NovelToon NovelToon
Dibayar Oleh CEO Kejam

Dibayar Oleh CEO Kejam

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO
Popularitas:335
Nilai: 5
Nama Author: Sansus

CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Saat ini Velove sedang berada di salah satu bilik kamar mandi dengan wajah yang memerah menahan rasa kesal dan dirinya yang mencoba menghubungi sang atasan lewat sambungan telepon. Sekarang bahkan sudah hampir jam tiga siang, tapi Dimas bahkan belum juga menunjukan batang hidungnya di depan Velove.

Perempuan itu sudah berpuluh-puluhan kali menghubungi lelaki itu tapi tetap saja nomor atasannya itu tidak aktif, seharusnya ada jadwal meeting jam dua tadi, tapi dengan terpaksa Velove harus membatalkan meeting itu karena Dimas yang tidak ada kabar.

Velove bahkan sampai terkena omelan para direksi yang sudah datang ke meeting tadi dan ternyata meeting tersebut harus dibatalkan. Lelaki itu belum juga kembali ke kantor sejak dirinya keluar bersama dengan temannya yang bernama Bella saat jam istirahat makan siang tadi.

Ingin sekali rasanya Velove melempar lelaki itu dengan sepatu yang sedang dia pakai saat ini, tapi sayangnya dia tidak bisa melakukan hal itu karena Dimas tidak sedang berada di sini, kalaupun lelaki itu ada di hadapannya sekarang, Velove tetap tidak bisa melakukan hal itu.

“Pak Dimas kalo udah sama temennya itu bisa sampe lupa segala-galanya ya.” Gumam Velove yang kembali teringat pada malam itu, dimana Dimas juga melupakan dirinya.

Merasa usahanya sia-sia untuk menghubungi sang atasan, Velove memilih untuk keluar dari dalam kamar mandi dan kembali menuju kubikelnya. Di sana Naomi sudah menatapnya dengan tatapan bingung melihat Velove sudah kembali, padahal seharusnya saat ini temannya itu masih meeting.

“Pak Dimas beneran belum dateng, Vel?”

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Naomi lantas membuat Velove menggelengkan kepalanya. “Belum, aku telepon-telepon juga nomornya nggak aktif.”

“Sebelumnya dia nggak ada ngehubungin kamu?”

Lagi-lagi perempuan itu menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Dari pas keluar sama temennya tadi, nggak ada chat apa-apa dari dia.”

“Pak Dimas seenaknya banget deh, pasti kamu kena marah sama Pak Tara ya?”

Memang ini bukan yang pertama kalinya Velove harus membatalkan meeting di menit-menit terakhir di saat para direksi sudah berkumpul, perempuan itu sudah beberapa kali menghadapi hal ini dan itu semua tentu saja karena ulah Dimas yang menghilang begitu saja dari peredarannya.

Velove juga sering bercerita soal ini pada Naomi, jadi temannya itu sudah hapal bagaimana nasib Velove jika membatalkan meeting secara mendadak seperti sekarang.

“Bukan Pak Tara aja, tapi Pak Putra juga.” Balas Velove dengan raut kesal yang sangat kentara di wajahnya.

“Kemana ya dia kira-kira?” Gumam Naomi yang masih bisa didengar oleh Velove.

“Emang Pak Dimas tuh kalo udah sama temennya yang tadi suka lupa sama segala-galanya deh.” Velove menyahut.

Naomi lantas menoleh ke arahnya. “Hah? Kamu udah pernah ketemu sama temannya Pak Dimas yang tadi.”

“Eh? Eum… ng—nggak, eum aku cuma nebak aja.” Ucap Velove dengan tergagap, tidak tidak bisa mengatakan yang sejujurnya soal di Mall malam itu, apalagi saat itu dia sudah berbohong pada Naomi saat temannya itu mengajaknya untuk makan sushi.

“Ohh gitu.”

Setelah itu tidak ada lagi percakapan di antara dua orang itu, Velove kembali pada kayar laptopnya dan Naomi juga di sampingnya melakukan hal yang sama seperti apa yang sedang dia lakukan saat ini.

Dari pada memikirkan Dimas yang entah menghilang kemana, lebih baik perempuan itu segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa pulang tepat waktu. Kalau saja atasannya itu belum juga kembali sampai jam pulang kerja, Velove tidak akan pulang ke apartemen lelaki itu, dia akan pulang ke kostannya saja hari ini.

***

Ternyata dugaan Velove soal Dimas yang tidak akan kembali sampai jam pulang kerja benar, lelaki itu belum juga kembali ke kantor padahal jam sudah menunjuk ke angka enam. Sesuai dengan niatannya tadi, Velove akan pulang ke kostan hari ini, dia tidak akan peduli lagi jika Dimas marah padanya karena dia tidak pula ke apartemen lelaki itu.

Sedangkan di tempat lain, Dimas dan juga Bella sedang menuju bandara karena perempuan itu harus kembali pulang ke Belanda hari ini. Setelah keduanya makan siang tadi dan mengobrol di restoran tempat mereka makan siang, Dimas menemani Bella di Mall karena perempuan itu perlu membeli beberapa barang sebelum dia kembali ke Belanda.

Lalu kemudian setelah dari Mall, lelaki itu ikut ke hotel tempat Bella menginap untuk menemani perempuan itu mempersiapkan barang-barang bawaannya. Lelaki itu bahkan tidak sempat mengaktifkan kembali ponselnya yang dia matikan saat meeting jam sepuluh tadi di kantor.

Bukan hanya itu saja, Dimas juga bahkan melupakan soal meetingnya jam dua tadi dan juga lupa untuk mengabari sang sekretaris. Dan sekarang dirinya sedang berjalan beriringan bersama dengan Bella menuju gate keberangkatan.

“Aku kayaknya akhir tahun ada kerjaan lagi di Jakarta, akhir tahun nanti kamu bisa cuti gak? Aku pengen main.” Ucap Bella saat mereka berdua berhenti di depan gate keberangkatan.

“Lihat nanti aja, tapi biasanya akhir tahun aku nggak bisa cuti karena banyak kerjaan.” Balas lelaki itu.

“Ya udah deh, kerjaan aku di Jakarta juga masih belum tentu akhir tahun nanti.” Perempuan itu kemudian melirik jarum jam yang ada di tangannya. “Aku harus masuk sekarang, nanti aku kabarin kalo aku udah sampe di sana ya.”

“Iya, kamu hati-hati.”

Setelah mengatakan hal itu, Dimas dibuat terkejut dengan serangan tiba-tiba dari Bella pada pipinya. Perempuan itu mengecup sekilas pipi Dimas dan menjauh dari sana seraya melambaikan tangannya.

“Bye, Dim!”

Dimas kemudian segera tersadar dari rasa terkejutnya dan ikut melambaikan tangan pada perempuan yang mulai menjauh dari hadapannya. Dulu, setiap Bella melakukan hal seperti tadi padanya, Dimas pasti akan merasakan debaran yang sangat kencang dan perasaan senang di hatinya.

Tapi sekarang, Dimas sudah tidak bisa merasakan hal itu lagi. Entah kenapa efek euphoria itu menghilang, mungkin seiring berjalannya waktu perasaan itu sudah menghilang. Tapi Dimas masih belum yakin soal hal itu karena saat melihat wajah Bella di hadapannya, lelaki itu masih merasakan sedikit rasa senang karena bisa kembali melihat wajah perempuan itu.

Setelah sosok Bella tidak lagi terlihat dari pandangannya, Dimas memilih untuk pergi dari sana dan merogoh kunci mobil yang ada di kantong celananya. Lelaki itu melirik pada jarum jam yang ada ditangannya yang sudah menunjuk ke angka tujuh, dia akan langsung pulang ke apartemen saja karena Velove sudah pasti pulang sendiri ke apartemennya.

Menghabiskan waktu kurang lebih satu jam, bagitu mobilnya terparkir di basemen apartemen, lelaki itu langsung masuk ke dalam lift dan menekan panel yang ada di sana menuju lantai dimana unit apartemennya berada.

Begitu lift berhenti, Dimas langsung keluar dari dalam sana dan berjalan di lorong menuju unit apartemen miliknya. Lelaki itu menekan tombol-tombol untuk memasukkan passcode apartemennya dan langsung membuka pintu tersebut.

Saat pintu terbuka, lelaki itu mengernyitkan dahinya saat mendapati keadaan apartmennya yang masih gelap. Dimas membawa langkah kakinya masuk ke dalam setelah menutup kembali pingu tadi, lelaki itu meraih saklar yang ada di sana untuk menyalakan lampunya.

“Vel?” Suara Dimas agak keras agar Velove bisa mendengarnya, tapi ternyata dia tidak mendapatkan sahutan apapun.

Untuk memastikan, lelaki itu berjalan menuju kamar karena dia berpikir mungkin saja sekretarisnya itu ketiduran sepulang dari kantor. Tapi saat pintu kamar terbuka, lampu disana juga masih belum dinyalakan dan Dimas tidak mendapati Velove yang berbaring di ranjang.

Dengan segera lelaki itu merogoh ponselnya yang ada di dalam kantong jas dan menghidupkan ponselnya yang tadi siang sengaja dia matikan. Begitu ponsel itu kembali hidup, banyak sekali notifikasi panggilan masuk dari Velove pada sekitar jam dua siang tadi.

Ah, Dimas baru teringat soal meeting yang harusnya terlaksana jam dua siang tadi. Tapi lelaki itu yakin kalau Velove bisa mengatasinya karena memang perempuan itu sudah terbiasa dengan situasi seperti ini.

Dengan tangan yang terulur untuk menyalakan lampu kamar, Dimas mencoba untuk menelpon sekeretarisnya itu. Kemana perginya Velove? Walaupun ini belum terlalu malam, tapi seingat Dimas sekretarisnya itu tidak akan lembur hari ini.

Sudah panggilan yang kedua kali, tapi belum juga dijawab oleh perempuan di seberang sana. Padahal nomor ponsel perempuan itu aktif, tapi sepertinya Velove memang secara sengaja tidak ingin menjawab panggilannya.

Lelaki itu melepas dasi yang ada di lehernya menggunakan satu tangannya dengan perasaan yang gusar dan terus mencoba untuk menghubungi Velove walaupun panggilannya itu lagi-lagi tidak di jawab.

Untuk mendinginkan kepalanya, Dimas memutuskan untuk mandi terlebih dulu. Tidak butuh waktu yang lama untuk lelaki itu membersihkan dirinya di dalam kamar mandi, begitu keluar dari dalam ruangan lembab itu, Dimas langsung maraih ponselnya yang tergeletak di atas meja nakas.

Lelaki itu kembali mencoba untuk mengubungi sang sekretaris, tapi ternyata panggilan darinya dialihkan yang artinya Velove sedang berada di panggilan lain. Bisa-bisanya perempuan itu tidak mengangkat panggilan darinya tapi bisa berteleponan dengan orang lain.

Sedangkan di tempat lain, Velove sedang merebahkan dirinya dengan ponsel yang ada di telinganya, mendengarkan apa saja yang sedang dibacarakan oleh sang adik di seberang sana.

“Tadi operasi Ibu baru selesai jam tujuh-an, sekarang sama dokter udah dipindahin ke kamar rawat inap.”

“Operasinya berarti lancar ya, Ze?”

“Syukurnya operasi Ibu lancar, makanya Ibu langsung dipindahin ke kamar rawat inap. Ini lagi nunggu Ibu buat sadar soalnya kata dokter masih ada efek dari obat biusnya.”

“Nanti kalo Ibu udah sadar dan udah mendingan kakak pengen ngobrol sama Ibu, soal sekolah kamu gimana?”

“Kalo Ibu nanti udah sadar, aku mau masuk sekolah lagi karena gurunya juga udah nanyain, lagipula di rumah sakit juga masih ada suster yang jagain.”

“Maaf ya kakak nggak bisa bantu kamu jagain Ibu.” Ucapan Velove itu terdengar sendu.

“Kakak ngomong apaan sih? Aku sama sekali nggak keberatan buat jagain Ibu sendiri, lagipula aku tahu kakak juga pasti capek kerja disana buat biayain aku sama Ibu, pokokanya kakak nggak usah khawatir, aku disini baik-baik aja.”

Mendengar ucapan sang adik membuat Velove menahan rasa sesak di dadanya, dia ingin menangis saat ini juga tapi dia tidak ingin membuat Zea khawatir pada dirinya.

“Nanti kakak coba buat ajuin cuti lagi ya, semoga aja kali ini bisa diacc.”

“Kakak pulang sebisa kakaknya aja, jangan terlalu dipaksain, kalo emang Kak Velo lagi banyak kerjaan, pulangnya nanti aja.”

Velove sangat bersyukur bisa memiliki keluarga yang sangat pengertian padanya, Ibunya sama sekali tidak pernah menuntut apapun, begitu juga dengan Zea yang tidak memiliki banyak permintaan.

Semenjak Bapaknya meninggal karena sakit saat dia baru saja masuk SMA dan Zea yang masih SD, Velove langsung membantu Ibunya berjualan untuk keberlangsungan hidup mereka bertiga. Begitu lulus dari SMA Velove melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi sembari bekerja.

Setelah lulus dari perguruan tinggi itu, Velove memutuskan untuk memberanikan diri merantau ke Jakarta tanpa bantuan uluran tangan dari siapapun selain doa dari Ibunya. Saat pertama kali datang ke Ibukota, perempuan itu tidak langsung bekerja di perusahaan Dimas tapi dia menjadi admin di sebuah perusahaan lain.

Setahun kemudian dia memberanikan diri untuk memasukan lamaran ke perusahaan Dimas yang saat itu sedang membutuhkan sekretaris, walaupun Velove tidak memiliki pengalaman di posisi tersebut, tapi syukurnya dia bisa diterima di sana.

“Ya udah kalo gitu teleponnya kakak tutup ya, kamu jangan sampe telat makan, jangan sampe ikut-ikutan sakit juga kayak Ibu.”

“Iya, Kak Velo juga.”

Setelah itu panggilan kakak beradik itu berakhir, Velove meletakan asal ponselnya di atas kasur dan dia menenggelamkan wajahnya di bantal yang ada di sana untuk meredam suara tangisnya.

Walaupun sudah sekuat tenaga dia menahan air matanya yang ingin tumpah, pada akhirnya cairan itu tetap jatuh juga, dia ingin pulang, ingin bertemu dengan Ibu dan juga adiknya. Lama kelamaan perempuan itu mulai masuk ke dalam alam bawah sadarnya.

Sedangkan di tempat lain, Dimas yang masih berusaha untuk menghubungi Velove tapi masih tetap tidak diangkat oleh perempuan itu. Dengan langkah gusar lelaki itu segera meraih kunci mobilnya dan keluar dari dalam unit apartemennya itu, dia berencana untuk menyusul sang sekretaris ke kostan perempuan itu.

Mobil hitamnya melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan ramai Ibukota di malam hari, begitu sampai di depan gang kostan Velove, Dimas sengaja memarkirkan mobilnya di sebelah gang itu dimana ada halaman kosong di depan toko roti yang sudah tutup.

Setelah mobil hitamnya terparkir, lelaki itu mematikan mesin mobilnya dan langsung meraih ponsel miliknya untuk kembali menghubungi sang sekretaris.

“Sialan!” Lelaki itu mengumpat seraya memukul stir mobilnya karena lagi-lagi Velove tidak menjawab panggilannya.

Tapi, kenapa Dimas harus sampai uring-uringan seperti ini hanya karena Velove?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!