Jeratan Cinta Sang Pewaris

Raisa mengantar Zira ke sekolah, dia meminjam mobil di kediaman Lergan. Xander yang memiliki dua mobil memberikan satu mobilnya untuk di pakai oleh istrinya itu. Dia sudah menawarkan untuk mengantar, tapi hari ini Raisa ingin pergi sendiri. Xander membiarkan, untuk hari ini saja.

Xander belum juga berangkat ke kantornya, ia menemui Diah dan Reza yang sedang berada di ruang keluarga. Tanpa mengatakan apapun. Xander duduk di hadapan mereka. Reza yang sedang menikmati kopinya pun menghentikan kegiatannya dan meletakkan cangkirnya kembali.

"Mau bicara apa?" Tanya Reza to the point. Dia membaca raut wajah putranya yang ingin membucarakan sesuatu. Sementara Diah mencoba sibuk dengan ponselnya. Dia masih merasa kesal dengan Xander karena membela Raisa.

"Ma, Pa, aku sudah memikirkan matang-matang mengenai rumah tanggaku."

Diah yang mendengar itu mengangkat pandangannya, "Kamu berencana mau cerai?! Akan Mama bantu urus!" Seru Diah semangat dengan senyuman lebar.

"Ma, bukan itu. Aku memutuskan untuk membeli rumah dan membawa istri dan anakku pindah."

"Apa?" Diah berdiri, menatap Xander tak terima. Reza pun turut berdiri, dia menenangkan istrinya yang sudah akan meledakkan emosinya.

"Wanita itu yang hasut kamu, iya?! Xandeeeer, Mama hanya membelamu! Apa sih yang kamu lihat dari dia? Mau janda, banyak janda di luar sana. Enggak harus dia! Mama capek lihat kamu yang cinta seorang diri! Mama capek Xander, lihat kamu yang terus patah hati demi wanita seperti Raisa! Kamu itu b0d0h atau gimana sih!" Histeris Diah.

Xander beranjak berdiri, menatap mamanya dengan tenang tanpa emosi. "Ma, aku mencintai Raisa. Hanya Raisa wanita yang ingin aku nikahi. Kali ini, aku mau membangun rumah tanggaku. Aku juga sedang membangun hubungan kami, dan jika kami terus disini. .. hubungan kami tidak akan maju. Kalau aku berpisah dengan Raisa, aku bisa gil4 Ma."

Diah memegangi kepalanya yang terasa pening, dia mendudukkan tubuhnya dan memejamkan matanya sejenak. Reza yang tahu darah tinggi istrinya kembali datang, gegas memberikannya air minum. Perlahan, Diah meminumnya. Lalu dia mengatur nafasnya agar keadaannya lebih tenang.

Selang beberapa saat, Diah kembali membuka matanya. Dia menatap putranya yang menatapnya dengan tatapan khawatir. "Pergilah, jika itu yang kamu mau."

"Ma ...,"

Diah menunjuk wajah Xander dengan mata yang berkaca-kaca. "Tapi jika di mengecewakanmu lagi, Mama yang akan mengurus perceraian kalian dan memaksamu menikah dengan wanita lain. Hanya kamu, putra Mama satu-satunya Xander. Mendapatkanmu, butuh perjuangan yang tidak sebentar. Mama harus merasakan ribuan jarum yang menvsuk perut Mama, demi menghadirkan kamu di dunia ini. Kamu jantung hati Mama, Mama akan terluka jika kamu juga terluka."

Xander berlutut di hadapan Diah, dia meraih tangannya dan meng3cupnya. Air mata Diah luruh, tangannya yang lain mengelus lembut kepala putranya. Dia kembali memberikan kesempatan untuk putranya mengambil keputusan. Tapi jika setelahnya Raisa kembali membuat Xander kecewa, dia sendiri yang akan turun tangan.

"Terima kasih Ma, aku semakin mencintai Mama!" Xander memeluk Diah, dan meng3cup pipi wanita itu. Reza yang melihat itu gegas menariknya menjauh dan memeluk istrinya. Tak sampai sana, dia menghapus bekas k3cupan yang Xander berikan di pipi Diah.

"Ngapain kamu peluk-peluk istri Papa haha? Peluk istrimu! Udah punya istri masih aja istri orang di peluk. Bahkan di c1um, sembarangan!" Omel Reza yang mana membuat Diah tertawa. Xander tersenyum bahagia, dia harap kedepannya rasa kecewa Diah terhadap Raisa berubah menjadi rasa sayang seorang ibu ke anaknya.

.

.

.

Di mobil, Raisa dan Zira sama-sama mengobrol. Zira bercerita tentang apa yang terjadi di sekolahnya. Raisa jadi pendengar yang baik, dan sesekali keduanya tertawa. Sampai, Raisa teringat akan sesuatu.

"Bunda minta maaf yah sudah buat Zira enggak nyaman tinggal di rumah ayah. Sabar yah, ayah bilang kita akan pindah dari sana."

"Benarkah?!" Raut wajah Zira menunjukkan binar bahagia. Tapi, sedetik kemudian dia berubah murung.

"Tapi aku akan berpisah dari Kayden dong? Kasihan dia Bunda, orang tuanya udah enggak ada. Kalau Zira, kan masih punya Bunda. Kayden, udah enggak ada lagi." Ucap Zira dengan tatapan sedihnya.

Raisa tak memikirkan sampai sana, tapi putrinya memikirkannya. Dia jadi merasa kasihan dengan Kayden. Apalagi, belakangan ini anak itu begitu dekat dengannya. Jika dia pindah, Kayden pasti sedih.

"Kita ajak aja gimana?!" Seru Zira semangat.

Raisa tersenyum sambil mengelus kepala putrinya, "Nanti Bunda bahas sama ayah yah. Keputusan ada di tangan ayah, Bunda hanya bisa menurut."

Zira mengangguk lesu, dirinya berharap Kayden juga ikut dengannya. Saat asik menatap jalan, Zira teringat sesuatu. Pandangannya menatap sang Bunda yang sedang fokus menyetir agar keduanya cepat sampai di sekolah. Namun, hal ini ingin dia sampaikan segera.

"Bunda,"

"Heum?"

"Aku pernah lihat ayah mer0k0k."

"Apa? Ayah mer0k0k?!

_____________

Jangan lupa dukungannyaaa🤩