NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22_Aku ada

Cahaya pagi menyusup perlahan melalui celah gorden ruang tamu.

Tipis, hangat, nyaris ragu—seolah matahari pun berhati-hati menyentuh rumah itu setelah malam yang panjang. Jam dinding berdetak pelan, menjadi satu-satunya suara yang konsisten di antara sisa-sisa keheningan.

Lauren berbaring di sofa ruang tamu.

Tubuhnya terbungkus selimut hingga bahu, rambutnya terurai di atas bantal kecil yang Asher ambilkan semalam. Wajahnya tampak pucat, namun lebih tenang. Mata itu—yang semalam bengkak dan merah—kini tertutup rapat. Bekas tangis masih tinggal di sudut-sudutnya, tetapi napasnya sudah teratur. Pelan. Hidup.

Asher duduk di lantai, bersandar pada sisi sofa.

Ia belum tidur sama sekali.

Punggungnya menempel pada sandaran sofa, satu lutut ditekuk, satu kaki lurus ke depan. Kedua tangannya bertaut longgar di atas paha. Matanya tertuju pada Lauren—tidak berkedip terlalu sering, seolah takut kehilangan satu detik pun dari keberadaannya yang kini tenang.

Ia memastikan ritme napas itu.

Satu… dua… tiga…

Masuk. Keluar.

Baru setelah yakin, bahunya sedikit mengendur.

Malam itu berakhir tanpa kata-kata besar. Tidak ada pengakuan panjang. Tidak ada janji. Hanya kehadiran—diam, kokoh, dan nyata. Asher membantu Lauren bernapas kembali ketika dunianya runtuh, lalu duduk di lantai ini, menjaga jarak yang aman, hingga tubuh itu akhirnya menyerah pada kelelahan.

Ia masih ingat bagaimana Lauren tertidur.

Tangisnya mereda perlahan, kepalanya terkulai ke samping, napasnya memanjang. Asher sempat menahan napas sendiri, takut gerakan kecil akan membangunkannya. Ia hanya mengambil selimut, menutupkan dengan hati-hati, lalu duduk kembali di lantai—posisi yang sama hingga fajar menyingsing.

Asher menatap wajah itu sekarang, di bawah cahaya pagi.

Ada sesuatu yang rapuh namun kuat di sana. Garis-garis kelelahan yang tidak datang dari semalam saja, melainkan dari bertahun-tahun bertahan. Ia tidak perlu tahu seluruh ceritanya untuk memahami satu hal sederhana:

Lauren terlalu lama sendirian.

Asher mengalihkan pandangannya sejenak ke jendela. Langit mulai biru pucat. Suara burung terdengar samar, dunia di luar bergerak seperti biasa—seolah tidak terjadi apa-apa.

Ia kembali menatap Lauren.

Tangannya bergerak sedikit, hampir—hampir—menyentuh rambut yang jatuh di keningnya. Namun Asher menghentikan diri. Ia menarik tangannya kembali, mengepalkan jari pelan di atas lutut.

Masih ada batas.

Dan ia tahu betul batas itu penting.

Lauren bergeser sedikit dalam tidurnya, alisnya berkerut sesaat, lalu kembali tenang. Asher langsung menegakkan tubuhnya, waspada, sampai napas itu kembali stabil.

“Tenang,” bisiknya tanpa suara.

Ia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah pagi ini. Tidak tahu bagaimana Lauren akan memandangnya saat bangun nanti. Tidak tahu ke mana semua ini akan mengarah.

Namun satu hal jelas baginya sejak malam tadi—

Ia tidak menyesal datang.

Ia tidak menyesal tinggal.

Dan ketika matahari akhirnya sepenuhnya menampakkan dirinya, menyinari ruang tamu yang sunyi itu, Asher masih di sana—terjaga, diam, dan menjaga.

Untuk saat ini, itu sudah cukup.

Lauren mulai membuka matanya.

Kesadarannya datang perlahan, seperti kabut yang menyingkir sedikit demi sedikit. Langit-langit ruang tamu tampak asing sejenak, lalu potongan-potongan malam kembali menyusun diri di kepalanya—sofa, selimut, udara dingin, tangis yang tak terkendali.

Dan kemudian—

ia melihat Asher.

Asher masih duduk di lantai, persis seperti terakhir kali ia ingat. Posisinya tidak banyak berubah. Matanya tertuju padanya, tenang, waspada, seolah ia tidak tidur sama sekali. Cahaya pagi menyentuh sisi wajahnya, membuat garis-garis lelah di bawah matanya terlihat jelas.

Lauren tidak berkata apa-apa.

Ia hanya menatap.

Ada dorongan untuk bangun, untuk meminta maaf, untuk merasa malu karena dilihat dalam keadaan paling rapuh. Namun semua itu kalah oleh satu perasaan yang lebih jujur—lebih mendesak.

Untuk saat ini…

ia tidak ingin sendiri.

Hanya sebentar saja.

Dadanya mengembang pelan saat ia menarik napas. Tenggorokannya terasa kering. Dan tanpa peringatan, air mata kembali menggenang, lalu jatuh satu per satu dari sudut matanya, membasahi bantal kecil di bawah kepalanya.

Lauren memalingkan wajah sedikit, mencoba menyembunyikannya.

Asher melihatnya.

Ia tidak langsung bergerak. Tidak bertanya. Tidak menyodorkan kata-kata yang mudah patah. Ia hanya menggeser posisinya sedikit, lebih dekat ke sofa—cukup dekat untuk terlihat, cukup jauh untuk tidak menekan.

“Kau sudah bangun,” katanya pelan.

Lauren mengangguk kecil, nyaris tak terlihat.

Tangannya bergerak di bawah selimut, jari-jarinya saling menggenggam erat, seperti mencoba menahan sesuatu agar tidak pecah lagi. Air mata terus jatuh, sunyi, tanpa isak.

Asher menarik napas perlahan. “Kau tidak harus bicara,” tambahnya. “Aku di sini.”

Kalimat itu sederhana. Tidak dramatis. Tidak menjanjikan apa pun.

Dan justru karena itu, pertahanan Lauren runtuh lagi.

Ia menutup matanya, air mata mengalir lebih deras. Bahunya bergetar kecil, tapi ia tidak menangis keras seperti semalam. Ini tangis yang lebih pelan—lebih jujur—tangis seseorang yang akhirnya tidak perlu berpura-pura kuat.

“Aku…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Ia berhenti, menelan ludah. “…aku capek.”

Asher mengangguk pelan, seolah kalimat itu menjelaskan segalanya. “Aku tahu.”

Lauren membuka matanya lagi, menatapnya. Ada pertanyaan di sana, tapi ia tidak mengucapkannya. Ia hanya menatap—memastikan Asher masih ada, masih nyata.

Asher tidak mengalihkan pandangannya.

“Tidak apa-apa,” katanya lembut. “Kau boleh diam. Kau boleh menangis. Aku tidak ke mana-mana.”

Lauren menghembuskan napas panjang yang bergetar. Tangannya bergerak sedikit di atas selimut, ragu—lalu berhenti. Ia tidak meminta disentuh. Tidak meminta dipeluk.

Ia hanya membiarkan kehadiran itu ada.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama, rasa sepi di dadanya tidak sepenuhnya menggigit.

Pagi itu, di ruang tamu yang sederhana, Lauren tidak sendirian.

Dan untuk saat ini—

itu sudah lebih dari cukup.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!