Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Adrian dan Maya yang Tidak Netral
Moderator seminar, Dr. Hari Santoso, berdiri di podium dengan mikrofon di tangan. Suaranya mantap, tenang seperti biasa. Setelah menyampaikan rangkuman dari pembicara pertama, ia tersenyum kecil, lalu berujar,
“Selanjutnya, kita akan mendengarkan pemaparan dari seorang praktisi muda yang prestasinya luar biasa. Seorang alumni kampus ini juga. Silakan kita sambut, Bapak Adrian Martadinata, S.H., M.H., Senior Associate dari Kantor Hukum Djoenaedi, Martadinata & Rekan.”
Tepuk tangan mulai terdengar di ruangan.
Namun, di barisan tengah, Maya Amelia mendadak memegang dadanya. Bukan seperti sesak biasa.
Bukan karena udara yang pengap atau dingin ruangan. Tapi ada sesuatu yang aneh. Seperti gelombang halus namun tajam yang menyusup dari dalam—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
“Lo kenapa, May?” bisik Tiara, memiringkan tubuhnya.
Maya memaksakan senyum tipis, menurunkan tangannya perlahan. “Gak papa… mungkin karena ruang ber-AC, jadi perut gue agak gak enak,” ujarnya cepat, berusaha meyakinkan temannya sekaligus dirinya sendiri.
Tapi jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Suasana di ruangan berubah—bukan di luar, tapi di dalam dirinya sendiri. Seolah ada kabut tipis yang turun pelan-pelan di benaknya. Maya menatap ke depan, ke arah podium.
Pandangannya menangkap sosok pria bertubuh tinggi, mengenakan jas hitam elegan dan dasi gelap yang rapi. Tatapan matanya tajam, langkahnya tenang dan penuh percaya diri.
Adrian Martadinata.
Ia tidak tahu kenapa, tapi sesuatu dalam dirinya seperti menolak untuk tenang. Seolah waktu memperingatkannya: “Ingat ini. Karena hari ini akan mengubah jalanmu.”
Maya menggigit bibirnya pelan, menyimpan gundah yang tak ia pahami. Ia belum mengenal pria itu. Tapi sesuatu di dalam dirinya seperti sudah tahu—dan tidak menyukainya.
Ruang Seminar – Universitas Bangsa Mulia, Pukul 14.17 WIB
Adrian Martadinata berdiri di belakang mimbar. Sorot mata tenangnya menyapu audiens sebelum akhirnya ia menyalakan pointer dan membuka slide pertamanya.
“Etika dalam profesi hukum,” ujarnya membuka, “bukan hanya tentang aturan. Tapi soal bagaimana kita memilih diam atau bicara… saat tahu kebenaran bisa membahayakan posisi kita sendiri.”
Ruangan hening. Kalimat itu menembus udara seperti palu godam halus yang mengetuk kesadaran.
Maya mengerjap pelan.
Suara Adrian begitu tenang, ritmis, tapi setiap kata mengandung bobot. Karismanya bukan dari sikap flamboyan, melainkan dari cara ia membawa ketegasan tanpa kehilangan empati.
“Dalam dunia hukum,” lanjut Adrian, “tak semua hal bisa dinilai secara hitam-putih. Ada wilayah abu-abu—dan di sanalah integritas diuji.”
Maya menunduk sebentar, mencatat. Tapi jemarinya gemetar tipis. Suara itu. Nada bicaranya. Ia tak tahu kenapa, tapi setiap kalimat Adrian seperti mengusik sesuatu yang sudah lama terkunci di hatinya.
Di barisan depan, Tiara dan Reza tampak serius menyimak. Tapi Maya? Ia mulai kehilangan fokus pada materi. Karena setiap kali Adrian memandang ke arah mereka, sorot matanya seolah menyentuh langsung pikirannya.
Saat sesi tanya jawab dibuka, beberapa mahasiswa mengangkat tangan. Termasuk Maya. Tangannya terangkat dengan ragu, tapi dorongan dari hatinya lebih kuat.
Adrian menunjuk padanya. “Silakan, yang di tengah. Mahasiswi berbaju krem.”
Maya berdiri pelan. Ruangan terasa sunyi. Matanya bertemu mata Adrian sejenak, sebelum ia bertanya:
“Bagaimana caranya mempertahankan integritas… kalau hukum sendiri seringkali dipakai untuk melindungi yang punya kuasa?”
Beberapa mahasiswa menoleh. Pertanyaannya terdengar sederhana, tapi menusuk. Adrian terdiam sebentar.
Senyumnya samar, lalu ia menjawab, “Kalau kamu sudah mulai bertanya begitu, artinya kamu sudah memulai jalan panjang di profesi ini. Dan jawabannya… tidak mudah.”
Ia menatap Maya lebih dalam.
“Terkadang, mempertahankan integritas berarti kehilangan peluang. Tapi justru dari kehilangan itulah kamu menemukan jati dirimu sebagai seorang profesional.”
Maya mengangguk pelan. Ia tidak puas. Tapi ia paham—jawaban itu bukan basa-basi.
Setelah Seminar – Lorong Fakultas Hukum
Mahasiswa bubar perlahan. Tiara dan Reza sibuk berfoto dengan pembicara pertama. Maya berjalan menyusuri lorong kampus, membawa buku catatannya.
Suara langkah sepatu terdengar mendekat dari belakang.
“Maya Amelia?” Panggil seseorang membuat Maya menoleh, ternyata Adrian berdiri tak jauh, tersenyum kecil. “Saya dengar nama kamu dari Pak Hari. Katanya kamu salah satu mahasiswa yang aktif.”
“Oh…” Maya gugup, namun menjaga sikap. “Terima kasih, Pak.”
“Makasih juga atas pertanyaannya tadi,” ujar Adrian. “Jarang ada mahasiswa yang berani bertanya seperti itu.”
Maya mengangguk sopan, tapi tidak langsung menjawab. Ada ketegangan aneh di dadanya—ia sendiri belum tahu apakah itu rasa hormat, curiga, atau firasat.
Adrian melirik jam tangannya. “Kalau kamu punya waktu lain kali, saya terbuka untuk diskusi. Dunia hukum ini… sering kali lebih kelam dari apa yang kita pelajari di kelas.”
Seketika itu, Maya merasa seperti ditarik masuk ke pusaran yang belum ia lihat dasarnya.
“Saya akan ingat tawaran itu, Pak,” ujarnya pelan.
Mereka bertukar senyum tipis—tapi di baliknya, dua dunia perlahan mulai bersinggungan. Bukan hanya soal hukum.
Tapi soal hidup. Soal luka. Soal kebenaran yang belum muncul ke permukaan.
Maya menunduk, menyembunyikan rona merah yang tiba-tiba merekah di pipinya. Suaranya mungkin tenang saat berbicara, tapi di dalam dadanya—detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
Ia tidak menyangka. Seorang Adrian Martadinata—pengacara yang sering ia lihat di berita dan webinar hukum nasional—kini berdiri di hadapannya, menyapanya langsung… dan mengingat namanya.
Ada kekaguman. Tapi juga sesuatu yang lebih lembut, lebih samar. Perasaan aneh yang menyelinap, seperti angin tipis di antara ruang logika dan naluri.
“May! Ayo, laper nih!” suara Tiara menyela lamunannya.
Maya tersentak pelan, lalu tersenyum sopan pada Adrian. “Saya permisi dulu, Pak. Lain kali kita bisa bicara lagi, kalau Bapak berkenan.”
Adrian mengangguk pelan. “Tentu.”
Langkah Maya ringan saat menghampiri Tiara. Tapi sebelum benar-benar menjauh, ia sempat melirik ke belakang—sekilas—dan mendapati mata Adrian masih menatap ke arahnya.
Hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat jantungnya kembali bergetar.
Sementara itu, Adrian berdiri di tempat. Pandangannya mengikuti punggung Maya yang menjauh, langkahnya yang tenang, dan cara ia merapikan jilbabnya tanpa sadar.
Gadis itu masih muda. Mungkin baru 19 tahun, pikir Adrian.
Dan itu justru yang membuat dirinya… gemas. Bukan dalam arti sembarangan, tapi dalam diam-diam ia mengakui: ada sesuatu dari Maya Amelia yang berbeda.
Bukan hanya wajahnya yang jernih atau caranya berbicara yang lugas, tapi… tatapan matanya. Seperti menyimpan kebenaran yang belum diungkapkan. Atau luka yang belum selesai dijahit.
Namun sebelum lamunannya bisa semakin jauh, suara mahasiswa lain memanggil namanya. “Pak Adrian, boleh foto bareng, dong! Tandatangan juga, ya!”
Adrian mengalihkan perhatiannya, memasang senyum profesional, dan menyambut mereka dengan hangat. Tapi dalam pikirannya, nama Maya Amelia tetap tinggal—terukir diam-diam di ruang pikirannya yang jarang terbuka untuk siapa pun.
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏