Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Paket
Sementara suara hujan masih memukul jendela gudang tua itu… keesokan paginya di tempat lain, seseorang baru saja terbangun—tanpa tahu bahwa segalanya telah berubah.
Damian masih mengenakan kemeja tidurnya saat suara telepon memekakkan telinga untuk ketiga kalinya.
Ia duduk di kursi rodanya, kepala pusing, mata masih berat karena baru setengah jam lalu terbangun. Tapi saat ia melihat layar ponsel...
Ada 16 panggilan tak terjawab.
8 email masuk dari direktur proyek, 2 dari luar negeri. Semua bertanda URGENT.
Jantung Damian berdegup tak wajar.
Semalam masih normal. Semalam semua masih terkendali...
Tapi...apa-apaan ini?
Telepon berdering lagi.
Dengan tangan gemetar, Damian mengangkat.
“Halo?!”
Suara di ujung sana cepat dan panik.
“Maaf, Tuan Damian... kami terpaksa menarik dana investasi. Situasinya terlalu berisiko.”
Klik.
Damian mematung. Tidak memahami apa yang terjadi.
Sekali lagi telepon kembali berdering. Ia pun mengangkatnya dengan ragu.
“Tuan Damian, maaf... saya mundur dari proyek di Medan. Saya tidak mau nama saya tercantum—”
Klik.
“Brengsek! Ada apa dengan kalian?!”
Damian meraih laptopnya—tapi email baru masuk lebih cepat dari yang bisa ia baca.
“Permintaan pembekuan akun.”
“Pengunduran diri staf senior.”
“Putus kontrak.”
“Cabang cabut izin.”
“Sialan...sialan...sialan…” Bisiknya sembari mengepalkan tangan.
Ia mencoba berdiri—tapi kakinya yang rusak membuatnya terjatuh kembali ke kursi roda.
“BERENGSEK!! Sebenarnya apa yang sedang terjadi sih?!!”
Teriakannya memantul di kamar yang sunyi.
Keringat dingin menetes.
Panik. Bingung. Terpukul.
Dan sebelum ia sempat menghubungi siapa pun lagi…
Tok. Tok.
Ketukan pelan terdengar dua kali dari pintu.
Damian mengangkat kepala kasar. Napasnya tersengal.
“SIALAN APA LAGI?!” bentaknya ke arah pintu.
“Tuan Muda...”
Suara berat seorang pelayan pria terdengar dari luar. Ada jeda aneh dari suaranya.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan kedua terdengar lebih cepat dan panik.
“Tuan Muda... maaf, tapi... ada sesuatu...”
Suara itu membuat tengkuk Damian menegang.
Sekarang apa lagi? Pikirnya.
“Masuk aja. Bilang aja langsung.”
Nada Damian datar, mencoba terdengar lebih tenang—padahal sorot matanya sudah menunjukkan sesuatu yang lain.
Pintu dibuka perlahan.
Anton—pelayan lama yang biasa mengurus bagian belakang rumah—masuk dengan langkah ragu. Wajahnya pucat, tubuhnya kaku. Bukan karena takut... tapi karena bingung harus berkata apa.
“Tuan Muda...” katanya lirih. “Ada... paket.”
Damian mengangkat alis.
“Paket?”
Anton diam.
Tak berani menatap. Tatapannya tertunduk, seolah enggan masuk terlalu jauh ke dalam ruangan. Bahunya tampak tegang.
“Paket apa?”
Nada suara Damian naik sedikit. Bukan marah—tapi rasa takut yang tumbuh cepat, seperti benih busuk yang pecah dalam dadanya.
Anton menelan ludah.
“Saya... saya nggak tahu harus ngomong gimana... tapi...”
Diam.
Jam dinding berdetak pelan.
Damian menggenggam sisi kursi rodanya dengan erat.
“Aku tanya sekali lagi, Anton. Paket apa?
Anton menunduk.
Lalu, dengan tangan gemetar, ia membuka pintu kamar sedikit lebih lebar... dan menunjuk ke lorong kecil di sebelah ruangan.
Damian memutar roda kursinya pelan. Rasa dingin merayap dari punggung. Ia dorong tubuhnya ke depan—dan ketika matanya menangkap isi meja kecil itu...
Ia membeku.
Di atas nampan perak, dibungkus plastik bening...
Empat tangan manusia.
Utuh. Segar.
Sisa darah masih membeku di sekitar pergelangan. Salah satunya mengenakan jam hitam—model khusus—yang dulu ia berikan sendiri pada orang-orang suruhannya.
“...Apa ini...”
gumam Damian—tapi suaranya serak, seolah lehernya dikunci.
Beberapa detik sunyi.
“APA INI?!”
teriaknya. Tubuhnya reflek bergerak ke depan, membuat kursi rodanya terguncang. Dadanya naik turun tidak beraturan, seakan baru saja ditikam dari belakang.
“BUANG ITU! JAUHKAN DARIKU! APA KALIAN GILA?!”
Anton langsung mengangkat nampan itu, kedua tangannya bergetar.
“Maaf... saya... saya gak tahu, Tuan...”
Damian memalingkan wajah, mual mulai menyusup dari perutnya.
Bau logam darah menyelinap di udara—meski tertutup plastik, tapi seolah menyatu dengan hawa ruangan.
Ia menutup mulut.
Menahan napas.
“Taruh... taruh itu di luar. Sekarang juga.”
Anton mengangguk cepat dan nyaris tersandung keluar kamar. Suara langkahnya tergesa, dan tak lama kemudian terdengar suara pintu luar ditutup. Damian menghembuskan napas pendek—lalu kembali menatap layar laptopnya yang masih terbuka.
Notifikasi terus masuk.
Terus.
Terus.
Seperti arus yang tak bisa dibendung.
Damian memaksa tangannya untuk menggerakkan kursor, membuka salah satu email terbaru.
Subjek: PERINGATAN KEAMANAN: Sistem Bocor
Pengirim: IT Internal
Tuan Damian, kami menemukan aktivitas aneh dalam server pusat dua jam terakhir. Beberapa file sensitif telah diakses dari IP luar negeri. Kami sedang dalam proses pemutusan jaringan internal. Mohon bersiap menghadapi kemungkinan...
Damian tak bisa membaca sisanya.
Pandangannya kabur.
Tangannya mengepal.
Gemetar.
“Siapa?” gumamnya lirih.
“Siapa yang cukup berani untuk mengacak-acak keluarga Lim seperti ini?”
Tapi, kemudian dia mulai menyadari sesuatu.
Keringat dingin membanjir, menyerap kemeja tidurnya hingga terasa menempel di punggung. Napasnya tercekat, tubuhnya gemetar. Dan di tengah kekacauan—di balik suara notifikasi yang terus berdenting—bayangan ngeri itu merayap.
Bayangan tentang sosok tinggi dalam setelan gelap yang berdiri di hadapannya, dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.
Damian menggigit bibir. Tangannya mencengkeram pegangan kursi roda erat-erat.
Damian masih ingat.
Bunyi tulangnya patah.
Rasa sakit membakar.
Kepanikannya.
Ia meraung, berteriak, tapi tak ada yang mendengar.
Dan sosok itu hanya berdiri… Menatapnya tanpa rasa. Seolah itu bukan apa-apa.
Damian terengah sekarang.
Tubuhnya kaku.
Lidahnya nyaris tak bisa bergerak.
Namun dari sela napasnya, akhirnya ia bergumam—lemah, tapi pasti.
“Keluarga... Wijaya...”
Jeda. Satu tarikan napas panjang.
“…Arka.”
_____
Suara notifikasi kembali berdenting menyadarkannya. Tapi kali ini... bukan dari laptop.
Damian menoleh cepat.
Ponselnya bergetar lagi. Tapi bukan panggilan masuk.
Sebuah pesan.
Pengirim tidak dikenal. Nomor terenkripsi.
[Paket 1 diterima. Baik. Selanjutnya: Mungkin kamu yang akan kehilangan kepala.]
Damian tertegun. Tubuhnya sudah terlalu lemas.
Dan kemudian...
Tok. Tok. Tok. Tok. Tok.
Ketukan lain. Tapi kali ini dari jendela.
Damian tersentak, menoleh cepat.
Itu jendela besar di sisi kanan kamarnya, tirainya masih tertutup. Ia mendorong kursi rodanya perlahan ke arah sana, rasa ngeri dan penasaran saling beradu dalam dadanya.
Tangannya gemetar saat menyibak tirai.
Tapi jendela itu kosong.
Tak ada siapa-siapa.
Damian terdiam.
Menatap keluar—hanya halaman belakang kosong, dan langit kelabu pagi yang belum sepenuhnya terang.
Namun... saat ia hendak menarik kembali tirainya—
Matanya menangkap sesuatu.
Sebuah kamera kecil, tertempel rapi di bagian atas bingkai jendela, hampir tak terlihat dari dalam.
Dan tepat di bawah kamera,
Tertulis dengan spidol merah:
“Kami melihatmu, Tuan Muda.”
Damian terdiam.
Darahnya seperti membeku.
Keringat dingin mulai membanjir.
Dia diwasi. Dikurung dalam rumahnya sendiri. Diintai...
Tapi...Sejak kapan?