"Rey... Reyesh?!"
Kembali, Mutiara beberapa kali memanggil nama jenius itu. Tapi tidak direspon. Kondisi Reyesh masih setengah membungkuk layaknya orang sedang rukuk dalam sholat. Jenius itu masih dalam kondisi permintaan maaf versinya.
"Rey... udah ya! Kamu udah kumaafkan, kok. Jangan begini dong. Nanti aku nya yang nggak enak kalo kamu terus-terusan dalam kondisi seperti ini. Bangun, Rey!" pinta Mutiara dengan nada memelas, penuh kekhawatiran.
Mutiara kini berada dalam dilema hebat. Bingung mau berbuat apa.
Ditengah kondisi dilemanya itu, ia lihat sebutir air jatuh dari wajah Reyesh. Diiringi butir lain perlahan berjatuhan.
"Rey... ka-kamu nangis, ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 - Ekspektasi
"Nggak apa-apa." ucapnya ketus.
"... kukira awalnya kamu suka sama diriku, Mut. Itu adalah hipotesis awal sejak aku datang menolongmu. Aku khawatir bantuanku saat itu, malah disalah tafsirkan dan menjadi bunga mekar untuk hatimu. Untungnya tidak." Reyesh melanjutkan di sela wajah Mutiara yang memerah karena malu.
"Karena kamu bersikap bodo amat dan ngeyel, jadi aku tenang. Artinya kamu biasa aja terhadapku dan menganggapku sebagai teman atau mentormu saat ini. Masih termasuk ekspektasi awalku." ucap Reyesh diiringi senyum puas.
"Ekspektasi? Maksudnya kamu berekspektasi apa terhadapku, Rey?" Mutiara malah bingung. Pipi kemerahannya kini mulai mereda.
"Ekspektasi bahwa kamu tidak akan menyukaiku. Ditambah, target dan fokusmu untuk nilai sempurna itu. Baguslah! Artinya, aku tenang dan nggak khawatir saat mengajarimu. Ekspektasiku sebelumnya adalah kamu tetap pada sifat ngeyel dan ketus itu, sehingga aku tidak takut lagi akan ada celah pada 'ruang itu'. Paham kan, Mut?" tutup Reyesh dengan ekspektasinya.
Mutiara bukan malas menyanggah, tapi hatinya seakan panas mendengar hal ini.
Hati dan perasaannya yang mulai tertata rapi untuk Reyesh, kini mulai digoyahkan sendiri oleh orang yang ia cintai. Reyesh seakan menolak lebih dahulu sebelum dirinya mengungkapkan perasaan. Bahkan, sebelum perasaan itu jadi dan terbentuk seutuhnya!
Di satu sisi, Mutiara sangat sedih karena tembok perasaan Reyesh yang begitu kokoh. Sulit rasanya mencari celah atau ruang perasaan tentang cinta di sana. Ia menganggap ucapan Reyesh barusan terbagi dua hal:
Pertama, kalau Reyesh benar-benar menutup ruang perasaan cinta untuknya. Mungkin tujuannya agar tidak mengganggu fokus terhadap perkuliahan. Itu bagus.
Kedua, mungkin saja Reyesh sudah mengetahui bahwa Mutiara diam-diam suka dan naksir padanya, tapi ia tutup lebih dahulu, supaya tidak ada rasa sakit hati yang mendalam jika perasaan itu terlanjur terbentuk secara utuh.
Menurut Mutiara, Reyesh sangat menjaga point kedua itu.
"Aku paham, Reyesh. Terima kasih, ya." jawab Mutiara dengan senyum tulus. Tatapannya sangat bernilai kepada Reyesh.
Setelah gadis itu berpikir dan merenungi lebih dalam, ternyata, cintanya yang terlalu buru-buru terhadap Reyesh, mungkin ke depannya sangat berbahaya dan beresiko.
Maka dari itu ia mengucapkan terima kasih kepada si jenius, karena memberikan batasan. Supaya, kelak jika benar tumbuh perasaan antar keduanya, maka batasan tersebutlah yang menjadi pengingat.
Bagi Mutiara, kondisi dan hubungan mereka saat ini, yaitu hanya sebatas teman dan mentor, adalah terbaik baginya. Mutiara nyaman dan tenang dalam posisi ini. Tanpa harus khawatir kehilangan Reyesh, maupun menjauh dari si jenius dingin itu.
"Sama-sama, Mut. Ayo kita lanjut lagi belajarnya! Obrolan barusan, sudah menghabiskan 20 menit waktumu. Aku yang bingung harus menggantinya nanti. Maklum, lumayan sibuk." Reyesh mulai membuat suasana menjadi ringan dan cair kembali.
"Tunggu dulu! Kamu masih punya utang dan belum menyelesaikan ceritamu." tagih Mutiara.
"Cerita yang mana lagi?"
"Itu lho, kamu beneran nggak ngasih konsep tadi ke temen-temenmu? Aku khawatir kalau mereka pakai, mereka jadi buaya senior yang gampang menerkam mangsa mahasiswi di sini." ucap Mutiara dengan khawatir.
"Tenang aja, aku nggak punya teman seperti itu. Rata-rata cirlce dan pergaulanku bosenin. Karena mereka ambis sama nilai. Beberapa dari mereka ada di kelasmu, kok."
"Temanmu ada yang dari kelas Q10?"
"Yap! Udah ya, kita lanjut dulu. Oke?" paksa Reyesh, ia khawatir karena takut menjadi mentor yang buruk dalam managemen waktu.
"Bentar dulu ngapa sih! Kan aku yang bayar, jadi aku yang menentukan kapan harus belajar, dan kapan harus santai atau ngobrol. Oke?"
"Aku sih tak masalah. Tapi kamu nggak ngerasa rugi? Kan sudah bayar mahal."
"Tidak masalah, jenius. Ayo lanjutkan ceritamu!"
"Bagian yang mana lagi, sih?"
"Yang itu lho... versi paling murah atau paling rendah dari sebuah permintaan maaf. Aku masih penasaran."
"Oh bagian itu. Bersiaplah kehilangan 10 menit berikutnya sebagai bayaran cerita tersebut. Kamu siap?"
"Siap!" sahut Mutiara dengan sumringah.
"Jadi gini..." Reyesh sudah bersiap mengambil posisi berkisah. Sementara Mutiara, dengan senyum dan pandangan tak biasa, menatap Reyesh dan menjadi pendengar yang baik.
"Ada sebuah kisah tentang seorang anak dan paku di pagar. Kamu pernah dengar itu? Kalo udah pernah, akan ku stop di sini ceritanya."
Mutiara mengangkat kedua alisnya dengan wajah kebingungan. Lalu menggelengkan kepala.
"Oke, baiklah. Jadi, ada seorang anak yang sangat pemarah. Ia gampang sekali tersulut emosi. Bahkan, emosi itu sering ia lampiaskan ke teman sekolah. Sehingga, berulang kali orang tua nya dipanggil oleh pihak sekolah. Lalu, sang ayah memangilnya dan mengajaknya bicara empat mata dengan serius."
Mutiara masih memperhatikan dengan seksama. Reyesh menaruh spidol yang sejak awal selalu ia genggam. Tindakan tersebut menandakan bahwa, cerita kali ini benar-benar menyingkirkan fokusnya, dari mengajari Mutiara tentang pembelajaran hingga serius dengan ceritanya.
"Lalu sang ayah bilang kepada anak: kalau mau marah, silakan kamu lampiaskan emosi itu dengan menancapkan paku di pagar rumah. Kemudian, sang ayah memberikan satu kotak penuh berisi paku dan sebuah palu. Sang anak menyetujui. Keesokan harinya, setiap kali sang anak marah, ia tancapkan paku disetiap pagar sebagai bentuk luapan emosi. Hari pertama, sudah ada sekitar tiga puluh paku. Hari kedua, dua puluh lima paku. Hari ketiga dua puluh paku."
Reyesh diam sejenak untuk mengambil napas panjang. Mutiara masih tabah mendengar. Tidak ingin menyanggah cerita bagus itu.
"Semakin hari, jumlah paku yang ditancap si anak, semakin berkurang. Si anak masih tetap emosi, tapi setelah dua minggu, setiap harinya hanya satu atau dua paku yang ia tancapkan. Sampai akhirnya, paku di kotak telah habis dan tertancap sepenuhnya di pagar rumah mereka."
"Sang anak merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa akan marah, tapi karena paku sudah habis, ia cegah emosi itu. Ia redam sebisanya. Lalu sang anak kembali bertemu ayahnya. Ia menceritakan bahwa paku telah habis dan ia tidak bisa melampiaskan amarah lagi sejak saat itu. Kemudian sang ayah berpesan, jika anaknya sudah tidak emosi, maka apabila ia mau meredam emosinya setiap hari, lalu meminta maaf kepada orang pada hari itu, lalu cabutlah satu paku dari pagar rumah."
"Aku tebak cerita berikutnya...!" Mutiara mengangkat tangan seraya interupsi.
"Pasti, lama kelamaan paku di pagar itu habis tak bersisa. Karena sang anak sudah jadi pemaaf dan tidak emosi lagi. Benar kan, Rey?"
"Bingo! Benar sekali, Mut. Akhirnya, sang anak pun sudah tidak emosi lagi. Terlebih, ia lebih dulu minta maaf kepada orang-orang, jika dirinya melakukan kesalahan kecil. Tapi, kamu tahu nggak plot twist dari kisah itu?" pancing Reyesh.
"Lho, ada lanjutannya lagi, Rey?"
"Ada. Coba tebak!"
"Hmm... mungkin, si anak dapat hadiah dari ayahnya karena sudah berhasil menghilangkan emosi dan menjadi pemaaf. Benar?"
"Yaa, mungkin saja begitu sih. Tapi ucapan sang ayah, membuat sang anak menangis. Mau tau?" pancing Reyesh, memanggil rasa penasaran Mutiara.
"Mau....mau!"
Tagih Mutiara, seperti seorang anak kecil yang sedang diberikan permainan dengan iming-iming hadiah.
Bersambung.....