Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hampir
Suaranya serak, tercekat oleh emosi.
“Ini terasa seperti… seperti cerita yang diceritakan di dekat api unggun. Hangat dan penuh kehidupan.” Ia menatap Li, matanya yang biasanya lesu kini berkilauan.
“Siapa… siapa yang memasak ini, Li?”
“Seorang pelayan, Yang Mulia,” jawab Li, hatinya membengkak karena lega dan bangga.
“Seorang pelayan yang merindukan senyum Yang Mulia.”
Kaisar mengangguk pelan, terus makan dalam diam, menikmati setiap gigitan seolah itu adalah harta karun. Ia menghabiskan lima tusuk sate sebelum akhirnya bersandar, napasnya sedikit terengah.
Perutnya terasa hangat, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa kenyang, bukan karena paksaan, tetapi karena kepuasan.
“Pelayan itu,” kata Kaisar dengan suara yang kini lebih tegas, lebih bertenaga.
“Namanya Xiao Lu, bukan?”
Li tersentak kaget.
“Yang Mulia tahu?”
“Aku mungkin masih muda, Li, tapi aku tidak bodoh.” Kaisar menatap sisa sate di nampan.
“Sampaikan padanya....Sampaikan padanya untuk terus memasak. Katakan padanya bahwa aku akan melindunginya. Tidak peduli apa pun yang terjadi, tidak ada yang boleh menyakitinya. Ini bukan lagi sekadar makanan. Ini adalah harapan.”
Li berlari kembali ke gudang, hatinya terasa ringan seolah bisa terbang. Ia menemukan Han Qiu sedang mondar-mandir dengan cemas.
“Bagaimana?!” tanya Han Qiu begitu melihatnya.
Li tidak bisa menahan senyumnya.
“Dia memakannya! Dia menghabiskan lima tusuk! Dan… dan dia menangis, Xiao Lu! Dia bilang makananmu seperti sebuah cerita!” Li menceritakan semuanya, kata demi kata, termasuk janji perlindungan dari Kaisar.
Kelegaan yang luar biasa membanjiri Han Qiu. Beban yang selama ini menekan pundaknya seolah terangkat. Mereka berhasil. Semua risiko, semua ketakutan, semua kerja keras… terbayar lunas. Ia tertawa kecil, tawa yang terdengar seperti tangisan.
“Kita berhasil, Li. Kita benar-benar berhasil.”
“Ya, kita berhasil,” ulang Li, ikut tertawa.
Han Qiu berjalan ke tungku kecil di sudut dapur belakang, tempat ia biasa merebus air untuk teh para pelayan. Ia perlu menenangkan diri, secangkir teh hangat akan sangat membantu.
Malam hampir berakhir, dan fajar akan segera tiba, membawa serta hari baru yang penuh harapan. Untuk pertama kalinya, ia merasa aman. Ia merasa telah menemukan tempatnya.
Ia meraih teko tanah liat, senyum tipis masih terukir di bibirnya. Ia menuangkan air ke dalam cangkir. Semuanya akan baik-baik saja sekarang.
Tiba-tiba, sebuah bayangan jatuh di atasnya, menelan cahaya remang-remang dari tungku. Udara di sekitarnya mendadak dingin.
Han Qiu mendongak perlahan.
Di ambang pintu dapur, berdiri sesosok tubuh dalam jubah putih bersih yang familier. Wajahnya pucat tanpa emosi, tetapi matanya yang gelap menatap lurus ke arah Han Qiu, setajam belati es.
Itu adalah Chef Gao.
“Kau terlihat sangat senang, Xiao Lu,” kata Chef Gao, suaranya pelan dan dingin, membelah keheningan fajar.
“Apakah ada sesuatu yang menarik yang terjadi malam ini?”
Suara itu, setenang permukaan danau beku namun menyimpan kedalaman yang mematikan, memecahkan gelembung euforia Han Qiu menjadi serpihan-serpihan es yang tajam. Senyum yang baru saja merekah di bibirnya membeku di tempat.
Kehangatan dari secangkir teh yang hendak ia nikmati terasa lenyap, digantikan oleh hawa dingin yang merambat naik dari tulang punggungnya.
Di ambang pintu dapur belakang, siluet Chef Gao yang terbingkai oleh cahaya fajar yang pucat tampak seperti malaikat maut yang datang untuk menagih utang rasa.
Han Qiu meletakkan cangkirnya dengan gerakan yang diperlambat, seolah takut suara dentingan porselen akan memicu amukan sang tiran. Otaknya yang modern berputar cepat, menyusun seribu satu alibi sarkastis yang tak mungkin ia ucapkan.
Oh, tidak ada yang menarik, Chef. Hanya sedikit pengkhianatan kuliner tingkat tinggi, menggulingkan rezim kehampaan Anda dengan dua puluh tusuk sate, dan mungkin, hanya mungkin, menyelamatkan nyawa Putra Langit. Malam yang biasa saja, sungguh.
“Chef Gao,” jawab Han Qiu, menundukkan kepalanya dalam-dalam untuk menyembunyikan kilat kepanikan di matanya. Ia memaksakan suaranya agar terdengar seperti milik Xiao Lu—sedikit bergetar, patuh, dan membosankan.
“Hamba hanya sedang menyiapkan air panas untuk para pelayan lain. Fajar akan segera tiba.”
Gao tidak bergerak.
Matanya yang gelap memindai setiap sudut dapur remang-remang itu. Ia seperti seekor elang yang melayang tinggi, mengamati padang rumput untuk mencari getaran sekecil apa pun yang menandakan kehadiran seekor tikus.
Hidungnya sedikit mengernyit. Ia menghirup udara pagi yang seharusnya hanya berbau embun dan kayu basah. Namun, ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang samar, nyaris tak kentara, tetapi cukup untuk mengusik instingnya yang terlatih dalam dunia ketiadaan aroma. Sebuah jejak hantu dari sesuatu yang hangat, sedikit hangus, dan… hidup.
“Kumpulkan semua pelayan dapur di halaman utama,” perintah Gao, suaranya masih datar, tetapi mengandung nada perintah yang tak terbantahkan.
“Sekarang juga.”
***
Lima belas menit kemudian, di bawah langit fajar yang berubah dari nila menjadi jingga, seluruh staf dapur berdiri berbaris dengan kepala tertunduk. Udara pagi yang sejuk terasa menusuk, tetapi bukan itu yang membuat mereka gemetar. Tatapan Chef Gao yang menyapu barisan mereka satu per satu jauh lebih dingin dari embusan angin mana pun. Li berdiri beberapa orang di samping Han Qiu, wajahnya sepucat adonan bakpao yang belum dikukus.
“Tadi malam,” Gao memulai, suaranya menggema di keheningan halaman,
“saya mencium sesuatu. Bau asing. Bau asap yang tidak murni. Bukan dari tungku utama, bukan pula dari dupa persembahan. Baunya seperti… pembakaran ilegal.”
Hening.
Beberapa pelayan saling melirik dengan cemas. Han Qiu menjaga pandangannya tetap terpaku pada ujung sepatunya yang usang, jantungnya berdebar-debar seirama genderang perang. Ia bisa merasakan tatapan Gao berhenti padanya, seolah sebuah sorotan lampu tak kasatmata sedang menelanjanginya.p
“Bau itu berasal dari arah gudang penyimpanan,” lanjut Gao, matanya masih tertuju pada Han Qiu.
“Bau yang kasar. Vulgar. Bau dari makanan rakyat jelata yang mencoba menyelinap masuk ke dalam tembok suci istana ini.”
Seorang juru masak tua di barisan depan memberanikan diri.
“M-mungkin hanya beberapa daun kering yang terbakar karena tertiup angin ke salah satu lentera, Chef Gao. Malam tadi anginnya cukup kencang.”
Gao tersenyum tipis, sebuah pemandangan yang lebih mengerikan daripada amarahnya.
“Mungkin,” desisnya.
“Atau mungkin, salah satu dari kalian telah mengotori tangan dan dapur ini dengan kegiatan terlarang.”
Ia mulai berjalan pelan di depan barisan, seperti seorang jenderal yang menginspeksi pasukannya yang kalah perang. Ia berhenti di depan seorang pelayan muda yang tangannya masih berjelaga karena membersihkan tungku.
“Tanganmu kotor. Itu bagus. Itu berarti kau bekerja keras.” Ia melanjutkan langkahnya, berhenti di depan Li.
“Wajahmu pucat. Apa kau sakit? Atau kau menyembunyikan sesuatu?”
Li tergagap,
“T-tidak, Chef. Saya… saya hanya kurang tidur.”
Akhirnya, Gao berhenti tepat di depan Han Qiu. Ia tidak menatap wajahnya. Matanya justru tertuju pada tangan dan celemek Han Qiu. Semuanya bersih. Terlalu bersih. Tidak ada noda, tidak ada jelaga, tidak ada sisa adonan.
Sempurna.
“Xiao Lu.....