Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
waktu yang berhenti
Shavira berjalan di trotoar dengan pandangan lurus ke depan. Hari ini ia sengaja izin tidak masuk kerja. Kepada Nadia ia berbohong—karena tahu, sahabatnya itu pasti akan terus menginterogasi bila tahu tujuan sebenarnya.
Langkahnya terhenti di halte. Sambil menunggu bus, Shavira membuka ponsel, membaca berita yang sedang trending.
“Kasus YouTuber… Mahendra,” gumamnya. Dahi Shavira berkerut. Apa iya, rumah sakit itu memang berhantu?
Tak lama bus datang. Shavira segera naik dan duduk di samping jendela. Selama perjalanan, matanya menatap jalan raya, gedung-gedung tinggi, dan sesekali ia memejamkan mata karena silau matahari pagi.
Sesampainya di tujuan, ia turun. Langkahnya berhenti tepat di depan pemakaman umum. Tarikan napas panjang ia hembuskan perlahan sebelum melanjutkan langkah ke arah dua nisan yang berdiri berdampingan.
“Assalamualaikum, Ayah… Ibu…” Shavira berjongkok, mengusap pelan batu nisan orang tuanya.
---
16 tahun yang lalu…
“Yah, Ibu… nggak lama kan perginya?” Gadis kecil berusia sembilan tahun itu menatap dengan mata sendu.
Sang ibu mengelus kepalanya lembut. “Enggak, sayang. Ibu sama Ayah sebentar kok.”
Sang ayah ikut menenangkan. “Anak ayah jangan sedih dong. Nanti ayah beliin cokelat deh!”
Mata Shavira berbinar. “Beneran? Banyak ya, Yah!”
“Siap, tuan putri!” jawab ayahnya sambil mencium pipinya.
Itulah pertemuan terakhir mereka. Satu jam setelah keberangkatan, telepon rumah berbunyi.
“Halo? Apa benar ini keluarga Pak Adrian? Kami ingin menyampaikan kabar duka. Mobil yang ditumpangi Pak Adrian dan istrinya mengalami kecelakaan. Keduanya dinyatakan meninggal di tempat.”
Tubuh kecil Shavira terjatuh. Isak tangisnya pecah, memenuhi seluruh ruangan.
---
Kembali ke masa kini.
Shavira menatap nisan itu dengan sendu. Ingin menangis, tapi rasanya air mata sudah lama kering.
“Ayah, Ibu… Vira sebentar lagi nyusul. Kata dokter, jantung Vira melemah. Katanya umur Vira cuma beberapa bulan lagi…”
Tangannya kembali mengusap batu nisan. Setelah beberapa lama, ia berdiri. “Vira pulang dulu ya. Assalamualaikum.”
---
Di tempat lain…
“Arghh! Sakit, Yah! Tolong, jangan—!”
Seorang remaja laki-laki meringis kesakitan. Wajahnya penuh lebam, tubuhnya terhuyung menahan pukulan kayu.
“Dasar anak nggak berguna! Gue bilang jangan sekolah, ya jangan! Lo pikir dengan sekolah lo bisa jadi kaya, hah?!” Lelaki setengah baya itu meludah ke lantai.
“Ayah! Aku mau sekolah! Aku mau wujudin mimpi Ibu!” teriak remaja itu, menahan air mata.
Wajah ayahnya merah padam. “Dasar anak sialan! Sama aja kayak ibu lo yang bodoh itu. Kalian memang pantas mati!”
Kayu di tangannya kembali diayunkan. Namun kali ini tertahan. Seorang lelaki asing berdiri di sana, mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat.
“Siapa lo?! Berani-beraninya masuk rumah gue! Lepasin tangan gue!”
Tatapan lelaki asing itu tajam dan datar. Perlahan, ia memutar lengannya ke belakang hingga terdengar bunyi sendi yang terpelintir. Kayu jatuh ke lantai.
“Arghh! Tangan gue!” teriak si ayah.
Dengan panik, ia meraih pisau cutter di meja. “Jangan deket-deket! Atau lo gue bunuh!”
Srett! Pisau itu berhasil menggores wajah lelaki asing tersebut. Tapi luka itu… langsung hilang, seolah tak pernah ada.
“A-apa… siapa kamu?!” wajah sang ayah pucat pasi.
Lelaki asing itu mengangkat tangannya, menunjuk pisau di genggaman lawannya. Aneh, tangan sang ayah bergerak sendiri, menempelkan pisau ke lehernya sendiri.
“NGGAK! Tolong! Gue nggak mau mati!” teriaknya putus asa.
Suara tawa dingin pecah. “Kau sudah membunuh istri dan calon anakmu. Meracuni mertuamu. Dan sekarang kau mencoba membunuh anakmu sendiri. Kau masih punya nyali minta hidup?”
Srekk!
Pisau meluncur. Darah memercik, membasahi lantai. Lelaki asing itu hanya tersenyum.
---
Kembali ke Shavira.
Ia duduk di bangku taman, menikmati es krim. “Enak juga ya kalau nggak kerja,” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Tiba-tiba, seekor kucing hitam muncul, menggesek-gesek kakinya.
“Eh, kamu ngapain di sini?” Shavira mengangkatnya, lalu meletakkannya di kursi sebelah.
Ia menatap lama. “Eh… bukannya kamu kucing yang di rumah sakit itu ya? Tapi nggak mungkin juga. Jauh banget…”
Iseng, ia menyodorkan es krim ke kucing itu. Tak disangka, kucing itu benar-benar memakannya lahap.
“Buset! Kamu laper apa doyan banget, Cing?” Shavira melongo, melihat es krimnya ludes bahkan sampai stiknya dijilat.
Setelah itu, kucing turun dan berlari.
“Eh, mau ke mana?!” Shavira mengejarnya sampai ke tengah jalan raya.
Wusshhh! Sebuah mobil hitam melaju kencang dari belakang. Orang-orang di trotoar menjerit panik.
Shavira menoleh. Matanya membulat.
“Aaaa!!!”
Ia memejamkan mata, menutup telinga dengan kedua tangan. Namun… benturan itu tidak pernah datang.
Perlahan, ia membuka mata. Mobil hitam itu… berhenti. Hanya sejengkal dari tubuhnya.
Bukan hanya mobil. Orang-orang di sekitarnya juga membeku. Bahkan burung-burung di langit berhenti terbang.
Waktu… berhenti.
Shavira terengah. “A-apa… apa aku udah mati?”
---