NovelToon NovelToon
Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Gu Xiulan, Harapan Dan Pembalasan

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: samsuryati

Dulu aku menangis dalam diam—sekarang, mereka yang akan menangis di hadapanku.”

“Mereka menjualku demi bertahan hidup, kini aku kembali untuk membeli harga diri mereka.”

“Gu Xiulan yang lama telah mati. Yang kembali… tidak akan diam lagi.”
Dari lumpur desa hingga langit kekuasaan—aku akan memijak siapa pun yang dulu menginjakku.”

“Satu kehidupan kuhabiskan sebagai alat. Di kehidupan kedua, aku akan jadi pisau.”

“Mereka pikir aku hanya gadis desa. Tapi aku membawa masa depan dalam genggamanku.”

“Mereka membuangku seolah aku sampah. Tapi kini aku datang… dan aku membawa emas.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon samsuryati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24

Hari itu, matahari sudah mulai menurun, menyinari tanah desa yang kering dan berdebu dengan sinarnya yang menguning. Kantor desa tampak tenang dari luar, tapi di dalamnya, suasana tidak benar-benar sepi.

Kepala desa sedang duduk di balik meja kayu panjangnya, meneliti tumpukan catatan yang baru saja diserahkan oleh petugas pencatat kerja ladang. Di pojok ruangan, dua orang pemuda,sekretaris desa dan petugas pencatatan ,tampak sibuk dengan pena dan kertas.

Pintu terbuka pelan, disusul suara langkah kaki berat dan mantap. Nenek Gu masuk dengan wajah tebal yang tidak menyisakan keraguan. Langsung saja ia mendekat ke meja kepala desa tanpa basa-basi.

orang-orang yang berada di dalam kantor memandang nenek gu, kemudian kembali dengan kesibukan mereka sendiri.Tapi telinga mereka tajam untuk mendengarkan semua yang terjadi.

"Kepala desa," kata nenek gu sambil duduk tanpa diundang. "Aku datang untuk membicarakan perjamuan pernikahan cucuku besok."

Kepala desa meletakkan penanya. "Bukankah sudah disepakati akan ada jamuan kecil sebagai bentuk penghormatan?" suaranya datar, namun masih menunjukkan wibawa.

"apa kau ingin menyesalinya?"

"Tidak Kepala desa Aku tidak akan menyesalinya Tapi kau tahu sendiri," potong nenek Gu cepat, suaranya ditekan, namun tajam seperti ujung pisau. "Aku mendengar dari seseorang,Harga gabah naik satu sen lagi hari ini. Satu sen, Kepala Desa! Itu cukup untuk membeli satu mangkuk bubur di pasar!"

"Jadi...

"jadi menurutku tidak perlu mengadakan perjamuan.. Hem.. lagi pula keluargaku miskin dan tidak ada simpanan sama sekali.jadi bagaimana jika uang perjamuannya.. berikan saja kepadaku?"

Kepala desa menghela napas, sedikit tidak sabar. "maksudnya tidak ada perjamuan?"

"Ya yang penting kan menikah bukan perjamuannya"nenek menegaskan lagi .Alasannya adalah Gu Yueqing menikah dengan cara seperti itu tapi Ulan dibuat dengan perjamuan yang mewah.Dia tidak ingin dikatakan sebagai nenek yang berat sebelah.

"Tapi jika tidak ada perjamuan sama sekali, apa yang akan dikatakan warga? Mereka akan bicara. Ini pernikahan, dan apapun alasannya, kita harus menjaga tata cara..."

"Ah, tata cara," potong nenek Gu lagi sambil terkekeh pelan. "Orang-orang hanya akan bicara sebentar. Setelah itu mereka lupa. Lagi pula, ulan menikah dengan prajurit, dan kau sendiri bilang ini hanya bentuk pertanggungjawaban. Bukan pernikahan besar."

Kepala desa menegakkan duduknya. Tatapannya menajam. Tapi sebelum ia sempat menolak lebih jauh, nenek Gu mencondongkan tubuh ke depan dan berkata lebih pelan, namun penuh tekanan, “Lagipula, bukankah kau juga ingin ini cepat selesai? Tidak ada keributan. Semua tenang.”

Kepala desa menatapnya dalam-dalam, lalu melirik sekilas ke arah dua orang bawahannya yang pura-pura tidak mendengar. Ia menghembuskan napas panjang, lalu mengangguk dengan gerakan lambat.

“Baiklah,” katanya, seolah tak punya pilihan. “Dana perjamuan akan langsung aku berikan. Tapi jangan biarkan siapa pun ribut soal ini.”

“Sudah tentu,” jawab nenek Gu ringan. “Mulutku terkunci rapat seperti tempurung kelapa yang dipaku.”

Dengan itu, kepala desa membuka laci di bawah mejanya, mengeluarkan kantong kain kecil yang biasa dipakai untuk menyimpan uang tunai .Ia menyerahkannya dengan enggan. Nenek Gu menerimanya dengan tangan mantap, lalu menepuk-nepuk kantong itu pelan, seperti sedang menimang bayi emas.

“Ini baru namanya rejeki dari langit,” katanya puas, berdiri dengan senyum sumringah. “Besok tidak perlu repot-repot. Yang penting anak itu sudah menikah. Siapa pula yang akan menghitung jumlah lauk di meja?”

Dengan langkah santai namun penuh kemenangan, nenek Gu meninggalkan kantor desa. Di belakangnya, para pegawai hanya saling pandang sekilas, lalu kembali menunduk ke kertas masing-masing. Kepala desa mengusap pelipisnya pelan, seolah ingin menghapus beban dari dahi yang mendadak terasa berat.

padahal tidak satupun orang yang mengetahui jika dia memang tidak ingin membuat perjamuan. Hanya saja dia tidak tahu bagaimana melakukannya. Beruntung nenek yang serakah itu datang ke pintu dan segalanya berjalan dengan lancar.

Ah tidak ada perjamuan maka lebih baik.

Begitu nenek Gu meninggalkan kantor desa dengan langkah percaya diri dan kantong yang bergoyang pelan di pinggangnya, para pegawai di dalam kantor mulai bergerak. Mereka menunggu sampai pintu tertutup sepenuhnya sebelum saling bertukar pandang.

“Astaga... dia benar-benar tidak menyisakan apapun untuk perjamuan?” bisik salah satu pegawai muda sambil menggelengkan kepala. Suaranya cukup pelan, namun cukup jelas untuk ditangkap oleh yang lainnya.

“Kalau tidak salah, uang itu sudah masuk ke kantongnya. Dia bahkan tak pernah menyebut kata ‘kami’ atau ‘keluarga’. Semuanya ‘saya’, ‘saya’, ‘saya’. Jelas dia tidak berniat berbagi dengan siapapun,” timpal yang lain, seorang pria lebih tua yang sudah lama bekerja sebagai pencatat keuangan desa.

“Yah, itu keluarga Gu. Selalu saja begitu,” ujar yang pertama sambil menghela napas. Mereka akhirnya keluar dari kantor untuk menyelesaikan tugas masing-masing, tapi percakapan mereka tidak berhenti di situ. Saat melewati jalan sempit menuju permukiman, mereka melanjutkan gosip itu, tanpa sadar bahwa suara mereka terdengar oleh beberapa orang yang lewat,termasuk seseorang yang dengan cepat menyampaikannya pada Ulan yang saat ini tinggal sementara di rumah kepala desa.

Di rumah kepala desa, sore menjelang senja membawa udara kering dan panas yang melekat di kulit. Di dalam rumah itu, Ulan sedang berada di dapur kecil yang terletak di sisi belakang bangunan. Bajunya tergulung setengah lengan, dan tangan kirinya menggenggam sapu bambu sederhana. Dia baru saja menyelesaikan menyapu lantai tanah yang berdebu dan sedang menuangkan air dari tempayan ke dalam baskom untuk mengepel. Meski tubuhnya bergerak, pikirannya justru melayang jauh.

Dia tidak mendengar suara langkah kaki orang yang datang, hanya menyadari kehadirannya saat suara itu berkata, “Ulan, aku baru saja mendengar... nenekmu tidak akan mengadakan jamuan apapun untuk pernikahanmu besok. Dia bahkan sudah membawa pulang uang perjamuannya sendiri.”

"Apa?"

Bibi ini dengan nafas tersengal-sengal kembali melanjutkan perkataannya nenekmu tidak berniat untuk melakukan perjamuan dia ingin kau menikah begitu saja dan pergi tanpa mengeluarkan satu sen.cis... jika aku tidak melihat sendiri ibu melahirkanmu maka aku mungkin akan berpikir jika kau adalah anak pungut yang dipungut di dalam toilet'

"Ah.. apa katanya harga gabah di kota naik lagi 1 sen, huh, alasan yang tidak masuk akal"

Ulan menoleh pelan.

Matanya tidak berkaca-kaca, wajahnya tidak menunjukkan luka ataupun kekecewaan. Sebaliknya, keningnya berkerut dalam diam, dia sedang memikirkan kabar tadi.Harga gabah naik lagi satu sen. Satu sen yang tampaknya sepele, tapi harga tidak akan turun lagi dalam waktu dekat melainkan akan terus naik-naik dan naik lagi sehingga mencapai berkali-kali lipat.

Jadi... era kelaparan sudah mulai terlihat.

Ulan ingat, satu tahun adalah hal yang berat. tahun ini bencana mulai terasa dan tahun depan akan ada banyak warga yang mati kelaparan. memakan kulit kayu bahkan memakan tanah liat. ada juga yang menukar Putri mereka hanya dengan beberapa potong ubi jalar.

Singkatnya Ulan lupa jika masalah itu sudah dekat.

Melihat wajah Ulan yang mengkerut, bibi yang datang tadi buru-buru berkata lagi, “Jangan sedih, ya. Lagi pula, setelah menikah, kau tak perlu lagi menjadi bagian dari keluarga Gu. Semua ini akan lewat. Yang penting, kau akan memulai hidup baru.”

Dia pikir Ulan pasti bersedih.

Ulan mengangkat wajahnya, senyum samar terlukis di bibirnya, betapa mudahnya orang salah paham terhadap ekspresi diamnya. Dia tidak menjelaskan apa pun. Tidak membantah, tidak membenarkan. Dia hanya mengangguk pelan dan menjawab, “Terima kasih bibi. Aku akan mengingat kata-katamu.”

Setelah orang itu pergi, Ulan kembali menatap baskom air di depannya. Wajahnya kembali serius. Dia sedang menghitung di dalam hati, jika harga gabah naik satu sen setiap satu hari, maka dalam dua bulan ke depan... tidak hanya desa ini akan kekurangan bahan makanan, tapi akan banyak orang yang mulai menjual apapun yang bisa dijual.

Saat itu datang, ia harus sudah siap.

Malam itu ketika semua orang tertidur.

Ulan duduk di sudut ruangan setelah menyelesaikan tugas-tugasnya. Udara malam masih panas dan lengket, namun tubuhnya sudah terbiasa dengan keadaan itu. Ia memandang lurus ke dinding kosong di hadapannya, tapi matanya sebenarnya sedang fokus pada sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain.

Sebuah layar virtual transparan muncul di hadapannya.

Tatapan matanya tertuju pada angka yang tertulis besar di pojok kanan atas layar

Rp1.787,00

Ulan tersenyum kecil. Dia menghitung dalam hati. Sebagian besar dari uang mahar yang diambil diam-diam, sisanya dari pencurian halus seperti 200 rupiah malam itu. Uang kecil bagi orang kota, tapi besar di desa, apalagi di masa kelaparan seperti sekarang.

Namun senyumnya perlahan memudar. Matanya menyipit saat melihat daftar harga barang-barang di layar.

Gandum: 12 sen → 13 sen

Minyak goreng: 25 sen → 26 sen

Kacang merah: 9 sen → 10 sen

"Naik lagi... satu sen. Sama seperti kabar harga di desa hari ini," gumam Ulan dalam batinnya. Tangannya menyapu layar untuk melihat riwayat harga kemarin. Benar, semua harga naik satu sen secara rata.

Artinya... harga dalam layar ini mengikuti harga di dunia nyata.

Pikirannya mulai bekerja cepat.

"Kalau hari ini naik satu sen, kemungkinan besar besok juga akan naik lagi. Dan seterusnya. Aku tidak bisa duduk diam sambil menunggu. Uangku tidak akan cukup untuk bertahan hingga panen berikutnya... bahkan panen pun belum tentu terjadi."

Ulan menggulir layar ke bagian inventaris. Di situ ia melihat barang-barang yang pernah ia beli. Semua masih utuh. Tepung, garam, kacang hijau, bahkan satu liter minyak.

Di bagian bawah layar tertulis sebuah informasi kecil dengan huruf tipis

Barang yang disimpan tidak akan rusak. Masa simpan tidak terbatas.

Jantungnya berdetak lebih cepat.

"Aku bisa menimbun barang sekarang, menyimpannya di sini, dan tidak perlu takut basi atau busuk."

Wajah Ulan perlahan berubah serius. Tatapannya mantap, penuh tekad.

"Aku harus membeli dan menimbun sebanyak mungkin,sekarang. Ini satu-satunya jalanku untuk bertahan hidup. Ketika semua orang kelaparan... aku akan aman."

Matanya menatap angka saldo kembali. Dia tidak merasa puas lagi. Jumlah itu belum cukup.

Belum.

Tapi akan cukup… jika dia mulai sekarang.

Dengan gerakan halus, Ulan membuka layar transparan

Saldo: 17.870 sen

Beras jelek kemarin seharga 5 sen/kg, hari ini menjadi 6 sen/kg. Beras bagus naik dari 10 menjadi 11 sen/kg. Kenaikan kecil, tapi jika dibiarkan... esok lusa, semuanya akan menjadi dua kali lipat lebih mahal.

"Aku harus membeli sekarang.”

Tak ada waktu untuk ragu. Ia membuka daftar dan mulai membeli dengan cepat

Beras jelek — 200 kg @ 6 sen \= 1800 sen

Beras bagus — 200kg @ 11 sen \= 1100 sen

jagung giling — 200 kg @ 5 sen \= 1000 sen

Tepung gandum — 150 kg @ 7 sen \= Rp100 dan 50 sen

Labu kering — 30 ikat @ 4 sen \= 12 sen

Jamur kuping — 4 genggam @ 5 sen \= 20 sen

Akar teratai — 3 buah @ 6 sen \= 18 sen

Daging asap — 3 potong @ 15 sen \= 45 sen

Ikan asin besar — 5 ekor @ 6 sen \= 30 sen

Telur asin — 10 butir @ 2 sen \= 20 sen

Tempe kering — 8 papan @ 3 sen \= 24 sen

Bumbu & Pelengkap

Garam halus — 2 kantong besar @ 5 sen \= 10 sen

Gula merah batang — 500 batang @ 6 sen \= 30 sen

Kecap botol — 2 botol Lima liter@ 8 sen \= 16 sen

Minyak goreng kelapa Lima liter @ 26 sen \= 52 sen

Cabai kering — 3 genggam @ 4 sen \= 12 sen

Bawang dan jahe kering — 2 kantong @ 4 sen \= 8 sen

 Dalam sistem itu, setiap barang yang ia sentuh langsung lenyap dari layar dan masuk ke dalam ruang penyimpanan.

Beberapa menit kemudian, total 1.607 sen telah ia belanjakan.

Saldo tersisa: 6.263 sen

Ulan menatap angka itu dengan penuh rasa puas. Wajahnya tersenyum saat ia melihat deretan barang yang telah tersimpan: cukup untuk bertahan selama musim kelaparan berlangsung.

“Musim ini akan berat,”bisiknya dalam hati. “Tapi aku akan tetap makan nasi.”

bila desa benar-benar jatuh ke dalam kelaparan dan keluarganya menjual anak demi sebongkah jagung,ia tidak akan ikut kelaparan.

Hari ini ia selangkah lebih cepat dari kelaparan.

Dengan tenang, ia menutup layar virtual. Mata terpejam, bibirnya tersenyum, dan pikirannya berbisik:

“Kalau mereka pikir aku cuma gadis dungu dari keluarga Gu, biarlah... Tapi aku akan hidup lebih baik dari mereka semua.”

Hati ulan segera bergetar.Dia tersenyum.

1
Etty Rohaeti
lanjut
Fauziah Daud
yup betul ulan.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt... lanjut
Fauziah Daud
trusemangattt
Cha Sumuk
sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,
samsuryati: say mc nya, sejak awal hanyalah seorang gadis tanpa pengalaman bahkan tanpa ilmu pengetahuan. tidak seperti kita yang tahu membaca dia hanya tahu desa bahkan belum pernah menikmati kota. meninggal pada tahun 70 sekian, hidupnya memang seperti katak di bawah tempurung.

jadi kelahiran kembali memberikan dia pilihan namun pilihan itu belum serta merta membuat dirinya berubah dari gadis muda yang bodoh menjadi gadis muda yang pintar.
ingatlah di dalam dua kehidupan dia bahkan belum pernah belajar.
Ini bukan tentang transmigrasi gadis pintar era 21 ke zaman 60-an di mana era kelaparan terjadi.
bukan say, cerita ini di buat membuat ulan mampu merubah hidupnya selangkah demi selangkah tidak langsung instan.

salah satunya adalah dia yang tidak pernah belajar sebenarnya bisa membaca tulisan-tulisan yang dipaparkan oleh layar virtual.
ya say, anggap saja itu adalah modal pertama dia untuk berubah.
jadi aku masih perlu kamu untuk mendukung agar perubahannya bisa membuatmu puas
total 1 replies
Fauziah Daud
bagus.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt
Andira Rahmawati
ulan nya terlalu lambat telminya kelamaan..😔
Fauziah Daud
bijak ulang.. trusemangattt
Fauziah Daud
trusemangattt.. lanjut
Dewiendahsetiowati
hadir thor
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
lanjuttt
Fauziah Daud
luarbiasa
Fauziah Daud
trusemangattt
Fauziah Daud
hadir thor
Cilel Cilel
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!