Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Tok! Tok!
"Nona, Tuan Axel sudah menunggu-"
"Suruh masuk saja ke sini," tukas Elira cepat dari dalam kamar.
Ann terkejut, begitu pun dengan Axel yang mendengarnya. Bukannya langsung menyahut, pelayan itu terdiam karena dilanda kebingungan. Tuan besarnya sudah marah besar padanya akibat meninggalkan Elira sendirian.
Apa kini harus kena marah lagi karena membiarkan majikan mudanya berduaan dengan seorang pria di dalam kamar?
Ann membelalak. "K-ke kamarmu, Nona?"
"Apa telingamu bermasalah?!" dengkus Elira kesal.
Pelayan itu berembus gelisah. Belum sempat mengiyakan, Elira meledak lagi, "SUDAH KUBILANG MASUKKAN SAJA! KENAPA KAU BANYAK BERTANYA?!"
Ann dan Axel lagi-lagi terkejut.
"Biar aku saja yang bicara, Bibi." Ann mengangguk panik, lalu Axel yang kini berbicara. "Elira ... aku akan masuk."
Ann membelalak sambil menggeleng, bermaksud memberi kode, bahwa tindakan Axel sangatlah keliru. Ia tak mau ada peperangan lagi. Cukuplah Cedric bermasalah dengan Arsen, jangan menambahnya lagi.
"Apa-apaan ini?" Cedric muncul tepat saat Axel hendak meraih gagang pintu. "Bibi, kau membolehkannya masuk tanpa seizinku?"
Ann buru-buru menunduk. "Maaf, Tuan. Nona yang meminta-"
Elira dari dalam menjerit lagi, "KENAPA REPOT SEKALI?! KUBILANG BIARKAN DIA MASUK!"
Cedric mendekat, menahan amarahnya. "Beginikah caramu memperlakukan Ayah, Elira?"
Elira diam, tampak tidak sudi menjawabnya.
Akhirnya Cedric menghela kasar. "Masuklah, Axel. Tapi ingat, jika macam-macam padanya, kau berurusan denganku."
Axel mengangguk. "Dimengerti, Paman. Terima kasih."
Begitu Axel masuk, ia melihat Elira duduk di sofa seberang tempat tidur. Kakinya menyilang. Perempuan itu bergeser dan menepuk-nepuk area kosong di sebelahnya.
"Dia terlihat lebih meneduhkan dari lelaki brengsek itu. Namun aku tetap harus hati-hati," batin Elira.
"Sepertinya kau tidak banyak berubah," ucap Elira sambil menatap dua buket yang Axel bawa. "Tetap membuat orang berpikir kau lelaki baik-baik."
Axel tersenyum tipis, meski tatapan matanya sedikit heran. "Apa maksudmu?" tanyanya seraya meletakkan dua benda itu ke atas meja.
Elira tersenyum simpul. "Kau selalu hadir di sisiku tanpa kupinta. Menawarkan kebaikan yang seakan tak ada habisnya," jedanya. Elira mendekat, menatap Axel lekat, "Tapi ..., apa benar sesederhana itu? Tidak ada alasan lain?"
Axel sempat terdiam. Jelas pertanyaan itu membingungkan dan membuatnya sedikit terusik. "Aku hanya seorang pria yang hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
"Mulutnya manis sekali."
Elira berdehem, membenarkan rambutnya ke sisi bahu. "Benarkah? Atau jangan-jangan kau hanya ingin memastikan aku tetap berada dalam genggamanmu?"
Axel terlihat seperti mengingat sesuatu. "Apakah ada hal yang mengganggumu?"
Wanita itu mengangguk. "Aku hanya sedikit kepikiran. Lelaki yang nyaris membunuhku seperti Arsen, masih lebih jujur dalam menampakkan kebenciannya. Sedangkan kau ...," Elira memicing curiga. "Entah apa sebenarnya yang kau sembunyikan di balik senyuman teduhmu itu."
Axel menghela napas panjang. "Elira, aku tidak seperti mereka."
Elira terkekeh lirih. "Tidak seperti mereka? Atau justru lebih berbahaya karena kau pandai menyamarkan niat?”
"Aku harus terus memorovikasinya. Aku yakin, dia akan masuk ke lingkaranku," gumam Elira yakin.
"Sejak kapan kau punya pikiran buruk seperti itu padaku?" Axel bertanya serius, karena sebelumnya Elira tak pernah bersikap seperti ini.
"Jika kau memang tulis, maka buktikan." Elira menggenggam tangan Axel, membuat hatinya merasakan sensasi hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Apa yang harus kubuktikan?" tanya Axel yang berusaha tetap tenang. "Katakan."
Elira menatap lama, hingga akhirnya tersenyum manis.