NovelToon NovelToon
PENANTIAN CINTA HALAL

PENANTIAN CINTA HALAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Aila Rusli tumbuh dalam keluarga pesantren yang penuh kasih dan ilmu agama. Diam-diam, ia menyimpan cinta kepada Abian Respati, putra bungsu Abah Hasan, ayah angkatnya sendiri. Namun cinta mereka tak berjalan mudah. Ketika batas dilanggar, Abah Hasan mengambil keputusan besar, mengirim Abian ke Kairo, demi menjaga kehormatan dan masa depan mereka.

Bertahun-tahun kemudian, Abian kembali untuk menunaikan janji suci, menikahi Aila. Tapi di balik rencana pernikahan itu, ada rahasia yang mengintai, mengancam ketenangan cinta yang selama ini dibangun dalam doa dan ketulusan.

Apakah cinta yang tumbuh dalam kesucian mampu bertahan saat rahasia masa lalu terungkap?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENANTIAN CINTA HALAL

Jam menunjuk pukul 07.30. Deretan santri putri berseragam gamis rapi dan jilbab putih telah duduk di bangku masing-masing, suara bisik-bisik kecil terdengar sebelum pintu terbuka dan sosok Bayu masuk dengan langkah tenang.

Semua langsung berdiri.

"Assalamualaikum, Ustaz!"

"Waalaikumsalam warahmatullah," sahut Bayu sambil berdiri di depan kelas, meletakkan tas kulitnya di atas meja. Suara Bayu dalam dan berwibawa, tak terlalu lantang, tapi cukup membuat semua diam dan menunduk.

"Silakan duduk."

Suasana kelas hening. Tak ada satu pun yang berani bersuara. Bahkan Aila, yang biasanya paling cerewet di antara mereka, hanya diam tertunduk.

Bayu menulis satu kalimat besar di papan tulis.

"MENJAGA KEMULIAAN DIRI"

"Satu hal yang sering kita lupakan dalam hidup," ucap Bayu sembari menatap satu per satu wajah para santri, "adalah bahwa kehormatan seorang perempuan bukan hanya dilihat dari pakaiannya, tapi dari niatnya menjaga diri saat tak ada yang melihat."

Aila menelan ludah. Rasanya kalimat itu seperti... mengarah padanya.

"Ketika tak ada orang tua. Ketika tak ada guru. Ketika kalian pikir kalian sedang sendirian... di situlah hakikat takwa diuji."

Suara Bayu tenang, tapi setiap katanya seperti mengetuk batin para santri.

"Apa arti malu? Apa arti menjaga aurat? Apa arti menjaga adab? Itu semua tidak bermakna apa pun... jika hanya dipakai ketika ada manusia. Tapi ditanggalkan saat sendiri."

Aila makin menunduk. Ia tahu, bukan tentang dirinya. Tapi kenapa kata-kata Mas Bayu pagi ini terasa begitu... menusuk?

"Menjaga kemuliaan itu bukan karena takut pada manusia. Tapi karena tahu, Allah Maha Melihat."

Suasana kelas terasa sangat hening. Tak ada santri yang bermain mata, semua menatap Bayu, khusyuk, diam, mendengarkan. Aila pun terdiam, matanya bahkan mulai panas entah kenapa.

Dan di akhir pelajaran, sebelum keluar kelas, Bayu sempat menatap Aila sekilas. Dan Bayu pun keluar meninggalkan kelas.

Aila tercekat. Ia hanya bisa menarik napas panjang sebelum merapikan bukunya.

Matahari makin tinggi. Umi dan Romo belum pulang dari pengajian. Aila, yang lebih dulu sampai di ndalem, membuka jilbab dan menggantungnya di balik pintu kamar.

Lalu Aila keluar kamar, ke dapur mengambil air minum, sambil menyanyikan lagu solawat, rambutnya terurai dan bajunya santai. Saat itu terdengar suara pintu depan dibuka.

"Astaghfirullah, Mas Bayu!"

Aila hampir menjatuhkan gelas di tangannya. Bayu yang berdiri di ruang tengah sama-sama kaget. Mata tajam itu langsung memalingkan pandangan, rahangnya mengeras.

"Kamu... belum pakai jilbab?" tanyanya datar, tapi terdengar sangat menekan.

Aila panik, langsung lari ke kamarnya sambil membawa jilbab yang tergantung.

Beberapa menit kemudian, ia muncul dengan jilbab telah dikenakan, namun wajahnya memerah karena malu. Bayu duduk di ruang tamu, wajahnya dingin.

"Maaf Mas... aku kira..."

"Kalau kamu kira manusia yang melihat, lalu lupa kalau Allah Maha Melihat, berarti akidahmu bermasalah," ucap Bayu tanpa menoleh.

Aila menunduk. "Iya Mas..."

Bayu akhirnya berdiri, berjalan menuju ruang makan. "Mas lapar. Kamu bisa masakkan sesuatu?"

Aila mengangguk cepat. "Ada ayam ungkep tadi pagi, aku gorengin ya. Sama sayur bening."

Bayu hanya memberi anggukan kecil lalu duduk. Beberapa menit kemudian, Aila datang membawa sepiring ayam goreng, sambal, nasi hangat, dan sayur bening. Diletakkannya di meja dengan hati-hati.

Mereka makan dalam diam. Hanya suara sendok dan piring yang terdengar. Sampai akhirnya Bayu meletakkan sendoknya, menatap Aila yang masih menunduk.

"Aila."

Aila menoleh.

"Iya Mas?"

"Mas tahu kamu sudah besar. Tapi jangan pernah merasa cukup dewasa hingga merasa boleh seenaknya."

Aila mengangguk pelan.

"Mas nggak marah kamu nggak pakai jilbab. Tapi Mas sedih. Karena kamu adik Mas. Karena Mas berharap, kamu jadi perempuan yang tahu nilai dirinya, bukan karena kamu anak Romo, atau adik Mas, tapi karena kamu tahu harga diri itu bukan dilihat dari apa yang kamu pakai saat orang melihat... tapi saat kamu sendirian."

Aila menggigit bibir. Suaranya tercekat. "Lain kali, Aku akan lebih hati-hati, Mas. Terima kasih udah selalu jaga aku."

Bayu tak menjawab. Tapi sorot matanya sedikit melembut. Selesai makan, Ia lalu bangkit, mengambil air wudhu untuk salat zuhur.

Langit sore mulai berwarna jingga. Angin pelan meniup lembut pohon-pohon di halaman belakang ndalem. Di kursi kayu panjang yang menghadap taman kecil, Aila duduk sendirian. Tangannya bertaut di pangkuan, wajahnya muram, mata sayunya menatap ke depan tanpa fokus.

Bayu baru saja selesai membaca wirid sore di ruang tengah. Ketika berjalan ke belakang hendak mengambil sandal, langkahnya terhenti saat melihat Aila yang duduk diam, matanya basah meski belum benar-benar menangis.

Ia berdiri beberapa detik, memperhatikan dari jauh, lalu tanpa suara berjalan pelan mendekat dan duduk di kursi seberang Aila. Tak langsung bicara. Hanya ikut diam.

Aila baru menyadari kehadiran kakaknya setelah beberapa detik. Ia cepat mengusap matanya, lalu mencoba tersenyum.

"Mas Bayu... dari tadi di situ?"

Bayu tak langsung menjawab. Ia hanya memandangi Aila dengan sorot lembut tapi dalam.

"Kamu lagi mikirin Abian?" tanyanya akhirnya, tenang tapi pasti.

Aila terdiam. Lalu mengangguk pelan. Tak bisa menyembunyikan luka yang sudah terlalu lama dipendam.

"Udah dua tahun dia di Kairo, Mas... Dulu seminggu bisa lima kali dia kasih kabar. Sekarang... udah hampir dua tahun chatku cuma centang satu," gumam Aila lirih.

Bayu menyandarkan punggung ke kursi, matanya menatap langit yang mulai redup.

"Kamu kangen, atau kamu takut ditinggal?" tanya Bayu, masih dengan nada halus.

Aila meringis kecil. "Dua-duanya, Mas..."

Bayu menarik napas dalam. "Aila, kadang yang jauh itu bukan cuma karena jarak. Tapi karena Allah memang sedang menjauhkan, supaya kamu belajar melepaskan."

Aila menunduk. Hatinya bergetar mendengar kalimat Mas Bayu. Ia mengeratkan genggaman tangan di pangkuannya.

"Kalau memang dia jodohmu, Allah akan datangkan dia kembali dengan cara paling indah. Tapi kalau ternyata tidak... Allah akan ganti dengan seseorang yang lebih baik dan sesuai yang kamu butuhkan dalam doamu, bukan airmatamu," lanjut Bayu, suaranya tetap tenang namun menampar hati Aila perlahan-lahan.

"Tapi aku... takut kehilangan harapan, Mas," bisik Aila lirih.

"Yang kamu sebut harapan itu... jangan sampai menjelma jadi keputusasaan, dek. Karena harapan sejati itu... ya Allah. Bukan manusia, bukan Mas Abimu juga."

Aila menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang kembali menggenang. Bayu menatapnya dengan tatapan teduh.

"Kamu gadis baik, Aila. Kamu cantik. Pintar. Kamu layak diperjuangkan. Tapi jangan kamu yang terus bertahan."

"Kalau dia udah ada yang lain, Mas?"

Bayu tersenyum kecil, tapi getir.

"Maka kamu harus belajar ikhlas. Karena dalam hidup, tidak semua hal yang kamu cinta harus jadi milikmu."

Sunyi melingkupi mereka. Hanya angin yang lewat membawa bau tanah basah dari taman.

Aila akhirnya bicara, suaranya nyaris tak terdengar.

"Mas... terima kasih. Aku tahu... Mas juga lagi berat-beratnya. Menikah tanpa cinta, pasti nggak enak ya...?"

Bayu menghela napas. Ia menatap Aila dengan senyum lelah.

"Kita semua punya luka, dek. Tapi jangan sampai luka itu bikin kita kehilangan arah."

Aila mengangguk pelan. Kali ini, air matanya jatuh. Tapi bukan tangis sesak seperti sebelumnya. Lebih seperti air mata yang akhirnya menemukan tempatnya untuk reda.

Senja sudah nyaris tenggelam, Ia menarik napas panjang, lalu berdiri dari duduknya.

Karena langit mulai berganti warna, perlahan bergeser ke jingga tembaga. Udara sore mulai mendingin, menandai waktu berpulang bagi tamu yang sejak pagi mampir membawa keheningan dan wibawa.

Bayu melihat arlojinya sekilas. Pukul lima lewat dua puluh.

"Mas pulang dulu. Nanti keburu malam di jalan,Salam sama Abah dan Umi" ucap Bayu sembari merapikan ujung lengan kemejanya yang tadi sempat disingsingkan.

Aila buru-buru ikut berdiri. "Mas… nggak sekalian nginap?"

Bayu tersenyum kecil. "Ndak bisa, kasian Mbakmu, Azela sendirian.Lagi pula, Besok Mas, masih ada jadwal ngisi kelas tahfidz besok pagi di rumah Qur’an."

Aila mengangguk pelan. Wajahnya sedikit kecewa, karena akan merasa kesepian setelah kepulangan Bayu. Meski mereka sering berantem namun mereka saling menyayangi. Ia tahu ritme hidup Mas Bayu, pria yang kini makin banyak membagi waktunya untuk dakwah dan pendidikan santri.

Sebelum benar-benar keluar dari ndalem, Bayu berhenti sejenak di meja makan. Ia membuka dompet kulitnya dan meletakkan tiga lembar uang merah di atas taplak bersih yang tadi Aila rapikan.

"Uang sakumu," ucap Bayu singkat.

Aila mengerutkan kening. "Mas…uang jajanku, masih ada."

Bayu melirik sejenak, lalu kembali menegakkan pandangannya. "Kalau kamu masih punya, simpan. Kalau butuh, sudah ada."

Suara Bayu tetap datar dan tenang, tapi membuat Aila terdiam.

"Masih banyak kebutuhan tak terduga. Kalok butuh sesuatu, bilang sama Mas. Uang itu bukan buat dihabiskan, tapi untuk berjaga. Paham?"

Aila mengangguk pelan. Wajahnya memerah, antara sungkan dan haru.

"Maturnuwun, Mas..." bisiknya.

Bayu hanya sedikit menundukkan kepala, lalu membuka pintu kayu ndalem yang berat itu. Sebelum benar-benar melangkah keluar, ia sempat menatap ruang tengah sejenak, lalu menarik napas panjang.

"Mas pulang," ucapnya lagi.

Dan pintu pun tertutup perlahan. Tanpa pelukan. Tanpa sentuhan. Tapi ada perhatian nyata yang ditinggalkan di atas meja.

Aila masih berdiri di tempat, menatap tiga lembar uang merah itu dengan mata panas. Ia tahu… sikap Mas Bayu memang tak pernah lembut di ucapan, tapi selalu hangat dalam perbuatan.

Tak lama kemudian, Bayu berjalan menuju gerbang ndalem, langkahnya tenang, bahunya tegak. Dari belakang, Aila memandangi punggung sosok yang selama ini menjadi pelindung diam-diam dalam hidupnya. Ia tahu, Mas Bayu-nya bukan hanya sosok yang kuat, tapi juga hati yang tak banyak bicara… tapi tak pernah lalai untuk menjaga.

Saat suara mobil Bayu perlahan menghilang di tikungan pondok, Aila masih berdiri di teras, menggenggam tiga lembar uang merah itu dengan dada yang hangat.

1
Ita Putri
poor bayu
Ita Putri
jangan" hamil anak almarhum dr.kenzi
R I R I F A
lanjut aku suka cerita yg islami...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!