Inggit Prameswari terpaksa menikah muda dengan Albiru Rasdan karena perjodohan yang dibuat oleh orang tua mereka. Usia keduanya yang masih begitu belia, menyebabkan rumah tangga mereka dipenuhi dengan banyak drama. Terlebih sikap dingin Biru yang mendarah daging, menyebabkan keduanya bagai pasangan Tom and Jerry yang tak pernah akur dengan yang namanya perselisihan.
"Maju satu langkah gue teriak nih!" ancam Inggit
"Well, lo harus membayar mahal atas semua perlakuan lo ke gue." Biru.
Jangan lupakan pria tampan yang diam-diam menaruh hati pada Inggit, dia Ares. Laki-laki yang siap berjuang sampai di titik nadir, walaupun aral melintang di depannya. Pria itu tetap berkata, "Mari kita jalani ini semua bersama." Ares
Perjalanan cinta segitiga yang mengharu biru, persahabatan, cinta dan kesetiaan yang di uji.
follow ig~ mazarina_asrifaris
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 23
Sehari tanpa kabar dari Inggit, Ares merasa gusar. Makan tak kenyang, tidur tak nyenyak, mandi pun tak basah. Semua terasa hambar, dan datar saja, rasa penasarannya semakin menguar semenjak kepergiannya, bahkan gadis itu tak satupun memberi kabar, alih-alih bisa saling menyapa dalam dunia maya, pesan pun tak ada yang dibalas. Fiks, Ares sudah jatuh cinta.
Pria itu menghubungi Edo, akibat dari rasa yang antah berantahnya. Kerja pun tak nyaman, tugas kuliah mangkrak. Semua terasa tak bersemangat. Tiba-tiba pria itu rindu, rasa penasaran nan menggebu, begitu menatap layar ponsel tanpa pesan darinya.
Ini baru sehari, bagaimana kalau seminggu, sebulan, bahkan lebih, sepertinya pria itu akan mengalami gangguan rindu yang teramat menggebu.
"Ares, kata Om Zidan persentasi kamu berantakan tadi di kantor, kamu kenapa tidak fokus, tidak biasanya kamu mengecewakan Ayah," tegur Darren terhadap putranya.
Darren yang fokus meng-handle kampus terpaksa mendoktrin anaknya untuk menyukai dunia perusahaan. Semenjak dari bangku SMA, Ares sudah terbiasa dengan Bisnis, walaupun sebenarnya hobby pria itu bukan di sana. Namun, karena Ayahnya mewariskan, dan mempercayakan kemampuannya di sana, Ares di tuntut multitalent, dalam segala hal.
Pria muda, mapan itu bahkan sampai tak punya waktu banyak untuk dirinya, kerja, kuliah, kerja, kuliah. Begitulah judulnya, walaupun kadang masih terlihat suka-suka, Ares mempunyai tanggung jawab yang besar, di bawah bimbingan Zidan, yang notabene Om dari Ares.
"Maaf Ayah, Ares akan perbaiki besok," ucapnya sungguh-sungguh dengan penuh nada penyesalan. Saat ini mereka tengah makan malam bersama, Bunda Naya bahkan menangkap gelagat putranya yang tak biasa.
Darren tipikal orang yang sangat disiplin dalam segala hal, termasuk dalam mendidik anak mereka, laki-laki itu begitu tegas dalam menerapkan setiap aturan orang-orang di dekatnya.
"Ayah, usia berapa Ayah menikah?" tanyanya penasaran.
Darren dan Naya yang tengah mengunyah makanan terdiam, lalu menatap putranya secara bersama.
"Kalau tidak salah, sekitar dua puluh delapan tahun Ayah meminang Bundamu, kenapa? Kamu mau menikah, sudah punya kandidat untuk di lamar?" tanyanya penuh selidik.
"Belum," jawab Ares datar. "Otw menuju halal," sambungnya lagi.
Ares tersenyum sendiri membayangkan kelak bisa merajut kasih dengan Inggit. Pria itu begitu mendamba, tanpa ia ketahui dirinya telah mengagumi istri orang.
Ares menghubungi Edo dan meminta bantuan pria itu untuk menyelidiki wanita yang telah meninggalkan jejak nama di hatinya. Kenangan dua malam di apartemennya begitu membekas, walaupun gadis itu penuh misteri, Ares yakin, Inggit gadis yang baik dan unik.
Lain Ares, lain juga Inggit, gadis itu menatap sayu wajah Romonya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Bahkan semenjak kedatangannya, gadis itu belum beranjak dari sana.
"Bu, Ibuk istirahatlah ... biar Romo, Inggit yang jaga," ucap gadis itu lembut.
"Jangan sayang, nanti kalau Romo butuh apa-apa kamu nggak bisa ndok, lebih baik kamu pulang saja, besok gampang ke sini lagi, kasihan suamimu masih menunggu di luar," ucap Ibuk bijak.
Biru ngapain sih, pakai acara nungguin segala, cari muka banget.
Inggit bingung sendiri menghadapi situasi yang menaungi dirinya saat ini. Andai ia bisa jujur dengan semua orang atas apa yang bisa ia rasa saat ini, sayangnya sekarang Inggit memilih diam.
"Tapi, Buk, Inggit masih pingin di sini, nungguin Romo, masih kangen juga dengan Ibuk," ucapnya sendu.
Tak ada pilihan untuk dirinya saat ini, Inggit benar-benar tak ingin pulang ke rumah itu lagi, andai Ibuk dan Romo tahu saat ini bahkan anak mereka tengah merencanakan sebuah perpisahan. Andai mereka tahu pernikahan mereka hanya sebuah formalitas bagi keduanya. Sungguh perempuan itu mendamba akan kebebasan untuk dirinya saat ini.
"Nak Biru, titip Inggit ya, sebaiknya istirahat di rumah saja, besok ke sini lagi," pesan Ibuk melepas kepulangan Inggit.
"Iya Buk, kita pulang dulu, insya Allah besok, kita ke sini lagi, kalau ada apa-apa, jangan sungkan kabari kita ya Buk," pamit pria itu sopan.
Mereka berjalan beriringan ke luar dari gedung rumah sakit, Inggit berjalan perlahan dengan kaki yang sedikit pincang karena luka yang terjadi kemarin, sedang Biru mengiring perempuan itu dari belakang.
Biru bingung sendiri ketika Inggit tidak lantas menuju parkiran mobilnya. Gadis itu malah berlawanan arah dan lebih memilih menunggu taksi yang ia pesan. Biru pikir, Inggit akan menuggu di jalan saja karena malas ke parkiran, pria itu berujar pergi mengambil mobilnya.
"Nggit, lo mau tunggu di sini? Gue ambil mobil dulu ya?" ujar pria itu menginterupsi.
Inggit bergeming, tidak berminat menjawab apapun pertanyaan atau obrolan pria itu. Sungguh ia trauma pulang bareng Biru. Gadis itu takut Biru kembali murka dan menurunkan dirinya di tengah jalanan sepi seperti waktu itu. Mengingat pria itu bermuka dua, lain di hati, lain pula di bibirnya. Pandai berakting, untuk memanipulasi apa pun agar terlihat baik-baik saja.
Biru merasa kesal, ketika mendapati Inggit menaiki taksi, pria itu bahkan sudah bersusah hati menunggu Inggit untuk pulang bersama, tapi mendapat penolakan secara tak nyata.
"Tuh cewek maunya apa sih, dibaikin nglunjak, nggak dibaikin ngelawan, cari masalah dan bikin kesel terus kerjaanya," keluh Biru sebal menggerutu sepanjang jalan.
Pria itu mengikuti Inggit yang ternyata pulang ke rumah orang tuanya. Bahkan, semenjak di rumah sakit Inggit menjadi irit bicara dan banyak diam. Ia memilih pulang ke rumah orang tuanya karena saat ini rumah itu adalah rumah yang paling tepat untuk pulang. Ia malas bertemu dengan Biru, malas berdebat apapun dengan pria itu, dirinya lelah dan butuh istirahat yang nyaman.
Sesampainya di rumah masa kecilnya, Inggit langsung membersihkan diri di kamar mandi. Gadis itu begitu penat, langsung menyambangi kasur dan tenggelam ke alam mimpi.
Sementara Biru bingung sendiri di luar, masuk nggak, masuk nggak! Begitu terus bergelut dengan hati.
Orang tua Inggit menitipkan anaknya pada dirinya. Biru memang mempunyai kepercayaan penuh di mata orang tua Inggit, tanpa tahu belang pria itu sedikit pun. Biru akhirnya memilih putar balik, dan menuju rumahnya. Bayangan pertengkaran yang beberapa jam berlalu kembali terukir, ada rasa yang entah, yang tidak bisa terbaca oleh dirinya. Mungkin lebih kepada rasa bersalah. Tiba-tiba dirinya merasa sangat rindu ingin bertemu dengan kekasihnya yang sudah dua hari ini sulit dihubungi.
Semua tak berkisah sama, Hilda masih tak bisa di hubungi. Biru akhirnya mengajak Devan, dan Nathan untuk keluar saja, menghabiskan penat yang melanda.
Suara musik khas diskotik berjedug menemani ke tiga pria tanggung itu. Biru banyak minum, mungkin pria itu terlalu stress sampai menggumamkan nama Inggit berkaki-kali. Eh, kok Inggit? Nathan bingung sendiri, alam bawah sadar sahabatnya meneriaki nama Inggit berkali-kali.
baca ulang gue
mau nostalgiaan ama Inggit dan Birru🤭