyandarkan tubuh ke kursi.
Bayangan Alan, sahabat dekat sekaligus sosok yang selalu dibandingkan dengan dirinya, bercampur dengan bayangan Chesna. Dua nama itu berputar di kepalanya, membuat dada terasa sesak. Ia mengetuk meja dengan jarinya, gusar, lalu menghela napas panjang.
“Kenapa harus Alan? Dari semua orang, kenapa harus Alan?” Gideon mengacak rambutnya sendiri, tak sanggup menahan rasa kesal yang bahkan tak sepenuhnya ia pahami.
Ada perasaan campur aduk. cemburu, penasaran, sekaligus rasa ingin tahu yang tak bisa dipuaskan. Ia tidak tahu siapa sebenarnya Chesna, dari mana asalnya, atau kenapa ia begitu berbeda dari gadis-gadis lain di sekolah itu. Tapi satu hal yang pasti, pandangannya pada Alan dan Chesna mulai dipenuhi tanda tanya besar.
___
Pagi itu perpustakaan dipenuhi cahaya matahari yang menembus kaca besar di dinding. Chesna melangkah perlahan, jantungnya berdegup kencang. Ia sudah mengumpulkan keberanian semalaman hanya untuk momen ini. Di sudut ruangan, matanya menangkap sosok Alan yang sedang duduk tenang, headset melingkar di lehernya, buku terbuka di meja.
Napas Chesna tercekat. Dari jarak sedekat itu, ia semakin yakin, Alan bukan hanya mirip, dia memang kembarannya. Jemarinya bergetar saat meremas tali ransel. Ia tahu ini kesempatan yang sangat baik.
Dengan langkah ragu, ia mendekat. “A—Alan…” suaranya nyaris berbisik, tapi cukup untuk membuat Alan mendongak.
Tatapan mereka bertemu. Alan sempat terdiam, pupil matanya melebar, wajahnya sedikit menegang. Ada sepersekian detik hening yang bagi Chesna terasa bagai dunia berhenti berputar. Harapannya melonjak, Alan pasti mengenalinya!
Namun, yang keluar dari bibir Alan justru dingin dan datar.
“Kamu siapa?” tanyanya sambil menutup buku di hadapannya.
Pertanyaan itu bagai palu menghantam dada Chesna. Ia terpaku, mulutnya terbuka ingin menjawab, tapi suara tercekat di tenggorokan. Bagaimana mungkin? batinnya bergemuruh. Mata Alan memang menatapnya, tapi sorot itu kosong, seakan-akan mereka benar-benar orang asing.
Chesna mencoba tersenyum, meski jelas bergetar. “Aku… aku cuma mau kenalan. Namaku Chesna.”
Alan mengangguk singkat, seperti formalitas semata. “Oke. Aku Alan.” Ia kembali menunduk, pura-pura sibuk dengan bukunya.
Keheningan kembali menguasai. Chesna berdiri di sana, tubuhnya kaku. Perasaan hangat yang semula membuncah kini berubah jadi dingin menusuk. Dia benar-benar tidak mau mengakuiku…?
Dengan langkah berat, Chesna mundur perlahan, lalu meninggalkan meja itu. Dari jauh, ia masih melirik Alan dan hatinya remuk saat melihat kakaknya sama sekali tidak menoleh lagi.
.
.
Sekian dan terima gajiiii