NovelToon NovelToon
60 Hari Untuk Hamil

60 Hari Untuk Hamil

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Lari Saat Hamil / Nikah Kontrak / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romansa / Disfungsi Ereksi
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Ferdi Yasa

“Aku akan membuatmu hamil, tapi kau harus melakukannya dengan caraku dan hanya aku yang akan menentukannya. Setelah kau hamil, kontrak kita selesai dan pergi dari hidupku.”

Itulah syarat Alexander Ace—bosku, pria dingin yang katanya imp0ten—saat aku memohon satu hal yang tak bisa kubeli di tempat lain: seorang anak.

Mereka bilang dia tak bisa bereaksi pada perempuan. Tapi hanya dengan tatapannya, aku bisa merasa tel4njang.

Dia gila. Mendominasi. Tidak berperasaan. Dan terlalu tahu cara membuatku tunduk.

Kupikir aku datang hanya untuk rahim yang bisa berguna. Tapi kini, aku jatuh—bukan hanya ke tempat tidurnya, tapi juga ke dalam permainan berbahaya yang hanya dia yang tahu cara mengakhirinya.

Karena untuk pria seperti Alexander Ace, cinta bukan bagian dari kesepakatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 Kita Bercerai

Taxi berhenti di depan gerbang rumah Noah. Eve turun dengan langkah lunglai. Tubuhnya masih lelah, tapi pikirannya lebih kacau dari semalam.

Hujan belum reda sepenuhnya. Udara masih bau tanah.

Di depan pintu, Noah sudah berdiri. Wajahnya muram, matanya menyala seperti binatang yang sedang terluka—atau kehilangan kendali.

Eve menarik napas dalam. Lalu melangkah.

Tepat saat dia tiba di depan mata Noah, pria itu memekik, "Akhirnya kau muncul juga. Dari mana saja kau, hah?!" 

“Bersenang-senang.” Ucapan Eve datar. Tatapan dan suaranya sama-sama dingin, seperti seseorang yang dibungkus kabut. 

Noah mendekat dengan mata membara. "Jadi ini balasanmu? Kau menghilang semalaman dan membiarkan semua orang mencarimu?! Apa kau tahu betapa memalukannya kau di mata keluargaku?!"

"Memalukan?" Eve tertawa pendek. “Setelah kau tidur dengan adikku dan menghamilinya, kau masih bicara soal malu? Lucu sekali.”

Noah mendengus, lalu mencibir tajam. “Jangan bertingkah seperti kau korban paling suci. Kau pikir siapa yang membuat keluarga kita seperti ini? Kau! Karena kau mandul! Keluargaku tidak butuh istri yang tidak bisa menghasilkan keturunan.”

Ucapan itu seperti tamparan keras yang membuat dadanya sesak. Meski begitu, sorot mata Eve tidak goyah. 

“Lalu kau putuskan tidur dengan adikku sebagai solusinya? Kau 4njing, Noah. Bahkan bin4tang pun lebih tahu batas.”

Noah mendekat lebih agresif. “Jaga mulutmu, Eve! Aku tetap suamimu! Jangan pikir hanya karena kau semalaman menghilang bersama pria lain, kau bisa berbicara seperti itu!”

Eve mengernyit. “Apa maksudmu?”

“Kau pikir aku tidak tahu kau bermalam dengan pria lain? Kau pikir aku bodoh?” Noah mencengkram lengan Eve. “Apa kalian tidur bersama? Hah?” 

“Tidur bersama atau tidak, aku tidak perlu menjelaskan itu padamu. Bukankah kau juga melakukan itu padaku?”  

Noah tertawa, penuh ejekan. “Sekarang begini ucapanmu pada suamimu sendiri? Karena kau mandul, kau bisa tidur dengan pria sesukamu dan sebanyak yang kau mau?”  

“Kau tidak tahu apa-apa, dan kau juga tidak berhak menghakimi siapa pun.” 

“Lihat dirimu, Eve. Kau hanya wanita rusak yang tidak bisa jadi istri sempurna. Sekarang kau pulang dengan pakaian yang bahkan bukan milikmu. Apa lagi yang harus kupikirkan, hah?”

Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Tapi Eve berdiri tegak. Matanya menyala seperti bara. Luka itu tidak membuatnya lemah—justru memperkuat nadanya saat bicara. 

“Jangan khawatir. Suatu hari nanti, aku akan benar-benar melahirkan seorang anak — anakku sendiri — bukan dengan pengkhianat sepertimu, dan bukan dari tubuh adikku.” Dia mengambil napas. “Dan hari itu, aku pastikan hidupmu tidak akan pernah tenang lagi.”

Noah menggertakkan giginya, tapi Eve tak peduli. Dia berbalik, meninggalkan Noah yang masih mematung di belakangnya—pria yang kini bahkan tak pantas disebut suami.  

Namun setelah selangkah, dia kembali berhenti. 

“Kita bercerai, Noah. Aku tidak sudi melihatmu lagi. Membayangkan kau tidur dengan Celline seperti melihat sepasang babi yang berkembang biak. Teruskanlah! Kalian memang cocok.”   

Eve melangkah pergi tanpa menoleh lagi.

Langkahnya berat, tapi hatinya lebih ringan daripada dua hari terakhir. Ia tak tahu ke mana harus pergi—dan untuk pertama kalinya, ia tak peduli.

Yang ia tahu, rumah itu bukan tempatnya lagi.

Dan orang-orang di dalamnya bukan lagi keluarganya.

Langit masih kelabu. Hujan belum berhenti sepenuhnya. Tapi Eve terus melangkah—menjauh, menghilang, dan membiarkan dirinya ditelan oleh dunia yang lebih luas dari luka yang ditinggalkan. 

Dua hari telah berlalu.

Dan tak seorang pun di kantor tahu ke mana Eve menghilang.

“Dia bahkan tidak memberi kabar,” gumam Amanda sambil mengetuk-ngetuk pena di mejanya, gelisah.

Kantor baru saja memulai denyutnya—printer mulai berbunyi, aroma kopi menguar dari pantry, dan suara sapaan antar karyawan terdengar riuh rendah.

Tapi satu pemandangan membuat beberapa orang diam menahan napas.

Eve masuk.

Langkahnya pelan tapi mantap. Wajahnya pucat, tapi sorot matanya tetap dingin dan tenang seperti es. Dia mengenakan blazer hitam polos, rambut disisir rapi, dan tidak ada sedikit pun jejak bahwa dia baru saja melewati neraka.

Amanda yang baru saja duduk, mendongak kaget.

“Eve …? Ya Tuhan, kau kembali ….” 

Eve hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. Senyum yang terlihat sekali dipaksakan. 

Amanda menarik kursi, duduk di sisinya. 

"Astaga Eve ... Kau dari mana saja? Tiga hari kau menghilang, bahkan kau juga mengabaikan panggilanku. Asal kau tahu, aku hampir lapor polisi gara-gara kau!"

"Pelankan suaramu, Manda! Kau menarik perhatian semua orang sekarang."

"Oke, oke. Maaf." Manda menarik kursinya, lebih dekat lagi. "Katakan, apa yang terjadi? Aku mencarimu di rumah, tapi ... tapi kenapa justru adikmu yang muncul di rumah kalian? Noah juga bilang kalau kau tidak ada. Apa yang terjadi? Kenapa Celline di rumah kalian?"

Eve tersenyum getir. Sudah tiga hari dia tidak keluar ataupun mau tahu dengan apa yang terjadi pada mereka.

Celline … di rumah Noah? Eve menelan ludah, dadanya sesak mendengar itu. Dunia seakan kembali mengolok-oloknya.

"Aku akan segera resmi bercerai dengannya."

"Apa?!" pekik Manda, setengah berdiri dari kursinya. Matanya membelalak, mulutnya terbuka. "Tidak mungkin ...."

Eve diam, tapi helaan napasnya panjang dan berat.

Dan diamnya Eve membenarkan segalanya.

"Tapi ... kenapa? Selama ini kalian baik-baik saja, kan? Apa yang terjadi?"

Ya, Manda benar. Selama ini mereka memang baik-baik saja. Tapi ternyata, kenyamanan itu justru membuatnya seperti lelucon.

Bahkan setelah Eve menceritakan semuanya, Manda masih tidak bisa percaya.

"Eve," panggilnya pelan. "Kehamilan Celline sudah sangat besar. Mungkin juga akan segera melahirkan. Dan ... Dan selama ini mereka diam?"

Tidak ada jawaban. Kepala Eve tertunduk, bahunya meringsut.

"Sudahlah. Memang mereka semua baj!ng4n! Sudah bagus kalian bercerai. Semua lelaki memang tidak bisa dipercaya. Ngomong-ngomong, kau tinggal di mana sekarang?"

"Apartemen."

"Itu bagus. Aku bisa menginap di tempatmu sesukaku. Kita juga bisa melakukan banyak hal, minum sampai pagi, tanpa perlu khawatir seseorang akan marah. Kita harus pergi jalan-jalan keluar negeri, dan kita akan melakukan banyak hal yang tidak bisa kita lakukan. Kita akan merayakan perceraianmu dari pria egois seperti dia."

Sepertinya itu menyenangkan." Senyum Eve kembali.

"Kau tahu, hari ini Presiden Direktur perusahaan akan datang. Semua orang heboh membicarakannya, dan kau tidak akan percaya."

"Apa?"

"Katanya ... dia imp0ten." Manda berbisik seperti mau membocorkan rahasia negara.

"Sungguh?"

"Iya!"

"Siapa yang bilang? Apa ada dari mereka yang pernah tidur dengannya?"

"Entahlah. Tapi gosipnya sudah menyebar ke tiga lantai. Aku jadi penasaran, bagaimana wajah Direktur kita. Selama ini dia mengatur perusahaan dari belakang meja. Tidak tahu apa yang membuat dia baru turun tangan langsung."

Langkah kaki terdengar dari arah lorong.

Tumit sepatu kulit menghantam lantai marmer dengan irama pasti dan mantap. Semua suara nyaris terhenti. Para pegawai yang semula sibuk, kini saling menoleh lalu bergegas berdiri. Manda melotot ke arah Eve dan mencubit lengannya.

"Itu dia!" bisiknya panik.

Seorang pria tinggi melangkah masuk. Setelan jas hitamnya terpasang sempurna, dasi terikat rapi, wajahnya tajam dan dingin seperti diukir dari marmer mahal. Matanya gelap, menyorot penuh wibawa. Bibirnya terkatup rapat tanpa senyum. Seisi ruangan seketika sunyi. 

Alexander Ace telah tiba.

Di belakangnya, seorang pria muda mengikuti langkahnya dengan mantap. Tinggi, berwajah bersih dan tenang, mengenakan kemeja putih dan celana bahan abu-abu gelap, dengan iPad di tangan. Rayyan, Asisten Pribadi Alexander, pria yang dikenal hampir seperti bayangan Alex sendiri—selalu ada, selalu tahu, dan mengurus segalanya tanpa celah.

Tak banyak bicara, gerakannya efisien dan terukur. Semua orang tahu: jika Rayyan memanggil seseorang ke ruangannya, maka itu bukan pertanda baik.

Di antara semua yang tertegun, Eve adalah satu-satunya yang benar-benar menegang.

Pria itu ....

Pria yang sama yang membawanya ke hotel saat ia mabuk. Pria yang mengganti bajunya. 

Astaga ...!

Dia ... dia Presiden Direktur di sini?

Wajah Eve langsung pucat. Jantungnya seperti ditarik turun ke perut. Dia bergerak pelan, mundur sedikit ke belakang Manda, mencoba menyembunyikan diri.

Kepalanya tertunduk begitu rendah. Kalau bisa, dia ingin menghilang begitu saja.

Tapi ....

Bukankah mereka bilang dia imp0ten?

Lucu juga. Pria yang katanya imp0ten itu sempat bilang tidak akan membiarkanku lepas dari ranjang selama seminggu. Ha! Omong kosong macam apa itu?

Eve hampir tertawa sendiri, tapi tawa itu terhenti seketika.

Alexander berhenti.

Tepat di depan mejanya.

Eve menahan napas. Ia tak berani mengangkat kepala. Yang terlihat hanya sepatu kulit mengkilap itu, lalu kaki panjang hingga batas lutut. Tapi jelas—sangat jelas—pria itu sedang berdiri menghadapnya.

"Apakah ada yang salah, Tuan?" tanya Rayyan, suaranya datar namun tajam.

Pertanyaan itu menusuk telinga Eve.

Pelan-pelan, Eve mengangkat kepalanya.

Mata mereka bertemu.

Dunia seolah berhenti.

Tatapan Alex masih sama seperti pagi itu—dingin, tajam, menyelidik.

Dan Eve?

Eve hanya bisa tersenyum kaku, menahan gugup yang mengguncang tubuhnya.

"Tidak ada," jawab Alex, tenang.

Namun sorot matanya berkata lain.

Alex kembali melangkah, tanpa sepatah kata pun. Suasana tetap sunyi bahkan setelah ia menghilang di balik pintu kaca besar yang menuju ruang direksi.

Beberapa detik kemudian, Rayyan yang masih berdiri di tempat semula, mengangkat wajahnya dari layar iPad.

"Evelyna Geraldine," ucapnya, suara tenangnya membuat seluruh ruangan kembali menegang.

Jantung Eve berhenti sejenak.

"Ikut saya."

Tidak ada penjelasan lain. Semua tatapan kini beralih padanya. Manda sempat menarik lengan bajunya pelan, tetapi Eve sudah berdiri, kaku dan canggung, sebelum akhirnya mengikuti Rayyan menuju ruangan yang hanya dihuni oleh satu orang yang kini menghantui pikirannya.

Pintu itu tertutup rapat di belakangnya.

Ruangan luas itu dipenuhi cahaya alami, dengan dinding kaca yang menampilkan panorama kota. Meja besar berwarna hitam mengkilap berdiri di tengah ruangan, dan di baliknya, Alexander duduk dengan tenang.

Ia tidak langsung bicara. Hanya menatapnya.

Lama.

“Mulai hari ini, kau sekretarisku,” katanya dengan nada tak terbantahkan. 

Apa? Kenapa aku? Apa yang dia inginkan setelah malam itu?

Eve menelan ludah.

“Ada … alasan tertentu, Tuan?” tanyanya pelan.

Mata Alex menyipit sedikit. Senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya—nyaris tidak terlihat, tapi cukup untuk membuat Eve merasa seperti seekor kelinci yang baru masuk ke sarang serigala.

"Kenapa aku perlu alasan? Ini perusahaanku, dan aku memiliki wewenang sepenuhnya. Jika kau tidak mau, kau bisa memilih mengemas barangmu. Pintu perusahaan ada di lantai bawah." 

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!