Di malam yang sama, Yu Xuan dan Chen Xi meregang nyawa. Namun takdir bermain jiwa Yu Xuan terbangun dalam tubuh Chen Xi, seorang budak di rumah bordil. Tak ada yang tahu, Chen Xi sejatinya adalah putri bangsawan Perdana Menteri, yang ditukar oleh selir ayahnya dengan anak sepupunya yang lahir dihari yang sama, lalu bayi itu di titipkan pada wanita penghibur, yang sudah seperti saudara dengan memerintahkan untuk melenyapkan bayi tersebut. Dan kini, Yu Xuan harus mengungkap kebenaran yang terkubur… sambil bertahan di dunia penuh tipu daya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23.Tidak bisa berterus terang.
Cahaya lentera bergetar lembut, menyoroti wajah Chen Xi yang kini sepenuhnya terlihat. Senyap menyelimuti paviliun timur hanya suara lembut angin sore yang menyapu dedaunan dan dengung halus dari serangga malam pertama yang muncul.
Nyonya Shen terpaku.
Tangannya yang semula gemetar kini perlahan terangkat, nyaris menyentuh wajah Chen Xi namun berhenti di udara, seolah takut bahwa jika disentuh, sosok itu akan menghilang seperti mimpi yang rapuh.
“...Kau,” bisiknya nyaris tak terdengar, seakan bicara pada dirinya sendiri.
“Wajahmu mirip sekali dengan mendiang ibuku saat waktu muda,aku tidak sabar menemuimu.”
Chen xi terdiam dan tersenyum tipis, setiap kata diucapkan nyonya Shen seperti isyarat kalau mereka memiliki hubungan. Ibu nyonya Shen pasti cantik, karena Chen xi sendiri sudah terlihat secantik ini walaupun masih remaja. pikir Xu yuan.
Chen Xi menunduk dalam, menyembunyikan tatapannya yang bergetar. “Nyonya Shen,” suaranya lembut namun berjarak, “terima kasih sudah menerima kedatanganku. Aku takut membuat kegaduhan dengan datang tiba-tiba.”
Nyonya Shen menutup mata sejenak, mengatur napas.
Ketika kembali menatap Chen Xi, wajahnya sudah kembali tenang senyum kecil, lembut, penuh kendali seperti biasanya.
“Tidak perlu sopan, nona Chen. Rumah ini… selalu terbuka untukmu.”
Nada suaranya hangat, tapi ada sesuatu di baliknya,seperti selimut tipis yang menutupi bara yang nyaris padam.
Ia menoleh ke arah pelayan. “Chan, suruh para pelayan mundur. Tidak perlu ada yang mendekat ke paviliun sampai aku perintahkan.”
“Baik, Nyonya.”
Bibi Chan memberi hormat dalam, lalu membawa semua pelayan keluar perlahan. Dalam beberapa detik, hanya tersisa mereka bertiga yaitu Nyonya Shen, Chen Xi, dan Lian yang berdiri canggung di dekat pintu.
“Lian, kau juga boleh beristirahat di luar,” ucap Nyonya Shen kemudian, lembut tapi tegas.
Lian tampak ragu menatap Chen Xi.
Chen Xi mengangguk kecil. “Pergilah. Aku tak apa-apa.”
Begitu pintu paviliun tertutup, keheningan turun lagi.
Uap teh masih naik pelan dari teko di meja. Nyonya Shen menatap kursi di seberangnya.
“Duduklah, nona Chen.”
Chen Xi menurut, tapi jarak antara mereka tetap terasa jauh seperti dua dunia yang pernah bersinggungan, kini dipisahkan oleh rahasia yang menekan napas.
Nyonya Shen mengambil cangkir teh, menuangkannya perlahan untuk tamunya. “Kau suka teh lotus? Ini teh dari kebun barat, dipetik pagi ini.”
Chen Xi tersenyum tipis. “Aroma lotus… mengingatkanku pada sesuatu, sepertinya kesukaan kita sama nyonya.”
Senyum Nyonya Shen perlahan memudar, berganti gurat halus kesedihan di ujung mata.
Ia menatap lama wajah gadis di hadapannya garis rahang lembut, bentuk bibir, bahkan cara gadis itu menunduk.
Ingin sekali membawa Chen xi tinggal di rumahnya, tapi ia harus membuktikan dulu tentang kesalahan selir Wu agar Chen xi di terima di keluarga Shen sebagai putri kandung nya.
“Chen Xi,” ucapnya akhirnya, suaranya serak samar, “kalau boleh tahu apa nyonya Heng memperlakukanmu dengan baik?”
Pertanyaan sederhana itu membuat Chen Xi diam sejenak.
“Baik,” jawabnya pelan. “Awalnya ibuku tidak menerimaku,dia takut para pria hidung belang melirik saya.jadi awalnya saya bekerja sebagai budak sebelum menjadi pemusik di Yue zhi.”
Pupil mata Nyonya Shen bergetar.
Budak!, pasti menderita sekali hidupmu nak.
Namun ia cepat menunduk, menutupi guncang perasaannya. Ia menatap teh di tangannya, lalu meneguknya perlahan.
“Begitu… sungguh menarik,” katanya datar, tapi ujung suaranya lembut terlalu lembut untuk sekadar basa-basi.
Chen Xi menatap wanita itu sejenak.
Ada sesuatu dalam cara Nyonya Shen memandangnya bukan pandangan tuan rumah pada tamu, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih hangat, lebih… menyakitkan.
“Nyonya Shen,” katanya akhirnya, pelan, “maaf bila aku lancang… tapi, mengapa nyonya memperlakukanku dengan begitu baik? Aku bukan siapa-siapa.”
“Mungkin aku melihat dirimu seperti putriku, dan wajahmu yang mirip dengan mendiang ibuku yang lama aku rindukan. ”
Alasan nyonya Shen seakan di buat-buat, yang membuat Chen xi tidak percaya dengan ucapan nyonya Shen.
“Benarkah nyonya? ”
Nyonya Shen pun berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan di meja yang terdapat gulungan lalu dia mengambilnya.
“Lihatlah, ini lukisan ibuku yang dibuat ayahku. Yang sudah lama aku simpan”sambil menyerahkan gulungan lukisan ke tangan Chen xi.
Chen xi membukanya, ia terkejut lukisan wanita yang hampir mirip dengan dirinya. “Maafkan saya nyonya, karena ucapan nyonya seakan di buat-buat. Bagaimana pun juga kita tidak ada hubungan keluarga dan itu sulit saya percaya. ”
“Aku tahu Chen xi, siapa pun yang mendengar cerita ku seperti nya aku sedang berbohong. ”
“Saya bukan bermaksud seperti itu nyonya. ”
Nyonya Shen membelai rambut Chen xi dengan lembut, akhirnya di paviliun tersebut nyonya Shen jujur dengan Chen xi.
Ia menceritakan kejadian di masa lalu, saat rencana selir Wu menukar bayi mereka dan membawa bayi nyonya Shen pergi jauh.
Seketika itu juga semua pertanyaan dan kecurigaan Xu yuan pada nyonya Heng terjawab,apalagi setelah nyonya Shen menunjukkan tanda lahir miliknya dipergelangan tangannya.
Ia sadar sekarang Chen xi bukan hanya seorang budak di Yue zhi, tapi dirinya adalah gadis bangsawan yang termasuk golongan keluarga kerajaan saudara jauh Xu yuan.
Xu yuan yang berada didalam tubuh Chen xi tertegun, hanya bisa diam mendengarkan cerita dari ibu kandung Chen xi.
Senja telah benar-benar berlalu, menyisakan langit malam yang dihiasi pendar bintang pertama. Paviliun timur kini diterangi cahaya lentera putih yang berayun lembut, memantulkan siluet dua sosok perempuan di dalamnya satu berbalut jubah ungu lembut, satu lagi berselubung abu muda.
Suasana di dalam ruangan itu hening setelah pengakuan panjang yang mengguncang.
Chen Xi masih duduk diam, pandangannya tertuju pada tangan halus Nyonya Shen yang menggenggamnya erat, seolah takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Wajah wanita itu basah oleh air mata yang ditahan terlalu lama.
“Chen Xi…” suaranya parau, tapi lembut, “aku tahu sulit bagimu mempercayai semua ini. Dunia ini telah membuatmu terlalu banyak berkorban, terlalu banyak terluka. Tapi… aku bersumpah pada nama keluarga Shen, aku tak akan biarkan kau menderita lagi.”
Chen Xi menatap wanita di hadapannya begitu anggun, kuat, namun di balik matanya tersimpan luka dalam.
“Nyonya..,bisakah saya tetap memanggilmu nyonya” katanya nyaris berbisik, namun kata itu menggantung, tertahan di tenggorokannya.
Ia tidak berani mengucapkan ibu, seolah takut bila mengakuinya, segalanya akan sirna seperti mimpi.
Nyonya Shen tidak marah, ia mengangguk pelan dan menyadari Chen xi perlu waktu untuk menerima nya sebagai ibunya.
Nyonya Shen menatapnya dengan kasih yang tak terbendung. Ia ingin memeluk Chen Xi, tapi menahan diri.
Masih terlalu banyak mata dan telinga di rumah ini. Masih terlalu banyak rahasia yang harus dijaga sebelum kebenaran terbuka sepenuhnya.
Ia menyentuh pipi Chen Xi perlahan. “Jangan bilang siapa pun tentang malam ini, bahkan pada pelayanmu sendiri. Dunia di luar ini kejam, dan mereka yang membuat kita terpisah… belum berhenti mengintai.”
Chen Xi menunduk, mengangguk pelan.
Ia tahu, dari nada suara wanita itu, bahwa ini bukan sekadar ketakutan seorang ibu ini adalah peringatan seorang bangsawan yang sedang berperang dalam diam.
Dari luar, suara lonceng kecil di halaman terdengar, menandai malam telah larut.
Nyonya Shen berdiri, mengambil selendang tebal dan menyampirkannya ke pundak Chen Xi dengan lembut.
“Sudah malam. Jika kau tak segera pergi, orang-orang bisa mulai bertanya. Aku akan mengantarmu sampai halaman depan.”
Chen Xi hendak menolak, tapi tatapan penuh kasih itu membuatnya tak kuasa berkata apa-apa.
Mereka berjalan beriringan melewati lorong yang diterangi lentera gantung. Setiap langkah terasa berat bukan karena jarak, tapi karena perasaan yang baru tumbuh dan harus disembunyikan.
Saat mereka sampai di halaman depan, angin malam meniup lembut ujung jubah Chen Xi.
Kereta kecil sudah menunggu, dan Lian berdiri di sisi, siap membuka pintu.
Nyonya Shen menatap wajah gadis itu sekali lagi. “Bisakah kamu menunggu sebentar lagi,ibu akan menjemputmu dengan meriah nak.”
Chen Xi menggenggam tangan wanita itu erat. “Terima kasih, Nyonya Shen. Saya tak akan melupakan malam ini.”
Nada suaranya bergetar, tapi tetap berusaha tegar.
Nyonya Shen tersenyum, menatap gadis itu seperti menatap cahaya yang hilang dari hidupnya bertahun-tahun. “Hati-hati di jalan, anakku…”
Kata anakku meluncur begitu saja, begitu lembut, namun menusuk hingga ke dada Chen Xi.
Lian membantu tuannya naik ke dalam kereta. Roda kereta mulai bergerak perlahan, meninggalkan halaman Shen yang megah.
Nyonya Shen berdiri di tempatnya, menatap punggung kereta itu hingga menghilang di balik tikungan jalan berbatu, sementara matanya mulai basah lagi.
Namun, tanpa sepengetahuan mereka, bayangan lain bergerak diam-diam di antara pepohonan pinus.
Seseorang menunggang kuda hitam, menjaga jarak dengan hati-hati, matanya tajam mengamati arah kepergian kereta itu.
Huan Xuan.
Ia sejak tadi berdiri di balik gerbang timur, mendengar sebagian percakapan samar antara ibunya dan gadis misterius itu.
Ada sesuatu yang tidak biasa pada cara ibunya menatap gadis itu terlalu lembut, terlalu… istimewa.
Ia menuntun kudanya perlahan mengikuti kereta yang melaju ke arah selatan.
“Mengapa Ibu begitu melindungi gadis itu?” gumamnya pelan. “Siapa sebenarnya gadis itu?”
Kereta di depan melaju menuju distrik Yue zhi, tempat lampu-lampu merah dan suara musik mulai terdengar dari kejauhan. Tempat yang tidak seharusnya dikunjungi gadis bangsawan manapun.
Ketika roda kereta berhenti di depan gerbang rumah hiburan besar dengan lentera merah berayun lembut, Huan Xuan yang bersembunyi di balik pepohonan menegang.
“Yue zhi?” bisiknya, keningnya berkerut dalam.
Ia melihat Chen Xi turun dengan langkah anggun, wajahnya masih tertutup kerudung tipis, diikuti oleh pelayannya yang setia.
Para penjaga rumah hiburan langsung memberi salam hormat padanya bukan seperti menyambut penghibur, tapi seperti menyambut seseorang yang mereka hormati.
Huan Xuan menatap pemandangan itu dalam diam.
“Seorang gadis… datang ke Yue zhi di malam hari, dan Ibu mempersiapkan jamuan khusus untuknya?”
Ia menarik napas panjang, matanya semakin gelap. “Aku tidak akan tenang sebelum tahu siapa kau sebenarnya.”
Kuda hitam itu melangkah perlahan mendekati jalan raya, mengikuti dari kejauhan. Di kejauhan, lentera merah bergoyang tertiup angin malam, seolah menjadi saksi awal dari rahasia besar yang mulai terurai satu per satu.