Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Dua Hari Lagi
Malam telah tiba, keheningan melingkupi rumah Hana. Maya duduk seorang diri di ruang tamu yang temaram, pandangannya kosong menatap ke luar jendela. Pikirannya kembali melayang pada foto Riski dan komentar Hana sore tadi, juga pada pesan-pesan Wawa yang menentukan.
Melihat hal tersebut, Hana yang baru selesai dari kamarnya langsung bergabung dan duduk di sebelah Maya.
Hana: "May, kamu kenapa? Wajahmu tegang banget. Ada yang salah?" tanya Hana, penuh perhatian.
Maya tersentak dari lamunannya. Dia menatap Hana, matanya memancarkan kebingungan yang nyata.
Maya: "Aku... aku nggak mengerti sama apa yang aku rasakan, Kak Hana."
Hana: "Maksudmu?"
Maya: "Apalagi setelah membaca pesan dari Kak Wawa sore tadi."
Hana menunggu Maya melanjutkan ceritanya.
Maya: "Kak Wawa bilang di pesannya, uang mahar untuk membeli pakaian syar'i sudah dikirim. Terus, Umma Fatimah juga mengirimkan uang untuk membuat acara sederhana akad nikah suamiku dan aku, dua hari lagi di rumah Kak Wawa."
Maya menarik napas dalam, mencoba memproses kecepatan semua ini terjadi.
Maya: "Suami Umma Fatimah tidak memiliki banyak waktu. Setelah selesai ijab kabul, aku akan langsung dibawa ke kota tempat tinggal mereka."
Hana terdiam, terkejut mendengar betapa cepatnya proses ini berjalan. Dua hari lagi. Waktu yang terasa sangat mepet.
"Dua hari lagi, May?" ulang Hana, memastikan.
Maya mengangguk pelan. Amarah karena dicampakkan Madhan, kerinduan pada keluarga, ketakutan akan kakaknya Dion, semua terasa campur aduk dengan realitas baru yang mendekat dengan kecepatan luar biasa. Dia akan menikah siri, dalam dua hari, dan langsung pindah kota. Statusnya sebagai "Perempuan Kedua" akan segera menjadi nyata.
.......
Pagi itu, udara terasa dingin menusuk, meskipun matahari sudah mulai meninggi. Maya sudah rapi, hatinya terasa berat, sebuah beban tak kasat mata yang menghimpit setiap tarikan napasnya. Ia sedang menunggu jemputan Wawa di teras rumah Hana, siap untuk membeli pakaian syar'i yang akan menjadi maharnya.
Tak lama, mobil Wawa berhenti di depan rumah. Wawa turun dengan senyum ramah yang dipaksakan, matanya memancarkan empati yang dalam, seolah bisa membaca badai di dalam jiwa Maya. Hana memilih tinggal di rumah, menyisakan Maya dan Wawa berdua dalam perjalanan krusial itu.
"Assalamualaikum, May. Sudah siap?" sapa Wawa, suaranya sedikit serak.
"Waalaikumsalam, Kak Wawa. Sudah," jawab Maya, suaranya nyaris seperti bisikan.
Mereka pun masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, Maya seperti kehilangan semangat hidup. Tidak ada celoteh, tidak ada pertanyaan, pandangannya lebih sering terarah ke luar jendela, menatap jalanan kota yang ramai dengan pandangan kosong, seolah jiwanya tertinggal di bandara kecil tempat ia berpisah dengan Kak Laila.
Wawa pun sama. Ia tidak banyak bicara, mengemudi dalam keheningan yang menghormati kegelisahan Maya. Ia mengerti kondisi Maya yang mungkin sedang dilanda dilema terbesar dalam hidupnya. Mungkin Maya berdebar-debar tak menentu karena hari pernikahannya tinggal dua hari lagi.
Atau mungkin juga, Wawa berpikir, Maya sedih karena ternyata Tuhan memberikan takdir padanya seperti ini. Hari pernikahan yang biasanya menjadi momen bahagia yang dirayakan bersama keluarga, tawa, dan air mata haru, Maya justru harus melewati momen tersebut tanpa kehadiran orang tua dan kakaknya. Hanya ada Hana, dan keluarga Kak Wawa—orang asing yang belum lama dikenalnya, yang kini menjadi satu-satunya saksi bisu pernikahan siri yang penuh kerahasiaan ini.
Kesunyian dalam mobil itu dipenuhi oleh pikiran dan perasaan yang tak terucapkan, melukiskan potret kesepian seorang "Perempuan Kedua" yang sedang menuju takdirnya.
Wawa dan Maya pun akhirnya sampai di sebuah toko yang khusus menjual baju-baju syar'i. Toko itu terlihat rapi dan estetik, dengan koleksi gamis dan khimar berwarna lembut yang tertata apik. Kebetulan, pemilik toko tersebut adalah teman lama Wawa.
"Assalamualaikum, Umma," sapa Wawa hangat kepada pemilik toko, seorang wanita bercadar yang ramah.
"Waalaikumsalam, Wawa. MasyaaAllah, sudah lama tidak mampir," balas Umma, tersenyum tulus di balik niqabnya.
Setelah basa-basi sebentar, Wawa menceritakan secara singkat tentang Maya yang seorang mualaf dan akan menjalani pernikahan poligami. Umma mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali matanya beralih menatap Maya dengan lembut.
Setelah Wawa selesai bercerita, Umma tersenyum tulus dan mengucapkan, "MasyaaAllah, Tabarakallah."
Dia menghampiri Maya, suaranya menenangkan. "Subhanallah, dik. Saya percaya Maya mampu menjalaninya. Karena itulah Allah memilih Maya untuk takdir seberat ini. Allah tidak akan membebani hamba-Nya melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
Pujian dan kata-kata motivasi dari orang asing yang baru dikenalnya itu menohok hati Maya. Air matanya kembali menggenang. Di toko yang penuh ketenangan itu, Maya merasa mendapatkan suntikan kekuatan baru. Dia mengangguk, mencoba tersenyum, siap untuk memilih pakaian yang akan menjadi simbol awal kehidupan barunya.
Setelah mendapatkan beberapa set pakaian syar'i yang sesuai dengan seleranya—gamis berwarna lembut dan khimar yang serasi—Maya menyerahkan pakaian tersebut kepada Wawa untuk dibayar di kasir. Wawa tersenyum melihat pilihan Maya yang bersahaja, namun matanya memancarkan rasa haru.
Selesai membayar, Wawa tidak langsung mengajak Maya pulang. Dia justru menarik tangan Maya dengan lembut, membawanya ke bagian produk kosmetik yang juga tersedia di toko tersebut.
"May, saya mau belikan kamu alat make up," ujar Wawa dengan nada riang, kontras dengan beban yang mereka rasakan sejak pagi. "Pakai berhias di depan suami, ya."
Maya bingung, hatinya mencelos. Setahunya, calon suaminya hanya mengirimkan uang untuk membeli pakaian syar'i sebagai mahar. Dia tidak ingin Wawa menanggung beban lebih banyak lagi.
Wawa yang memahami kebingungan dan keraguan Maya—serta rasa tidak enak hatinya—kembali berkata, nadanya meyakinkan. "Gak usah khawatir, budget make up dari saya. Anggap saja sebagai hadiah pernikahan buat kamu, hadiah dari seorang kakak untuk adiknya."
"Tapi, Kak..." Maya mencoba menolak halus, air mata mulai menggenang. Kebaikan Wawa terasa terlalu melimpah untuk hatinya yang rapuh.
Wawa memotong cepat, penuh kasih sayang, "Gak ada tapi-tapian, ayo pilih. Kamu berhak bahagia dan terlihat cantik di hari pernikahanmu."
Dengan terpaksa, dan juga rasa terima kasih yang mendalam atas kebaikan Wawa yang tak henti-hentinya, Maya mulai memilih beberapa produk make up dasar yang paling esensial. Kebaikan Wawa bagaikan oase yang menyentuh jiwa Maya yang sedang kering, sedikit meredakan kekhawatiran yang mencengkeramnya.
Keduanya berjalan bersama ke arah kasir. Wawa menata belanjaan di meja konter sementara Maya masih memegang kantong belanjaannya dengan perasaan campur aduk.
Teman Wawa, sang pemilik toko, tersenyum hangat saat melihat tumpukan barang belanjaan mereka, termasuk peralatan make up yang baru saja dipilih Maya.
"Totalnya jadi sekian ya, Wa," ucapnya, menyebutkan harga setelah memberikan diskon yang cukup besar. Matanya yang teduh menatap lurus ke arah Maya. "Diskonnya dari saya, anggap saja sebagai ucapan selamat untuk Maya. MasyaaAllah, semoga lancar ya, dik, pernikahannya."
Maya hanya bisa tersenyum getir dan mengucapkan terima kasih dengan lirih, suaranya hampir tidak terdengar, masih diliputi perasaan haru yang luar biasa dan cemas yang mencekam. Ucapan selamat itu terasa ironis di tengah pernikahan siri tanpa keluarga yang akan dia jalani.
Sementara Wawa, seolah menjadi perpanjangan tangan dari takdir baik, membalasnya dengan ceria, "Wah, rezeki pengantin nih Maya! Terima kasih banyak ya, Umma, baik banget deh."
Kebaikan yang bertubi-tubi dari orang-orang baru ini bagaikan tetesan air di tengah jiwa Maya yang kering kerontang. Sedikit menghangatkan, meskipun bayangan pernikahan siri yang mendadak dua hari lagi masih membayangi pikirannya, mengingatkannya bahwa di balik keramahan ini, ada kenyataan pahit yang menanti.
Bersambung...