Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Echoes of Rose
"Jadi, kamu sedang menertawakan aku yang gagal menikah? Kamu terlihat sangat bahagia, Jordan!" Laura melanjutkan langkah keluar dari ruangan itu dan membanting pintu secara kasar.
"Ya, aku sangat senang." Jordan tersenyum lebar, lantas kembali mengulum senyumnya ketika sekretarisnya masuk.
"Pak, pekan depan ada undangan dari Universitas Bina Nusantara. Mereka meminta Anda menjadi pembicara dalam seminar yang akan mereka adakan."
"Seminar tentang apa?" tanya Jordan sambil mengambil alih undangan yang disodorkan oleh Pika.
"Mentoring dan peluang bisnis, Pak. Bagian Career Centre juga mengajukan beberapa mahasiswa semester akhir yang mungkin bisa kita rekrut untuk perkembangan perusahaan." Pika mencoba menjelaskan niat dari kampus tempat dulu Jordan menimba ilmu.
Jordan mencoba untuk membaca undangan dan beberapa proposal dari universitas. Melihat tujuan undangan yang memiliki niat baik untuk alumni, akhirnya membuat Jordan menyetujuinya. Dia mengembalikan undangan kepada Pika dan tersenyum lebar.
"Tolong jadwalkan ulang agenda ini untukku. Jangan lupa beritahu Laura soal ini. Dia akan ikut karena sudah memenangkan tender besar dengan perusahaan Jepang beberapa waktu lalu. Dia akan menjadi pembicara untuk konsep pengembangan game."
"Baik, Pak. Saya permisi," pamit Pika sebelum akhirnya balik kanan dan keluar dari ruangan tersebut.
---
Hari itu pun tiba, Laura sudah menunggu Jordan di meja kerjanya. Dia beberapa kali menatap pintu ruangan Jordan yang masih tertutup rapat. Sambil menunggu bosnya tersebut, Laura kembali mengecek bahan yang akan digunakan untuk presentasi.
Ini adalah kali pertama Laura menjadi pembicara di sebuah seminar. Meski sudah biasa mempresentasikan hasil kerja kepada klien, tetaplah kali ini adalah hal yang berbeda. Ilmu dan pengalamannya masih belum terlalu dalam untuk menjadi pembicara di sebuah seminar.
"Ayo!"
Ketika Laura sedang sibuk bergelut dengan pikiran, tiba-tiba suara itu menyapa pendengarannya. Dia pun bergegas berdiri, mengambil barang dan menghampiri Jordan. Wajah pucat dengan dahi berkeringat langsung membuat Jordan paham.
"Tidak usah gugup, ada aku." Jordan tersenyum lembut kemudian mengulurkan tangannya kepada Laura.
Laura meliriknya sekilas, lantas mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Semua rekan kerjanya sedang sibuk dengan pekerjaan mereka di kubikel masing-masing. Perempuan tersebut menelan ludah dan kembali melirik tangan Jordan yang masih menggantung di udara.
Jordan tak lagi memedulikan isi pikiran Laura dan situasi sekitar. Dia langsung menyambar tangan perempuan tersebut. Jordan sedikit menarik Laura agar dia mau mengikuti langkahnya keluar dari ruangan itu.
Keringat kini membanjiri tangan Laura. Rasa gugup perlahan reda karena sentuhan tangan yang diberikan oleh Jordan. Genggaman itu berakhir ketika Jordan harus membuka pintu mobil untuk Laura.
"Masuklah, semua akan baik-baik saja. Ingat, ada aku di sisimu. Mungkin aku tidak bisa terlalu diandalkan seperti yang selalu dilakukan oleh Noah. Tapi, asal kamu yakin dengan ada aku di sisimu, maka semuanya pasti baik-baik saja, Laura." Jordan tersenyum tipis.
Laura mengangguk, meskipun masih ada sedikit keraguan di sana. Perempuan tersebut pun masuk disusul oleh Jordan. Dia langsung melajukan mobil menuju kampus agar tidak terlambat.
Sesampainya di kampus, keduanya langsung disambut oleh jajaran manajemen universitas. Bagaimanapun juga apa yang mereka lakukan selanjutnya adalah sebuah bisnis yang akan melibatkan pihak universitas. Terlebih mereka menginginkan perusahaan Jordan memberikan sponsorship khusus program studi Game Application and Technology.
Mereka berdua dipandu menuju auditorium. Begitu masuk, tepuk tangan meriah menyambut kedatangan mereka. Keduanya merupakan legenda Universitas Binus karena terkenal lulus dengan nilai terbaik serta berhasil membuat dan bekerja sama dalam perusahaan besar untuk bidang pengembangan gim.
Suasana auditorium mendadak hening saat Laura berdiri memaparkan materi, suaranya tenang meski hatinya berdebar. Di sampingnya, Jordan berdiri bersandar santai di podium, membiarkan Laura bicara lebih dulu.
“Konsep game yang kuat lahir dari konflik. Semakin dalam konfliknya, semakin besar daya tariknya,” ucap Laura.
Seorang mahasiswa laki-laki mengangkat tangan, wajahnya serius. “Kak, bagaimana kalau ide gamenya terlalu personal? Misalnya tentang trauma, kehilangan, atau … pengkhianatan. Apakah itu bisa diterima pasar, atau malah jadi terlalu emosional dan nggak laku?”
Laura tercekat. Pertanyaan itu menampar langsung ke masa lalunya ke luka yang belum sepenuhnya sembuh. Dia menelan ludah, berusaha mencari kata.
“Itu … tergantung bagaimana kita membungkusnya,” jawabnya pelan, tetapi matanya tak mampu menyembunyikan guncangan.
Ruangan jadi tegang. Mahasiswa saling menoleh. Laura menunduk, kehilangan arah. Jordan langsung maju satu langkah, suaranya mantap.
“Saya bantu jawab,” katanya, menatap Laura sekilas sebelum menghadap audiens. “Game terbaik justru lahir dari emosi yang paling jujur. Tapi memang, tantangannya adalah bisakah kita mengubah luka jadi pengalaman bermain yang bermakna, bukan curhat pribadi?”
Mahasiswa itu mengangguk, tampak puas. Laura melirik Jordan, mata mereka saling bertaut. Sekilas, dia ingin berterima kasih tapi gengsi menahannya.
“Dan kalau kalian penasaran,” Jordan menambahkan santai, tapi matanya menusuk Laura, “game paling emosional yang pernah saya buat ... terinspirasi dari seseorang yang tak pernah bisa saya lupakan.”
Beberapa peserta berseru heboh. Laura menegang. Dia tahu, kalimat itu bukan hanya jawaban untuk seminar, tetapi sindiran halus yang menyayat.
"Ah, saya pernah memainkannya! Apa itu game Echoes of Rose?"
Jordan hanya tersenyum tipis sambil mengangguk. Dia melirik ke arah Laura yang kini menunduk sambil meremas rok pendek yang dia kenakan. Ya, itu adalah game pertama yang dirilis oleh W-Ware Group dan dibuat sendiri oleh Jordan.
Jordan menyisipkan banyak kode dan teka-teki di setiap level mengenai Laura. Banyak kenangan mereka yang diungkap dalam gim itu. Dari sana, Jordan mendapatkan banyak hal yang dipikirkan oleh pemain mengenai misteri hilangnya Laura.
Setelah seminar berakhir, Laura dan Jordan tidak langsung pergi. Keduanya berjalan beriringan mendatangi banyak tempat di kampus. Memori tentang indahnya masa kuliah bersama.
"Apa kamu ingat? Dulu kita sering mengerjakan tugas bersama di sini?" Jordan menghentikan langkah ketika melihat pohon besar dengan daun yang rindang.
Laura masih terdiam di tempat dia berdiri. Perlahan dia mendongak, menatap puncak pohon yang tampak bergoyang karena beberapa burung menjadikannya sarang. Senyum kecil terukir di bibir tipis Laura.
"Bagaimana bisa aku melupakannya? Waktu itu kamu adalah kakak tingkatku. Aku banyak bertanya kepadamu. Bahkan aku sampai dimusuhi oleh banyak mahasiswi yang kamu pacari, lalu kamu tinggalkan setelah mendapatkan keperawanan mereka!" Laura terkekeh kemudian kembali menatap Jordan.
Lelaki tersebut kini diam sambil menatap sendu Laura. Hal itu membuat Laura mengerutkan dahi. Perlahan dia mendekati Jordan dengan senyuman yang sudah ditelan beberapa waktu lalu.
"Jordan? Apa kamu tersinggung dan marah karena aku mengungkapkan masa lalu burukmu?" tanya Laura sambil menelan ludah.
Namun, Jordan masih tidak menjawab. Dia tetap terdiam sambil merogoh sakunya. Lelaki tersebut mengeluarkan kotak berwarna merah tua dan membukanya.
"Laura, maukah kamu menikah denganku?"