"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Dua Pasang Mata
Kian menunduk, menyentuh lembut bahu Friska.
Tubuh gadis itu terasa dingin dan lemas di bawah sentuhannya.
“Fris...” bisiknya pelan, nyaris tenggelam dalam riuh dentuman musik.
Kelopak mata Friska perlahan terangkat. Pandangannya buram, tapi saat melihat wajah Kian—meski hanya samar—senyuman kecil terbentuk di sudut bibirnya.
“Kian... kamu datang...” ucapnya dengan suara serak, seperti bisikan dari dunia lain.
Kian menarik napas pendek, lalu memeluk bahu Friska.
Satu lengannya melingkar kokoh di tubuh perempuan itu, menopangnya.
Ketika ia mencoba membantu Friska berdiri, tubuh gadis itu limbung.
Kakinya lemas, nyaris ambruk—namun Kian sigap menangkapnya sebelum tubuh itu jatuh ke lantai.
Ia merangkul erat Friska.
Menjadikan tubuhnya sebagai sandaran.
Tangan kirinya memegang tas dan ponsel yang tadi diserahkan bartender, tangan kanannya tetap menahan Friska agar tak terjatuh.
Beberapa pasang mata mulai memerhatikan mereka—campuran tatapan ingin tahu, heran, dan kasak-kusuk tak terdengar.
Namun Kian tak peduli.
Baginya, hanya ada satu hal penting saat ini: membawa Friska keluar dari tempat ini.
Dengan langkah mantap, ia mulai berjalan ke luar klub.
Di pelukannya, Friska bersandar setengah sadar—dan tak ada yang bisa ia lakukan selain membiarkan Kian membawanya pulang dari malam kelam yang nyaris menjatuhkannya.
“Kenapa kau datang ke tempat seperti itu, Fris?”
Suara Kian terdengar pelan namun tegas, menggema di antara langkah-langkah mereka menuju mobil. Di sisinya, Friska masih terhuyung, matanya sayu, wajahnya memerah karena alkohol.
Friska tertawa kecil—tawa mabuk yang getir.
“Kau jahat, Kian...”
Kian tak menjawab.
Ia hanya membuka pintu mobil dan membantunya masuk, kemudian memutar setir meninggalkan klub malam yang kini menjauh dalam pantulan kaca spion.
Sunyi.
Hanya desahan napas dan denting halus jam tangan di pergelangan Kian.
Tiba-tiba, dari sudut pandangnya, ia melihat Friska menggigit bibir dan menutup mulutnya. Wajahnya menegang.
“Fris... Kau mau muntah?” tanya Kian, panik.
Friska tak menjawab. Tapi itu cukup jadi pertanda.
Kian segera membanting setir ke kiri dan menghentikan mobilnya di tepi jalan.
Mereka berhenti tak jauh dari sebuah minimarket 24 jam, masih ramai orang.
Friska membuka pintu dengan tergesa, turun sambil tertatih menuju trotoar, dan memuntahkan isi perutnya di sisi jalan.
Beberapa orang menoleh.
Sebagian hanya melirik, sebagian lain berbisik pelan. Tapi Kian tak menggubris satu pun.
Ia menyusul Friska, memeganginya dari belakang agar tak jatuh.
“Berapa banyak kau minum?” gumamnya pelan, bukan untuk mendapat jawaban, melainkan karena bingung sendiri harus bicara apa.
Friska hanya terisak kecil.
Kian menepuk punggungnya pelan.
Setelah muntahnya reda, ia membantu Friska berdiri. Tubuh perempuan itu lunglai, dan tanpa sadar, kepalanya menabrak bahu Kian.
Sekilas—hanya sekilas—noda tipis lipstik tertinggal di kerah baju Kian. Ia tak menyadarinya.
“Sudah baikan?” bisik Kian.
Friska hanya bergumam pelan, matanya berkaca-kaca.
“Kita pulang, ya?”
Kian memeluk tubuhnya agar tetap tegak dan membimbingnya kembali ke dalam mobil. Tapi belum sempat pintu dibuka, suara Friska kembali terdengar—pelan, serak, tapi tajam.
“Kau mengkhianatiku, Kian...”
Kian menahan napas. Tangannya yang memeluk Friska menegang.
“Maaf... aku menikahi dia sebelum kita resmi pacaran,” ucap Kian jujur, tapi terdengar sangat berat.
Friska terisak.
“Aku benci kamu, Kian... aku benci...”
Kian menatap lurus ke depan.
“Aku memang pantas dibenci.”
Tangannya bergerak pelan, mengeratkan pelukannya pada Friska, yang kini terisak di bahunya. Di samping mobil, hanya suara tangis Friska yang terdengar.
Malam terasa panjang.
Lampu-lampu jalan berkelebat di jendela. Aroma malam, dingin dan sepi, menyusup ke dalam ruang sunyi di antara keduanya.
Mereka tak sadar—di kejauhan, seseorang memerhatikan mereka.
Dua pasang mata mengawasi dari balik kemudi mobil hitam yang tak menyalakan lampu. Wajahnya tak terlihat jelas, tapi sorot matanya menyimpan amarah yang membara.
Kian tak tahu. Friska tak peduli.
Malam itu, mereka hanya dua manusia yang sama-sama kehilangan arah, mencari pegangan… dan mungkin, menyesali keputusan masing-masing.
Mobil Kian kembali melaju, mengantarkan Friska pulang...
Namun hatinya—entah kapan akan benar-benar pulang.
Kini, kembali ke kamar mandi.
Air masih menetes dari rambutnya. Kian menunduk, tangan mencengkeram pinggiran wastafel, napasnya berat.
“Kenapa aku pergi menjemputnya?” batinnya lirih.
“Kenapa aku masih... peduli?”
Ia menghela napas panjang. Suara Friska seolah kembali menggema di telinganya—pelan, serak, tapi menghunjam:
“Kau mengkhianatiku, Kian...”
“Aku benci kamu, Kian... aku benci...”
Semua itu masih terpatri jelas.
Namun saat membuka pintu rumah tadi, bayangan lain menyambutnya.
Kanya.
Sosok yang tak ingin ia ingat, justru terus terbayang.
Tatapan lembutnya saat jemari itu membuka kancing bajunya...
Suara lirihnya, penuh keteguhan, berkata:
“Aku akan berikan hak Kakak. Sekarang. Saat ini juga.
Tapi… dengan dua syarat.
Belajarlah mencintai aku.
Dan berjanjilah hidup bersamaku… selamanya. Di atas Al-Qur’an.”
Kian membuka matanya. Dadanya terasa sesak.
Bukan karena Friska.
Bukan hanya karena rasa bersalah.
Tapi karena… ia tak bisa menjawab permintaan sederhana itu.
Dan yang lebih menusuk adalah suara yang datang dari ayahnya—tegas dan tak bisa ia bantah:
“Jujur saja. Dibanding Friska, Papa dan Mama lebih menyukai Kanya."
“Jangan pernah coba-coba bertemu Friska lagi. Kau pria yang sudah beristri. Jaga kehormatanmu… di depan istrimu, dan di hadapan Allah.”
“Lupakan mantan. Dan jangan harap kembali.”
Kian mengepalkan tangan. Meninju dinding.
Sakit. Tapi tak sebanding dengan sesaknya hati.
“Aku mencintai Friska, tapi harus hidup dengan Kanya…
Aku menghancurkan wanita yang kucintai demi sebuah pernikahan yang hanya dibalut tanggung jawab dan ambisi.
Ini semua… gara-gara Kanya.”
Ia menunduk, matanya terpejam.
“Saat aku mencoba menerima dia… dia justru pergi menyembunyikan diri selama dua tahun.
Jika aku tahu dia masih hidup, aku tak akan pernah...
Tak akan pernah memberi harapan pada Friska.
Aku yang menghancurkannya.”
Kian melangkah keluar dari kamar mandi. Tubuhnya terasa lebih segar, tapi pikirannya masih kusut.
Hatinya kalut. Bayangan Friska yang limbung dalam pelukannya beberapa jam tadi masih berkelebat.
Ia ingin menyalahkan seseorang.
Ia ingin melampiaskan kekesalan—dan Kanya, seharusnya menjadi orang yang paling mudah untuk itu.
Tapi saat matanya menangkap sosok gadis itu...
Diam. Duduk tenang di tepi ranjang. Menunduk.
Segala amarah di dadanya menguap entah ke mana.
“Bagaimana bisa...?” batinnya.
Hanya dari mata itu—mata teduh yang menatapnya tanpa menuntut—Kian bisa merasakan sesuatu yang hangat.
Keteduhan.
Meski wajah Kanya tersembunyi di balik cadar, sorot matanya tak bisa berbohong.
Di atas ranjang, satu set pakaian bersih telah disiapkan. Sederhana, tapi penuh perhatian.
Kian menatapnya sejenak.
Tanpa berkata apa pun, ia mengenakan pakaian yang telah disiapkan. Tubuhnya menghadap ke lemari, tapi ia tahu—Kanya membuang pandang. Tak ingin melihat. Tak ingin melanggar batas.
Padahal mereka sudah sah. Tapi gadis itu tetap menjaga pandangannya.
Ada sesuatu yang menyesak di dada Kian. Entah kenapa, ada sesuatu yang mengganggu nuraninya.
Usai mengenakan pakaian, Kian merebahkan tubuhnya di sisi ranjang. Punggungnya menghadap Kanya—tubuhnya tenang, tapi pikirannya riuh.
Kanya.
Gadis yang ia nikahi karena tanggung jawab... dan ambisi.
Bukan karena cinta. Bukan karena keinginan.
Hanya demi menjaga harga diri—dan posisi CEO yang sejak lama ia idamkan.
Lalu Friska…
Gadis yang telah lebih dulu mengisi ruang hatinya, jauh sebelum ia mengenal Kanya.
Yang seharusnya menjadi istrinya.
Yang ia tinggalkan bukan karena tak cinta—tapi karena janji yang mengikatnya pada perempuan lain.
“Aku menjauh darinya perlahan… karena sadar aku sudah beristri,” batinnya.
“Aku mencoba menerima, belajar menyentuh kehidupan yang bukan pilihanku. Tapi dengan alasan konyol, bodoh, naif, dan egoisnya—dia justru menyembunyikan diri. Menghilang. Membiarkanku percaya bahwa dia telah mati.”
Kian menggertakkan gigi. Rahangnya mengeras.
“Lalu tiba-tiba dia muncul. Menghancurkan semua. Meruntuhkan hari sakral yang telah kuupayakan mati-matian. Pernikahan impianku. Cinta yang kutunggu bertahun-tahun.”
Matanya menatap gelap.
Dan kini?
"Dia bahkan tetap tak bersedia memperlihatkan wajahnya... apalagi melayaniku, memberikan hakku.
Lalu apa yang sebenarnya bisa kuharapkan dari pernikahan ini?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Waktu menolong Friska - Kian masih mengaku kekasihnya - w a d u h.
Kian - baru sadar - kenapa pergi menjemput Friska. Baru ingat kata-kata papa Keynan. Dinding yang tak tahu apa-apa kau tinju - kasihan.
Ee...eehh menyalahkan Kanya - gara-gara Kanya - orang kamu juga salah.
Kian - jangan mempermainkan ikatan suci yang namanya - perkawinan. Belajarlah kembali mencoba menerima kehidupan yang bukan pilihanmu - dan nyatanya saat dihadapan ayah Hasan - kau telah memilih jalanmu. Perlakukan Kanya dengan layak sebagai seorang istri - kalau Kanya sudah nyaman - wajahnya pasti dipersebahkan untukmu - Kian...wkwkwk.
Tinggal kamunya saja yang masih besarin EGO - gimana.
Makanan kampung sangat cocok dimulut bodel Kayden.
Dibedakin mukanya juga tidak protes sampai bikin ngakak ayah Xander - juga readers pastinya - donat...donat bertoping gula lembut /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.