Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3e. Burong Pocut Siti
Setelah berbulan-bulan pertemuan rahasia, Helmi akhirnya memberanikan diri mengambil langkah besar. Cintanya pada Pocut Siti sudah terlalu dalam untuk terus disembunyikan. Ia tak ingin hanya menjadi bayangan di balik kebun pala atau tepian sungai.
Dengan pakaian terbaiknya, ia datang ke rumah Uleebalang Ikhsan, ayah Pocut Siti. Di tangannya, ia membawa bingkisan sederhana: kain tenun, rempah pilihan, dan sebentuk cincin perak yang ia bawa dari negeri seberang.
“Uleebalang Ikhsan,” ucap Helmi dengan suara mantap meski hatinya bergetar, “izinkan hamba melamar Putri Pocut Siti. Hamba berjanji menjaga dan membahagiakannya dengan segenap jiwa.”
Sejenak ruangan itu hening. Para tetua menatap satu sama lain, sebelum akhirnya Uleebalang Ikhsan menghela napas panjang.
“Wahai Helmi,” katanya berat, “kau orang baik, tapi cintamu terhalang tembok yang tak bisa kau runtuhkan. Putriku adalah darah bangsawan, sedang kau hanyalah pedagang asing, orang biasa, tanpa garis keturunan yang bisa disejajarkan.”
Helmii menunduk, dadanya terasa sesak. Namun ia masih mencoba bersuara. “Tuan Uleebalang, cinta tak mengenal derajat. Bukankah kebahagiaan seorang anak lebih berharga dari adat yang kaku?”
Namun jawabannya hanya gelengan kepala. “Adat adalah nafas kami. Tanpa itu, siapa kami?”
Dengan hati remuk, Helmi meninggalkan rumah besar itu. Pocut Siti hanya bisa menatap dari balik tirai, matanya berkaca-kaca, tapi lidahnya terikat oleh aturan keluarga.
Meski lamaran Helmi ditolak, cinta Pocut Siti dan dirinya tak padam. Justru penolakan itu membuat mereka semakin mendekat, seakan dunia luar hanyalah musuh yang mencoba memisahkan mereka.
Di balik kebun pala, di tepi sungai, bahkan kadang di bilik kecil rumah pedagang, mereka bertemu diam-diam. Setiap pertemuan adalah api yang membakar larangan, setiap pelukan adalah pembangkangan terhadap adat.
“Helmi,” bisik Pocut Siti dalam suatu malam ketika bulan purnama menggantung, “meski dunia menolak kita, aku tak menyesal mencintaimu.”
Helmi memegang tangannya erat, matanya berkilat oleh cinta sekaligus kegelisahan. “Jika takdir memisahkan kita, biarlah aku yang menanggung semua dosa. Asal engkau tetap di sisiku.”
Cinta mereka pun berkembang melampaui batas. Apa yang semula hanya tatap dan bicara, berubah menjadi penyatuan jiwa dan raga.
Waktu berlalu, dan Pocut Siti mulai merasakan perubahan pada tubuhnya. Ia sering lelah, mual di pagi hari, dan wajahnya yang pucat justru semakin bercahaya. Dayang-dayang berbisik pelan, tapi Pocut Siti hanya tersenyum samar, menyembunyikan rahasia yang ia tahu pasti: ada benih Helmi yang tumbuh dalam rahimnya.
Malam itu, ia menemui Helmi dengan air mata bercampur senyum.
“Helmi… aku mengandung.”
Helmi terdiam, tubuhnya bergetar antara bahagia dan takut. Ia meraih Pocut Siti ke dalam pelukan. “Itu berarti cinta kita telah menjelma nyata… Tapi, Siti, bagaimana bila orang-orang tahu?”
Pocut Siti menutup matanya, air mata jatuh di pipi. “Aku tak peduli pada adat. Aku hanya tahu… aku mencintaimu, dan anak ini adalah bukti cinta kita.”
Namun jauh di luar sana, bisikan mulai terdengar. Pocut Siti yang jarang keluar kini sering murung. Dayang-dayangnya mulai curiga. Dan di antara bayangan gelap, ada satu nama yang siap menyulut api malapetaka: Zupri, algojo muda yang menyimpan dendam pada Pocut Siti.
Hari-hari Pocut Siti yang biasanya penuh dengan pertemuan rahasia, tiba-tiba berubah sunyi. Helmi tak lagi datang ke pasar, tak lagi menunggu di tepi sungai, tak lagi mengirim kabar melalui sahabat pedagangnya.
Pocut Siti gelisah. Setiap malam ia menunggu, setiap hari ia mencari, tapi bayangan Helmi lenyap seperti ditelan bumi.
“Helmi… kemana kau pergi? Mengapa tinggalkan aku di saat seperti ini?” bisiknya dalam tangis.
Dalam keheningan itu, rahimnya kian membesar. Setiap detak jantung kecil di dalam dirinya adalah pengingat manis tentang cinta yang pernah ada, sekaligus pengingat pahit tentang janji yang tak ditepati.
Kehamilan Pocut Siti lambat laun tak bisa lagi disembunyikan. Dayang-dayang berusaha menutupi dengan pakaian longgar, tapi mata orang istana tak mudah dibohongi.
Suatu malam, Uleebalang Ikhsan—ayah Pocut Siti—memanggil putrinya ke balai dalam. Wajahnya muram, penuh amarah, sementara ibunda Pocut Siti menangis tertunduk.
“Pocut Siti,” suara ayahnya berat bagai guntur, “katakan siapa laki-laki yang berani menodai darah bangsawan?”
Pocut Siti hanya menunduk, air matanya jatuh membasahi lantai. Ia tak sanggup menjawab.
“Apa kau tidak tahu betapa besar aib yang kau timpakan pada keluarga kita?!” bentak Uleebalang Ikhsan, tangannya bergetar menahan murka. “Kau putri seorang uleebalang, bukan perempuan jalanan!”
Ibunya menjerit kecil, menutupi wajah dengan kain. “Oh, anakku… mengapa kau tega mencoreng martabat keluarga kita?”
Dalam hati Pocut Siti berteriak: Aku hanya mencintai… apa salahnya mencinta? Namun lidahnya kelu. Ia sadar, dalam istana ini, cinta tak lebih berharga daripada adat dan kehormatan keluarga.
Malam itu, setelah kebenaran tak lagi bisa disangkal, wajah Uleebalang Ikhsan memerah oleh amarah. Suaranya bergemuruh seperti petir menghantam langit.
“Tak ada lagi yang bisa menyelamatkanmu, Pocut Siti!” teriaknya di balai utama. “Kau telah menodai darah bangsawan, menghinakan nama keluarga. Hanya satu jalan menebus aib ini—hukuman rajam!”
Terdengar bisik-bisik ketakutan dari para dayang dan kerabat. Ibunda Pocut Siti meraung, memohon ampun untuk anaknya. Namun Uleebalang Ikhsan tak bergeming. Baginya, adat lebih tinggi dari air mata seorang ibu.
Hari pelaksanaan tiba. Lapangan kampung dipenuhi orang. Langit mendung, seolah ikut berduka. Pocut Siti digiring keluar dengan tangan terikat, wajahnya pucat namun tetap anggun. Perutnya yang membuncit jadi saksi cinta yang terlarang.
Di depan kerumunan, berdiri tegak seorang lelaki: Zupri, algojo berdarah dingin. Senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum penuh dendam yang akhirnya menemukan pelampiasan.
“Sudah lama aku menunggu saat ini, Pocut…” bisik Zupri lirih, hanya untuk dirinya sendiri.
Ketika tanah digali dangkal, Pocut Siti diturunkan ke dalamnya, tubuhnya terkunci hanya menyisakan kepala dan dada. Hatinya pasrah, namun air matanya tetap jatuh. Dalam doa yang lirih ia berbisik:
“Ya Allah… ampuni aku. Ampuni cinta yang kutabur, meski berbuah malapetaka.”
Uleebalang Ikhsan, dengan wajah membatu, memberi isyarat. Zupri melangkah maju, mengambil batu pertama, dan dengan sorot mata puas, ia melemparkannya tepat ke arah kepala Pocut Siti.
Kerumunan pun mengikuti. Batu demi batu menghantam tubuh rapuh itu, sementara jeritan Pocut Siti perlahan meredup menjadi bisikan terakhir.
“Helmi…”
Zupri, algojo kepercayaan Uleebalang Ikhsan, sejak lama menyimpan rasa pada Pocut Siti. Ia pernah mencoba mendekati, menawarkan perhatian, bahkan meminta izin untuk meminangnya. Namun Pocut Siti menolaknya dengan dingin.
Penolakan itu menorehkan luka dalam di hati Zupri. Luka yang berubah jadi bara dendam ketika ia mendengar kabar: Pocut Siti ternyata memberi hatinya kepada seorang pendatang asing bernama Helmi, bahkan sampai berbadan dua karenanya.
“Jadi aku yang berdarah Aceh, yang lahir dari tanah ini, kau tolak,” gumam Zuprii dengan suara bergetar. “Tapi lelaki asing yang hina itu kau biarkan menodaimu. Kau telah mempermalukanku, Pocut…”
Sejak saat itu, bukan lagi cinta yang tersisa di hati Zupri. Yang ada hanyalah murka yang haus balas dendam.
Di lapangan kampung, ketika Pocut Siti diturunkan ke lubang rajam, sorot mata Zupri bukanlah milik algojo yang hanya menjalankan tugas. Itu adalah mata seorang lelaki yang merasakan kepuasan karena akhirnya bisa mengakhiri hidup perempuan yang pernah menolak cintanya.
Ia menggenggam batu pertama, menatap Pocut Siti dengan senyum bengis. “Inilah akhir dari harga dirimu, Putroe.”
Batu itu melayang, diikuti batu-batu lain dari kerumunan. Darah mulai mengalir di wajah Pocut Siti, tubuhnya terhuyung dalam tanah yang menahannya. Setiap hantaman batu bukan hanya karena adat, melainkan karena dendam pribadi Zupri yang membara.
Pocut Siti menderita hebat. Tubuhnya lebam, darah mengucur, napasnya tersengal. Dalam detik-detik terakhir, ia merintih lirih, hampir tak terdengar:
“Anakku… Helmi…”
Matanya terpejam, dan dengan satu hembusan nafas panjang, hidupnya pun berakhir.
Kerumunan hening sejenak, namun Zupri berdiri tegak dengan dada membusung. Di wajahnya tak ada penyesalan, hanya kepuasan kejam.
Bagi Zupri, hukuman rajam itu bukan hanya tradisi menegakkan adat—itu adalah pembalasan atas cintanya yang ditolak dan harga dirinya yang dicabik.
Dan di tanah merah yang berlumur darah itulah, berakhir sudah riwayat Pocut Siti—perempuan yang memilih cinta, tapi dihancurkan oleh dendam dan adat yang tak memberi ruang bagi hatinya.
*****