NovelToon NovelToon
Senja Garda

Senja Garda

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / Mengubah Takdir / Action / Dosen / Epik Petualangan / Penyelamat
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Daniel Wijaya

Siang hari, Aditya Wiranagara adalah definisi kesempurnaan: Dosen sejarah yang karismatik, pewaris konglomerat triliunan rupiah, dan idola kampus.

Tapi malam hari? Dia hanyalah samsak tinju bagi monster-monster kuno.

Di balik jas mahalnya, tubuh Adit penuh memar dan bau minyak urut. Dia adalah SENJA GARDA. Penjaga terakhir yang berdiri di ambang batas antara dunia modern dan dunia mistis Nusantara.

Bersenjatakan keris berteknologi tinggi dan bantuan adiknya yang jenius (tapi menyebalkan), Adit harus berpacu melawan waktu.

Ketika Topeng Batara Kala dicuri, Adit harus memilih: Menyelamatkan Nusantara dari kiamat supranatural, atau datang tepat waktu untuk mengajar kelas pagi.

“Menjadi pahlawan itu mudah. Menjadi dosen saat tulang rusukmu retak? Itu baru neraka.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daniel Wijaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

JERITAN DI DALAM AIR

Waktu: 11.30 WIB.

Lokasi: Dasar Lubuk Larangan, Sungai Musi.

Di kedalaman lima meter di bawah permukaan Sungai Musi, hukum fisika dan hukum gaib bertabrakan dalam kegelapan lumpur.

Aditya melayang dalam posisi siaga. Cahaya dari lampu bahunya hanya mampu menembus jarak satu meter ke depan, sisanya ditelan oleh partikel sedimen cokelat yang berputar-putar seperti badai debu cair.

Suara sonar di telinganya berbunyi semakin cepat.

PING... PING... PING...

"Mas! Di atasmu!" teriak Karin.

Aditya mendongak.

Dari kegelapan air di atasnya, sesuatu turun. Bukan berenang, tapi jatuh seperti tinta yang diteteskan ke dalam gelas.

Wujudnya cair, tidak beraturan, seolah-olah air sungai itu sendiri memadat membentuk siluet manusia yang bungkuk. Rambutnya—atau lebih tepatnya, ribuan helai ganggang hitam yang hidup—menjuntai panjang, meliuk-liuk mengikuti arus yang tidak ada.

Hantu Banyu. Penunggu Lubuk Larangan.

Makhluk itu tidak memiliki wajah. Di tempat seharusnya ada kepala, hanya ada pusaran air kecil yang berputar lambat.

Aditya tidak sempat berpikir. Rambut-rambut hitam itu melesat ke arahnya seperti ribuan jarum.

Aditya mengaktifkan Pisau Getar di lengan kanannya. Bilah pisau itu bergetar dalam frekuensi ultrasonik, menciptakan buih di dalam air.

Dia menebas.

ZWING!

Rambut-rambut itu terpotong, putus melayang di air. Tapi itu sia-sia. Rambut yang terpotong langsung tumbuh kembali dalam hitungan detik, memanjang dan melilit lengan serta kaki Aditya.

"Sial," batin Aditya. "Dia bukan materi padat. Dia air. Aku tidak bisa memotong air."

Rambut itu mengencang. Aditya tersentak. Dia ditarik dengan kekuatan yang setara dengan mesin winch industri, menyeretnya turun ke dasar lubuk, menghantam akar-akar bakau yang keras.

BUGH!

Punggungnya menghantam batang kayu yang terkubur. Armor nikelnya berderit, tapi bertahan.

Namun, tubuh Aditya di dalamnya terguncang hebat. Giginya beradu.

Hantu Banyu itu melayang mendekat. Dia tidak memukul. Dia melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk.

Pusaran air di "wajah"-nya membuka lebar, membentuk mulut raksasa.

Dan dia menjerit.

Di udara terbuka, jeritan hantu mungkin hanya memecahkan kaca. Tapi di dalam air, suara merambat empat kali lebih cepat dan jauh lebih padat.

Gelombang kejut sonik menghantam Aditya.

WUUUUUMMM!!!

Rasanya bukan seperti didengar telinga, tapi seperti ditabrak truk di seluruh permukaan tubuh sekaligus.

Armor MK-IV buatan Karina berfungsi sempurna; logamnya tidak retak, segelnya tidak bocor. Secara teknis, Aditya aman.

Tapi Raga Aditya—tubuh daging dan tulangnya—tidak sekuat itu.

Gelombang suara itu menembus logam, merambat lewat cairan tubuh Aditya, dan menghajar organ dalamnya. Jantungnya bergetar liar. Paru-parunya terasa diremas. Gendang telinganya berdenging menyakitkan.

"UHUK!"

Aditya memuntahkan darah segar ke dalam maskernya. Cairan merah itu mengotori kaca visor bagian dalam, menghalangi pandangannya.

"Riani benar," pikir Aditya di tengah rasa sakit yang melumpuhkan. "Armor ini kaleng sarden. Aku daging cincang di dalamnya. Wadahku retak."

Hantu itu bersiap menjerit lagi.

Aditya tahu dia tidak akan selamat dari serangan kedua. Dia harus menghentikan ini. Bukan dengan kekuatan otot, tapi dengan sains.

Musuhnya adalah air. Apa kelemahan air?

Panas.

Aditya merogoh sabuk utilitasnya dengan tangan yang gemetar. Dia mengambil sebuah tabung kecil berwarna oranye. Thermal Charge (Granat Termal Magnesium).

"Mendidihlah," desis Aditya.

Dia memicu granat itu dan melepaskannya tepat di depan "wajah" Hantu Banyu.

FWOOSH!

Ledakan putih menyilaukan terjadi di dasar sungai. Magnesium yang terbakar mencapai suhu 3.000 derajat Celsius.

Efeknya instan. Air di sekitar hantu itu mendidih seketika. Gelembung uap raksasa terbentuk, meledak ke segala arah.

Perubahan suhu yang drastis membuat struktur "tubuh" Hantu Banyu yang cair menjadi tidak stabil. Molekul-molekulnya bergetar hebat, lalu buyar menjadi uap dan gelembung panas.

Makhluk itu meraung bisu, tubuhnya hancur berantakan, mundur menjauh ke dalam kegelapan lumpur untuk memulihkan diri.

Aditya terlempar ke belakang oleh arus panas itu. Dia menabrak dasar sungai yang berlumpur.

Napasnya memburu. Oksigen di tabungnya tinggal 15%.

Lampu bahunya menyinari sesuatu di depannya.

Di antara akar-akar pohon bakau yang hangus, ada benda yang bersinar biru redup.

Sebuah Pecahan Kristal seukuran kepalan tangan, tertanam di lumpur. Bentuknya tidak beraturan, runcing dan tajam. Benda itu berdenyut dengan irama yang sama dengan sakit kepalanya.

"Itu dia," bisik Aditya. "Penyebab semua ini."

Hantu Banyu itu mengamuk karena kesakitan oleh radiasi benda ini. Adit harus mengambilnya untuk menetralkan wilayah ini.

Dia mengulurkan tangan kanannya. Sarung tangan taktisnya menyentuh permukaan kristal yang dingin itu.

Dan seketika, Sungai Musi menghilang.

(THE VISION: NUBUAT KEMATIAN)

Dunia berputar. Gravitasi hilang.

Aditya tidak lagi berada di dasar sungai yang tenang.

Dia berada di permukaan.

Waktu: Malam hari. Langit hitam pekat tanpa bintang.

Cuaca: Badai. Hujan deras mengguyur, bercampur kilat ungu yang menyambar-nyambar.

Aditya terombang-ambing di permukaan air sungai yang mengamuk. Ombak besar menghantam wajahnya, memaksanya menelan air kotor yang berbau bensin dan darah.

Dia mencoba menggerakkan tangannya, tapi dia lumpuh. Armornya hancur lebur, menyisakan kabel-kabel yang memercikkan api korsleting di bahunya. Darah hangat mengalir deras dari pelipisnya, membasahi mata kirinya.

Dia mendongak.

Di atasnya, kerangka baja Jembatan Ampera menjulang merah, terlihat mengerikan di bawah sorotan kilat. Lampu-lampu jembatan berkedip-kedip sekarat.

Dia melihat menara jam di jembatan itu. Jarumnya menyala merah darah.

PUKUL 23.00.

"Aditya..."

Sebuah suara dingin berbisik tepat di telinganya. Suara yang dia kenal, tapi dia benci.

Sebuah tangan pucat mencengkeram lehernya dari belakang. Cengkeraman itu bukan hantu. Itu tangan manusia yang diperkuat sihir. Kuat seperti catok besi.

Aditya meronta. Dia ingin berteriak, tapi suaranya hilang.

Dia melihat ke bawah, ke dalam air hitam di bawah kakinya.

Ribuan tangan mayat pucat muncul dari kedalaman, mencengkeram kakinya, menariknya ke bawah.

"Tidurlah, Senja Garda," bisik suara itu lagi.

Kepala Aditya ditekan masuk ke dalam air.

Gelap.

Dingin.

Air masuk ke hidungnya. Paru-parunya terbakar hebat. Rasanya seperti menelan api cair. Jantungnya berdegup satu kali... dua kali... lalu berhenti.

Dia mati.

(REALITAS: LUBUK LARANGAN)

"MAS ADIT! MAS ADIT! JANTUNGMU BERHENTI!"

Suara Karin meledak di telinga, menarik paksa jiwa Aditya kembali ke tubuhnya yang rusak.

Aditya tersentak hebat di dasar sungai. Tubuhnya kejang tak terkendali.

Dia melepaskan kristal itu seolah benda itu adalah bara api. Kristal itu jatuh kembali ke lumpur, tapi Aditya sudah menyambarnya dan memasukkannya paksa ke dalam kantong pengaman di pinggangnya dengan gerakan refleks panik.

UHUK!

Darah menyembur dari hidungnya di dalam helm.

Sistem sarafnya overload. Informasi masa depan yang dia terima terlalu besar untuk ditampung oleh Raga-nya yang masih level manusia biasa. Otaknya korslet.

"Bahaya... Bahaya..."

Sistem AI di armornya mendeteksi tanda vital kritis.

EMERGENCY ASCENT ACTIVATED.

Pelampung di punggung dan lehernya mengembang otomatis dengan suara PHISSS.

Tubuh Aditya melesat naik ke permukaan secepat roket, meninggalkan dasar sungai yang gelap.

BYAAR!

Kepala Aditya menyembul di permukaan air yang silau.

Dia merobek maskernya dengan tangan gemetar, menghirup udara panas Palembang dengan rakus seolah itu adalah oksigen terakhir di bumi.

"Tolong..." desisnya.

Sebuah tangan terulur dari atas rakit Riani. Tangan Fajar.

"Dit! Pegang!"

Fajar menariknya naik ke atas lantai kayu rakit dengan susah payah. Tubuh Aditya berat, bukan karena armor, tapi karena dia sudah menjadi mayat setengah hidup.

Aditya terkapar di lantai basah. Dia menggigil hebat, giginya bergemeletuk. Matanya menatap langit biru yang cerah, tapi pupilnya mengecil ketakutan.

Di matanya, dia masih melihat hujan badai. Dia masih merasakan air di paru-parunya.

Riani berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi datar namun penuh arti.

"Kau berhasil," kata Riani. "Tapi kau melihat sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat."

Aditya berusaha duduk, tapi dia muntah air campur darah.

"Dit?" Fajar berlutut, menepuk pipi Aditya. "Lo kenapa? Muka lo kayak abis liat setan."

Aditya mencengkeram kerah baju Fajar. Cengkeramannya lemah, tapi putus asa.

"Bukan setan, Jar," bisik Aditya, air mata mengalir dari sudut matanya. "Gue... gue liat diri gue sendiri."

"Maksud lo?"

"Di bawah Jembatan Ampera. Jam sebelas malam. Hujan badai."

Aditya menatap Fajar dengan horor murni.

"Gue mati, Jar. Gue liat gue mati tenggelam. Gue rasain sakitnya."

Fajar terdiam. Bulu kuduknya merinding melihat sahabatnya hancur seperti ini.

Riani menghela napas panjang. Dia mengambil toples kaca, memungut kristal dari pinggang Aditya, dan menyegelnya.

"Wadahmu retak parah, Nak," gumam Riani. "Sudah kubilang. Besi tidak bisa melindungimu dari takdir."

Di saku celana Fajar, HP Aditya berbunyi nyaring.

TIIT-TIIT... TIIT-TIIT...

Alarm pengingat.

KULIAH UMUM SEJARAH MARITIM - UNSRI. PUKUL 16.00 WIB.

Aditya menatap layar HP itu. Lalu dia tertawa. Tawa yang kering, gila, dan putus asa.

Dia baru saja mati di masa depan. Dan sekarang, dia harus mengajar masa lalu.

1
Kustri
💪💪💪
👉👉👉
Santi Seminar
lanjutt
Kustri
sambil menyelam minum☕
Kustri
maju teros, ojo mundur Dit, kepalang tanggung, yakin!!!
Kustri
jgn lewatkan, ini karya👍👍👍
luar biasa!!!
Santi Seminar
suka ceritamu thor
Santi Seminar
jodoh kayaknya😍
Kustri
seh kepikiran wedok'an sg duel ro adit ng gudang tua... sopo yo thor, kawan po lawan🤔
tak kirimi☕semangat💪
Kustri
☕nggo pa tio sg meh begadang
💪💪💪thor
Kustri
hahaaa dpt😉 g bs tidur pa dosen
jodoh ya thor🤭
Kustri
apa kau tersepona hai wanita cantik...

makhluk luar angkasa, bukan makhluk halus🤭
Santi Seminar
wow
Kustri
oowh jembatan merah di mimpi adit ternyata di palembang
💪💪💪adit
Kustri
ckckckk... seru tenan!!!
Kustri
serius mocone deg"an
tp yakin sg bener tetep menang
Kustri
☕tak imbuhi dit💪
Kustri
☕ngopi sik dit, bn nambah kekuatanmu💪
Kustri
gempa lokal
was", deg"an, penasaran iki dadi 1
💪💪💪dit
Kustri
3 raksasa lawan 1 manusia...ngeri" sedap
jar, ojo lali kameramu di on ke
💪💪💪 dit
Kustri
pusaka legend sll ada💪
Daniel Wijaya: Betul banget Kak! Nusantara kita emang gudangnya pusaka sakti. Sayang kalau nggak diangkat jadi cerita! 🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!