Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Pintu terbuka. Suasana apartemen langsung terasa berbeda. Di mana aku langsung melihat Leona yang tengah duduk di depan TV dengan acara gosip. Bukan itu yang membuat aku merasa aneh, tapi pakaiannya yang begitu minim.
Sebenarnya aku tidak peduli, tapi di sini ada suamiku. Dia benar-benar sudah menancapkan bendera perang di rumah tanggaku. Aku kira ujian rumah tanggaku hanya asal-usulku saja. Ternyata ada ulat bulu yang begitu gatal datang.
Aku masuk ke dalam kamar. Tidak ada Mada, mungkin pria itu kembali ke kantor atau pergi dengan Aron. Aku tidak peduli, aku hanya meletakan kado untuk Pak Arga dan mengganti pakaian yang lebih nyaman.
Baru setelah itu aku kembali keluar. Leona masih di tempat yang sama. Bedanya dia tengah bermain ponsel dengan suara yang keras. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan masuk ke dapur.
Eni tengah sibuk dengan kompor dan teman-temannya. Setelah mengambil segelas air putih aku duduk dan langsung meminumnya.
"Masak apa untuk malam ini?"
"Spagheti, Nona."
"Spagheti? Apa Mada yang meminta."
"Bukan, Nona. Tapi, Nona itu." Eni menunjuk pada Leona. Aku hanya mengangguk-angguk saja.
"Siapkan saja. Aku kembali ke atas."
"Baik, Nona."
Di kamar aku duduk di atas tempat tidur. Membuka ponsel tapi tidak tahu harus melakukan apa. Jika setiap hari aku harus di rumah dan bersama dengan Leona terus. Kewarasanku akan terancam, jadilah aku mencari lowongan pekerjaan agar bisa menguras waktuku di luar rumah.
Kembali aku kepikiran dengan Mada. Mungkin saat ini dia masih mengakui aku sebagai istrinya, tapi tidak menutup kemungkinan jika dia akan berbalik arah. Apa lagi Leona adalah cinta masa lalunya. Membayangkan aku akan di buang oleh suamiku sendiri sudah membuat aku sakit hati sendiri.
[ Mau jadi admin di kantor? Aku mau berhenti. ]
[ Kenapa memangnya? Apa aku masih bisa diterima di sana? ]
Aku tidak menyangka akan kembali bekerja di Home Clean. Bukan sebagai tukang bersih-bersih di sana. Melainkan sebagai admin, di mana aku mengatur jadwal dan mengurus beberapa hal kantor saja. Ini menggiurkan, tapi apa aku akan diterima kembali di sana.
[ Aku akan bicara Pak Anton. Jika bisa, aku akan mengabarimu besok. ]
[ Terima kasih Indah. Aku menyayangimu. ]
Indah membalas dengan emot tertawa. Aku jadi tersenyum sendiri.
Pintu kamar terbuka. Mada sudah pulang. Buru-buru aku beranjak dari duduk untuk menyambutnya. Wajahnya terlihat begitu lelah, aku mengambil tas dan membantu melepas jasnya. Tidak lupa juga dengan dasi yang masih tersemat rapi.
"Lelah ya? Mau makan apa?"
Bukannya menjawab. Mada menarik diriku ke dalam pangkuannya. Mata kami bertemu, membuat jantungku berdegup dengan begitu kencang. Kami hampir berciuman sampai pintu kembali terbuka.
Wajah Leona terlihat. Dia kaget tapi tidak menutup pintu bahkan berdiri di sana. Dengan sengaja aku mencium Mada saat itu juga. Tidak peduli apa Mada akan marah atau apa, aku benar-benar ingin membuat ulat bulu ini sadar jika Mada milikku.
"Kalian tidak sopan!"
Mada menurunkan aku dari pangkuannya. Dia menatap pada Leona.
"Kau yang tidak sopan. Tutup pintunya!"
"Kak Mada."
"Aku bilang tutup Leona."
Dengan keras Leona menutup pintu itu. Kali ini, aku bisa merasa senang karena Mada memarahi Leona dan memilih berpihak padaku.
"Heera."
"Ya?"
"Kita makan di luar."
"Sekarang?"
Mada mengangguk. Niatku adalah istirahat setelah Mada makan malam. Tidak menyangka dia membawaku keluar malam ini. Leona pasti akan menjerit karena tahu aku dan Mada akan keluar. Biarlah, salah sendiri masuk ke dalam lingkaran pernikahanku.
*.*.*.*
Sebuah restoran bernama Food Great. Aku dan Mada turun dari mobil. Setelah drama panjang karena Leona meminta ikut, akhirnya aku dan Mada bisa keluar berdua tanpa adanya wanita itu.
Jika dilihat dari umur, mungkin denganku sama. Hanya saja dia bisa bersikap begitu ceria dan manja saat bersama Mada. Sayangnya sifat itu hilang saat Mada tidak ada di sisinya. Bermuka dua.
"Heera."
Aku menoleh pada Mada yang sudah mengulurkan tangannya padaku. Dengan senang hati aku menerimanya.
Sebuah meja ternyata sudah di pesan oleh Mada. Bahkan dia sudah memesan beberapa menu makanan. Aku tidak tahu ada hal apa sampai Mada mau melakukan semua ini.
Yang membuat aku lebih kaget adalah buket bunga yang Mada berikan padaku. Bunga mawar merah yang sangat harum dan indah. Bahkan Mada memberikan sebuah kalung saat itu juga.
"Mada."
"Maaf."
Aku tidak tahu alasan apa yang membuat Mada meminta maaf dengan cara seromantis ini.
"Maaf untuk apa?" Aku tidak ingin berekpektasi dengan pikiranku sendiri.
"Maaf karena membawa Leona di dalam rumah tangga kita."
Ternyata ini alasan mengapa Mada begitu romantis. Karena Leona yang sudah dia bawa ke apartemen.
"Setelah rumah kita selesai. Kita akan pindah," kata Mada.
"Leona tidak ikut, kan?"
"Tidak. Hanya aku, kamu, dan Eni."
"Kenapa Eni?"
"Dia yang akan mengurus pekerjaan rumah. Kamu adalah ratu di istana kita, jadi harus ada pembantu yang mengurus pekerjaan itu."
Aku tersenyum mendengarnya. Hanya saja kapan itu akan terjadi. Sampai hari itu apa Mada masih akan tetap sama seperti ini.
Kami duduk dan menikmati makan malam itu. Banyak hal yang Mada beritahu padaku. Termasuk kenapa dia membawa Leona ke apartemen kita. Ternyata karena orang tua Leona sendiri yang menitipkannya pada Mada.
Mada ingin menolak, tapi teringat jika keluarga Rana sangat baik padanya. Bahkan ada beberapa investasi yang hanya berjalan dengan keluarga Rana.
"Jangan-jangan kalian mau dijodohkan? Aku akan dibuang," lirihku.
Mada menoyor kepalaku.
"Istriku hanya kamu."
"Bagaimana jika keluarga Rana meminta kamu menikahi Leona. Bukankah kalian dulu saling cinta."
Mada tertawa, kali ini tawanya cukup keras. Membuat beberapa orang di sana menoleh pada kami. Aku menepuk lengan Mada pelan.
"Tidak akan. Keluarga Rana tahu aku sudah menikah denganmu. Lagi pula Leona sudah memiliki seorang pria yang menjadi tunangannya."
"Meski begitu, dia masih menginginkanmu."
"Kalau begitu, buat dia menjauh dariku."
Aku diam.
"Kau istriku, lakukan apapun agar rumah tangga kita tetap bersatu." Mada menggenggam tanganku dengan erat.
"Aku akan melakukannya."
"Bagus."
Tidak aku sangka waktu yang kami nikmati berdua terasa begitu singkat. Selesai makan, kami tidak langsung pulang. Kami berjalan-jalan di tengah kota. Menikmati malam yang gemerlap dengan banyak lampu yang menyala.
Ternyata dunia saat malam tidaklah semenyeramkan itu. Hanya jalan-jalan berdua tapi aku benar-benar merasa senang. Aku ingin waktu seperti ini tidak berakhir begitu saja.
"Apa kau lelah?" tanya Mada.
Aku menggeleng. Aku masih menikmati waktu ini. Waktu terindah dalam hidupku.
"Aku lelah," lirih Mada.
"Kalau begitu kita bisa pulang. Besok kau kembali kerja bukan?"
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sampai di apartemen aku tidak menyangka jika Leona belum tidur. Dia masih menunggu kami.
"Kemana saja kalian? Ini jam berapa?"
"Malam Leona. Jangan berisik," kataku.
"Kalian sudah tega meninggalkanku. Sekarang kau memintaku diam. Kak Mada ..."
"Benar kata Heera. Ini sudah malam. Heera, ayo istirahat."
Mada menarik tanganku untuk masuk ke kamar di lantai dua. Sengaja aku menoleh pada Leona. Dia benar-benar terlihat kesal karena Mada tidak mempedulikannya saat di apartemen.