Sania pernah dihancurkan sampai titik terendah hidupnya oleh Irfan dan kekasihnya, Nadine. Bahkan ia harus merangkak dari kelamnya perceraian menuju titik cahaya selama 10 tahun lamanya. Sania tidak pernah berniat mengusik kehidupan mantan suaminya tersebut sampai suatu saat dia mendapat surat dari pengadilan yang menyatakan bahwa hak asuh putri semata wayangnya akan dialihkan ke pihak ayah.
Sania yang sudah tenang dengan kehidupannya kini, merasa geram dan berniat mengacaukan kehidupan keluarga mantan suaminya. Selama ini dia sudah cukup sabar dengan beberapa tindakan merugikan yang tidak bisa Sania tuntut karena Sania tidak punya uang. Kini, Sania sudah berbeda, dia sudah memiliki segalanya bahkan membeli hidup mantan suaminya sekalipun ia mampu.
Dibantu oleh kenalan, Sania menyusun rencana untuk mengacaukan balik rumah tangga suaminya, setidaknya Nadine bisa merasakan bagaimana rasanya hidup penuh teror.
Ketika pelaku berlagak jadi korban, cerita kehidupan ini semakin menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dipermainkan
"Sania ... aku tau kau pasti terkejut, tapi kumohon dengarkan penjelasanku lebih dulu."
Di dalam lift, Sania benar-benar risih diikuti oleh Irfan jadi ketika turun dan melihat ruangan rapat tim marketing Brick masih kosong, Sania memutuskan untuk memberi waktu pada Irfan untuk mengatakan apa yang ingin Irfan katakan padanya.
"Mungkin yang terjadi padaku sekarang adalah hukuman atas apa yang aku lakukan dulu padamu, Sania."
Irfan memilih memandang lurus ke bawah dimana mobil di jalan tampak begitu kecil daripada menatap Sania. Sementara Sania justru bersedekap, bersandar santai di tembok dengan kakinya yang panjang dan kurus diposisikan tersilang.
Bibir Sania benar-benar tersenyum sinis ketika mendengar ucapan Irfan. Padahal ini belum seberapa, Irfan bahkan belum merasakan seujung kuku penderitaan yang ia rasakan dulu.
Tapi mungkin Irfan dan Nadine harus mecicipi juga sih, bagaimana rasanya berharap pada harapan kosong.
Sania kemudian berdiri dan menyakukan tangan ke saku, memutar badan menghadap kaca jendela besar.
"Nadine akan aku ceraikan ...." Irfan perlahan menatap Sania. "Mungkin itu bukan bagian yang paling menyakitkan karena memang apa yang aku miliki bersama Nadine bukanlah sebuah kebahagiaan yang sejati. Beda dengan kita ... ketika kita berpisah, aku kehilangan Mutiara, sumber kebahagiaan yang sebenarnya untukku."
Walau Sania tau itu hanya kata-kata bulshit, Sania tetap tersenyum seolah Irfan terdengar tulus.
"Sania, jika aku benar-benar bercerai, bolehkah aku mendekati kamu dari awal?" Dalam beberapa hari, hanya itu yang Irfan pikirkan. Adakah kesempatan untuk kembali meski ia harus merangkak dan berdarah-darah di kaki Sania? Dan ketika kesempatan ini datang, Irfan tidak ingin menyia-nyiakan.
"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, Irfan ... tapi apapun itu selesaikan urusanmu dengan istrimu lebih dulu." Sania menoleh, "aku sedikit tau apa yang istrimu rasakan, karena kita pernah di posisi yang sama."
Irfan tersenyum kecut. "Nadine dan kamu tidak sama, Sania."
"Tapi kami sama-sama istri seseorang, dan kami sama-sama akan diceraikan."
Jakun Irfan tampak bergerak perlahan. Mata Irfan lurus menatap Sania dengan sebuah pemikiran yang dalam, tapi setelah beberapa saat, Irfan mengalihkannya. Ia mengerti Sania masih terluka karena perceraiannya.
"Nadine benar-benar merendahkan aku seolah aku hanya sampah dimatanya." Irfan termenung, "dia pasti dengan mudah menerima gugatan cerai ku, Sania ... kumohon tunggu aku sebentar lagi."
Sania menghela napas. "Kau tau, Irfan ... aku tidak bisa memaafkan kamu semudah itu karena kau juga sama seperti Nadine yang merendahkan aku sebagai istrimu."
Sania kini memutar badan menatap Irfan. Keduanya saling menatap meski mata Sania yang sendu itu benar-benar dingin.
"Aku juga tidak bisa menunggu seseorang dengan percuma karena sekarang aku sedang menggantung perasaan pria lain juga."
Irfan terperangah. Ini artinya—
"Sania, percayalah padaku," ujar Irfan dengan gerakan ingin menggenggam tangan Sania tapi Sania mengelak cepat. "Aku akan segera mengurus perceraian, agar kita bisa sama-sama lagi."
Irfan tidak keberatan sama sekali atas penolakan Sania, justru wajahnya jadi berbinar dan penuh pengharapan.
"Aku harus segera meeting, Irfan ... pergilah! Aku tidak ingin orang-orang itu melihat kita disini!"
Sania pergi begitu saja tanpa memberi Irfan jawaban yang pasti, akan tetapi Irfan yang dibutakan oleh silau cahaya yang Sania pancarkan, justru menganggap Sania benar-benar masih berharap padanya.
"Jadi ia mempertahankan hak asuh agar semata-mata aku bisa kembali dengan mudah?" Irfan kepedean. Dikepalanya mulai tersusun alur yang menurutnya benar. Bayangkan jika Nadine yang berhasil memenangkan gugatan hak asuh itu, apa perceraian ini akan berjalan mudah?
Irfan bergegas pergi dari kantor dan menuju kantor Alveron. Tentu dengan hati yang membengkak karena Sania, Irfan menjelaskan secara rinci penyebab perceraian pada Alveron yang saat itu benar-benar dibuat melongo.
Sementara itu, Sania yang sejak awal merasa diremehkan oleh tim dari Brick, harus banyak-banyak menahan sabar menghadapi mereka. Datang sangat terlambat bahkan nyaris satu jam penuh Sania menunggu di ruangan rapat seorang diri, kini ia harus melayani masukan-masukan aneh dari mereka yang benar-benar ingin memasukkan semua unsur barat ke dalam iklan.
"Ini terlalu vulgar," jawab Sania lelah.
"Tapi di sanalah daya tariknya, Bu Sania." Seorang pria agak gemuk memutar pena di tangannya, menatap Sania dengan pandangan yang merendahkan. "Iklan under wear pria harus menonjol, semakin bagus lekukan di sana, semakin tampan pula seorang pria terlihat."
"Ini akan terpampang di jalan-jalan besar kota kita, Pak ... bisakah kita sedikit menoleransi anak-anak dibawah umur?" Sania berkeras. Ayolah, negara ini sudah terlalu buruk kasus aborsinya, jangan ditambah dengan iklan yang kurang bermoral begini.
"Kalau begitu, buatkan kami konsep iklan yang menjual tanpa menonjolkan bagian tubuh pria!" pinta orang itu terkekeh. "anak-anak yang punya kelainan jika mampu berfantasi tentang bentuk kelaminn pria dewasa," gumam pria itu dengan nada merendahkan.
Sania menyerah. "Saya sudah membuat banyak konsep yang masuk akal tapi kalian semua menolak mentah-mentah."
Sania menujukkan lagi file yang disimpannya, "ini adalah konsep terakhir saya."
Sania menjelaskan lagi detail dari iklan tersebut hingga memakan waktu hampir setengah jam sebelum orang-orang Brick yang sulit ini hanya menghela napas sebagai jawaban.
"Kami akan pertimbangkan lagi!" ujar kepala tim marketing seraya menutup laptop. "Kirim ke asisten saya filenya untuk saya pelajari lebih lanjut."
Hah! Ucapan apa itu tadi?
Beginikah perusahaan besar bekerja?
Sania benar-benar frustrasi tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengirimkan file dengan segera dan pamit undur diri tanpa menunggu lagi.
Kepala tim marketing, Boby, tersenyum penuh kemenangan ketika Sania akhirnya menyerah.
"Beri watermark pada konsep iklan itu." Ia menyeringai licik. "Mulai syuting iklan dua atau tiga hari lagi, dengan konsep iklan ini. Lakukan seperti biasa dan bersih!"
Tim segera mengemas barang dan pergi meninggalkan ruangan kosong yang memang tidak pernah menjadi ruang rapat Brick International.
"Dasar wanita bodoh, mudah sekali dibohongi!" cemooh Boby dari sudut bibirnya. Boby mengemas semua perlengkapan, termasuk rekaman rapat yang akan ia gunakan dengan baik nantinya. Wanita itu sudah membuatkan setidaknya lima konsep iklan, yang akan dengan mudah ia terapkan pada iklan mana saja keluaran Brick tanpa menyewa lagi vendor periklanan. Nantinya, ia akan memakai vendor palsu untuk mencairkan dana, yang mengalir ke rekeningnya sendiri.
...
Sania memilih tidak kembali ke kantor dan pulang lebih awal. Mutiara hari ini meminta menginap di rumah Bibi Sula setelah ujian akhir selesai.
Sania praktis hanya di rumah sendiri. Meski ia pasti akan merasa sepi, tapi ia tidak akan menyusul Mutiara. Ia menghargai privasi dan keinginan Mutiara, jadi ia akan menahan rindu ini sampai besok pagi.
Ketika membuka pintu, Sania dikejutkan dengan aroma daging panggang yang lezat. Seketika perut Sania keroncongan.
"Astaga aku belum makan seharian ini." Sania benar-benar lupa akan hal itu. Karena ia pikir itu adalah asisten rumah yang masih menyiapkan makan malamnya sebelum pulang, Sania bergegas ke dapur.
Namun suara pria yang begitu penuh aura, Sania kaget.
"Welcome home ...."
tp gk apa2 sih kl mau cerai juga, Nadine pasti nyesek🤣
Sifat dasar Nadine suka menghancurkan. Bukan hanya benda, pernikahan orang lainpun dihancurkan.
Dan sekarang rumahtangganya mengalami prahara akibat ulahnya yang memuakkan.