NovelToon NovelToon
Rengganis Larang

Rengganis Larang

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri / Hantu / Roh Supernatural / Fantasi Wanita
Popularitas:903
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.

Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.

Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Darah Yang Di Buru

Tangan itu keluar duluan—besar, bersisik, kukunya panjang dan hitam seperti tombak karatan. Dari retakan tanah, asap hitam mendesis dan bau daging busuk menusuk hidung. Suara geraman rendah mengguncang dada, seperti raungan raksasa yang ditelan bumi.

Kenan mundur satu langkah. Tubuhnya gemetar. Nafasnya pendek. “Itu... itu apa?”

Sasmita sudah mengangkat keris Larang-nya. Api biru samar menyelimuti bilah pusaka itu, tapi hatinya tidak tenang. Aura makhluk ini... beda. Lebih tua. Lebih jahat. Lebih lapar.

“Itu... bukan siluman biasa,” desisnya. “Ini... anak buah Manglayang Merah.”

Dari balik asap, sosoknya muncul perlahan—tinggi dua meter lebih, badannya bungkuk, matanya merah menyala, kulitnya hitam retak seperti tanah kekeringan. Mulutnya sobek sampai ke telinga. Giginya rapat, kecil-kecil dan banyak, seperti parutan besi.

Ia melirik Kenan.

Dan langsung mengaum.

Dalam sekejap, tanah terbelah lebih lebar dan makhluk itu melesat ke depan dengan kecepatan tak masuk akal. Suara ledakan tanah mengiringi loncatannya. Tujuannya jelas: Kenan.

“KENAN!!!” Tri menubruk bocah itu dan menjatuhkannya ke samping.

Makhluk itu menghantam tanah tempat mereka berdiri. Ledakan debu dan tanah terciprat ke segala arah.

Ningsih bergerak cepat, membuka kantong jimatnya dan melempar segel ayat ke arah iblis itu. Api merah menyambar dari kertas suci—tapi makhluk itu hanya menoleh... dan tertawa kecil.

Satu lompatan.

Tangannya menghantam Ningsih hingga gadis itu terpental ke dinding dapur. Tubuhnya terbanting keras, dan darah muncrat dari mulutnya.

“NINGSIH!” teriak Sasmita.

Tri mencabut belatinya. Perak murni. Ia berlari ke arah makhluk itu dan menancapkan pisau ke punggungnya—tapi tidak masuk. Kulit makhluk itu keras seperti baja neraka. Ia menoleh dan mencengkram leher Tri, mengangkatnya seperti boneka.

“Mati,” desis makhluk itu.

“LEPASKAN DIA!!” Sasmita melesat, keris Larang-nya menyabet tangan iblis itu. Luka terbuka di kulitnya—akhirnya.

Makhluk itu meraung, melepaskan Tri dan mundur beberapa langkah. Tapi tatapannya makin beringas.

Maya dan Aditya memeluk Kenan di dekat pintu belakang. Wajah mereka pucat, mata Maya berlinang. “Kenan... kita harus kabur!”

Tapi kaki mereka tak bisa bergerak. Terpaku. Takut.

Sasmita berdiri di depan makhluk itu, nafasnya berat. Tangan kanannya sedikit bergetar.

Keris Larang-nya menyala lebih terang, tapi tubuhnya tak sekuat dulu.

Makhluk ini... terlalu kuat.

Bahkan bagi dirinya.

Dan tiba-tiba, kenangan itu datang lagi. Kilatan memori yang ia simpan dalam-dalam selama bertahun-tahun.

Malam. Hujan. Jeritan. Darah ayahnya di tanah. Makhluk mirip ini—dengan tatapan yang sama haus darah—menerkam tanpa ampun.

“Ayah…” bisiknya.

Sasmita mengatupkan rahangnya. “Sialan.”

Makhluk itu kembali melompat—lebih cepat. Ia menghantamkan kedua tangannya ke arah Sasmita, seperti palu raksasa. Sasmita mencoba menangkis—tapi terdorong mundur, tubuhnya menghantam pohon.

Ia jatuh. Keris Larang terlempar dari tangan.

Makhluk itu berdiri di atasnya. Nafasnya bau busuk neraka. Tangannya terangkat.

Lalu—

“LARI!” suara Mbah Sujana memecah udara. Tua, serak, penuh perintah.

Pria tua itu berdiri di tengah halaman, tongkat tulangnya bergetar dengan kekuatan yang entah datang dari mana. Jubahnya terbuka. Dari dadanya, sinar merah menyala. Segel darah.

“Iblis dari tanah yang membusuk. Aku panggil hukum lamamu! ATURAN PERTAMA! JANGAN SENTUH TUANMU SEBELUM WAKTUNYA!”

Ia menancapkan tongkat ke tanah. Ledakan cahaya meledak dari ujungnya.

Iblis itu terhempas ke belakang, menggeram keras, kesakitan.

Sasmita terbatuk. “Apa yang lo—”

“Bawa mereka pergi!” teriak Mbah Sujana. “Kalian belum siap! Tapi anak itu... harus hidup!”

Aditya sudah menarik Maya dan Kenan ke mobil.

Sasmita bangkit sambil memungut kerisnya. “Gue nggak ninggalin lo!”

“PERGI!!” raung Mbah Sujana. Matanya berdarah. Tubuhnya gemetar.

Tri membantu Ningsih bangun, darah masih menetes dari pelipisnya. “Kak... kita harus ikut!”

Sasmita menatap Mbah Sujana. Satu detik. Dua. Lalu ia berlari.

Semua naik ke mobil. Aditya menginjak gas.

Dari jendela belakang, Sasmita melihat Mbah Sujana berdiri sendiri di tengah halaman, menghadapi makhluk itu yang mulai bangkit lagi. Lebih marah. Lebih liar.

Lalu...

Iblis itu menyerang.

Tak ada waktu. Tak ada perlawanan lagi.

Makhluk itu mencabik tubuh Mbah Sujana seperti kain tua. Darah muncrat ke udara. Bagian tubuhnya terpental, menempel di pohon dan tembok.

Kenan menjerit. Maya memalingkan muka dan menangis. Tri menggigit bibir sampai berdarah. Ningsih menutup mata.

Sasmita hanya diam.

“Gue janji... lo gak mati sia-sia, Mbah.”

Mobil melaju meninggalkan rumah.

Dan dari kejauhan, jeritan Mbah Sujana—samar—masih terdengar. Sampai semuanya sunyi.

Beberapa jam kemudian – Jalan Kabupaten

Mobil berhenti di pinggir jalan, mesin dibiarkan menyala. Di dalam, semuanya diam.

Maya memeluk Kenan erat. Anak itu tak bicara. Tatapannya kosong, pandangannya menembus kaca jendela.

Tri memegangi luka di lengannya. Ningsih duduk dengan kepala bersandar di kursi. Wajahnya lelah, tubuhnya masih gemetar.

Sasmita duduk di depan, memandangi tangannya sendiri. Sedikit luka. Tapi bukan itu yang sakit.

Itu makhluk... bukan kelas bawah.

Itu... pemecah segel.

Dia menarik nafas panjang, lalu menoleh ke belakang.

“Dengerin gue semua.”

Suara Sasmita rendah tapi tegas.

“Mulai sekarang... gak ada yang namanya hidup normal lagi. Lo semua udah masuk ke medan perang. Kenan, lo adalah target. Dan kita... cuma punya satu pilihan—melawan atau mati.”

Kenan menatapnya. “Gue gak bisa. Gue cuma anak kecil...”

“Lo bukan cuma anak kecil,” balas Sasmita. “Lo pewaris darah. Dan darah lo dicari.”

Dia membuka laci dashboard, mengeluarkan peta dan foto-foto tua. Simbol-simbol merah melingkari pegunungan tertentu.

“Gue tau ke mana kita harus pergi.”

“Ke mana?” tanya Aditya, suaranya pelan.

Sasmita menatap peta itu.

“Ke tempat di mana segel asli Manglayang Merah dibuat.”

Ia menatap langit senja yang mulai memerah. Seolah dunia ikut memperingatkan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!