Keanu Wiratmadja
Presdir muda yang tak pernah tertarik pada seorang wanita selama hidupnya, tiba-tiba hatinya tergerak dan ingin sekali memilikinya. Karena dia wanita pertama baginya.
Keana Winata
Putri semata wayang yang sangat disayangi ayahnya, tapi bukan berarti dia putri yang manja. Dia berbeda, sehingga dapat membuat seseorang tergerak hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ade eka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
"Cari informasi tentang dia, semuanya", perintah Ken. Dan Han menjawabnya dengan anggukan pasti.
***
Ana sudah memasuki area rumahnya. Saat akan masuk , pintu rumah terbuka dari dalam. Tuan Bram keluar dari sana. Mereka berpapasan, senyum terbit di bibir masing-masing namun tatapan sengit menyerang satu sama lain.
"Selamat malam, paman!", sapa Ana santai tapi matanya tetap tajam.
"Selamat malam keponakan ku!", balas Tuan Bram.
"Wah, ada apa dengan dandanan mu ini. Apakah kau kurang puas dengan wajah aslimu?!", ledeknya.
"Heh! Aku hanya tidak suka pamer kecantikan ku paman. Aku takut nanti ada yang iri", ucap Ana dengan penekanan pada akhir kalimatnya.
Tuan Bram tahu kata-kata itu ditujukan pada Krystal yang mana adalah putrinya. Wajahnya kini muram, tatapannya menggelap.
"Heh! Kita lihat saja Ana, sampai kapan kau akan bersikap sombong seperti sekarang ini?!",ucap Tuan Bram kesal.
"Siapa yang tahu paman!", ucap Ana datar sambil mengangkat bahu.
"Baiklah, aku sangat lelah hari ini. Aku permisi masuk dulu ya paman. Aku ingin mandi agar otak dan hati ku menjadi dingin kembali", ucap Ana. Kata-katanya kini dia tujukan pada pamannya itu.
"Sudah lelah seharian bekerja, kemudian di ganggu oleh orang gila. Sekarang malah ada paman yang selalu iri hati. Heh, panas, panas, panas", gerutu Ana dalam hati.
Tanpa menunggu jawaban dari pamannya, Ana berjalan masuk. Meninggalkan Tuan Bram yang berdecak kesal. Ana sukses merusak mood pamannya yang tadi nampak baik-baik saja.
Ana mendapati ayahnya sedang mematung di ruang tamu. Dia yakin ayahnya pasti sedang memikirkan sesuatu yang serius. Dia sangat tahu, saat ayahnya memiliki beban yang cukup berat maka ayahnya akan sering diam.
"Pasti ada yang tidak beres! Awas saja kalau paman melakukan sesuatu pada ayahku", ucap Ana dalam hati.
Ana menghampiri ayahnya yang tengah duduk di sofa. Dia mendudukkan diri di samping ayahnya. Ana menatap ayahnya iba.
Sadar kalau ada hawa manusia di sampingnya, refleks Tuan Danu menoleh. "Ah Ana, sejak kapan kamu pulang nak", tanya nya mengurai lamunan nya.
" Baru saja ayah", jawab Ana dengan senyum manisnya.
"Emmh, ayah! Apakah ayah baik-baik saja?", tanya Ana sedikit ragu.
Tuan Danu sadar telah menunjukkan sikapnya pada Ana. Dia pun menetralisir perasaannya yang saat ini sedang berantakan.
"Ayah baik-baik saja nak", jawabnya membalas senyum putrinya.
"Benarkah?! Lalu untuk apa paman datang malam-malam begini?!", tanya Ana penasaran.
"Emmh, tidak ada yang penting hanya membahas masalah perusahaan saja", jawab Tuan Danu berusaha mengontrol perasaannya karena dia merasa tidak berbohong.
"Oohh baiklah kalau begitu, aku lelah sekali ayah. Aku ingin mandi dan beristirahat. Ayah jangan terlalu banyak pikiran ya", ucap Ana sambil mengusap lembut bahu ayahnya seperti mentransfer ketenangan untuk ayahnya.
Sebenarnya rasa penasaran sudah membuncah di benaknya. Namun dia tak mau menekan ayahnya untuk berbicara. Mungkin ini bukan saat yang tepat untuknya mengetahui apa yang terjadi. Tuan Danu pun tidak ingin membebani Ana dengan masalahnya. Dia lebih memilih diam dan berpura-pura semua baik-baik saja.
Ana mengecup puncak kepala ayahnya dengan sayang kemudian beranjak menaiki tangga. Baru beberapa anak tangga, Ana menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah ayahnya yang kini masih diam dengan pandangan yang kosong. Ana menatap iba pada ayahnya, kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar.
Saat dirasa Ana sudah menaiki tangga, Tuan Danu mengingat kembali saat tadi Tuan Bram datang menemuinya.
FLASHBACK ON
Tuan Danu tengah sibuk dengan pekerjaannya di ruang baca. Dia terlihat sedang memeriksa beberapa berkas di sana. Hingga Bibi Rani datang menyebutkan bahwa ada Tuan Bram datang.
"Baiklah, katakan padanya untuk menungguku sebentar", perintah Tuan Danu. Pikirannya langsung menerawang tentang tujuan adiknya itu datang ke rumahnya.
Mereka pun bertemu di ruang tamu. Tuan Bram nampak sudah duduk santai di sofa panjang dengan menyilangkan kakinya dan merentangkan kedua tangannya ke bahu sofa. Ekspresinya tenang namun tatapannya tajam mengarah pada kakaknya. Tuan Danu tak menghiraukan pandangan adiknya itu. Dia lebih memilih untuk duduk tenang di sofa tunggal. Sudah ada dua cangkir teh di meja.
"Selamat malam kakak", Tuan Bram terlihat menyeringai.
"Apa tujuanmu datang ke sini? Bukankah kau sangat sibuk sekarang?!", ucap Tuan Danu tanpa basa-basi.
Tuan Bram tertawa mendengar kakaknya bicara langsung ke intinya.
"Kau sudah menerima pesan dariku bukan?! Serahkan perusahaan itu padaku!", ucap Tuan Bram yang tawanya berhenti seketika.
"Jangan menjadi serakah kakak! Sekarang perusahaan itu sudah menjadi milikku", tambahnya dengan tatapan tajam.
"Aku?! Serakah?! Haha kau itu lucu sekali Bram. Dari dulu aku tak pernah tertarik pada perusahaan itu. Aku sudah hidup tenang dengan duniaku. Bukankah malahan kau yang sejak dulu memohon pada ayah agar bisa menjalankan perusahaan!", ucap Tuan Danu santai.
"Andaikan saja dulu kau becus mengurus perusahaan, aku tak perlu repot-repot meninggalkan duniaku dan mengurusi masalah perusahaan yang berbelit. Kau tahu ayah bilang apa?!", tambahnya lagi dan kini Tuan Bram sedikit penasaran dengan akhir ucapan kakaknya itu.
"Kau tahu, ayah bilang kau itu tidak layak", spontan ucapan Tuan Danu menyulut emosi adiknya.
"Kau! Beraninya kau!", emosi Tuan Bram sudah naik.
"Bukankah ayah memang hanya memandang dirimu saja, kakak. Hanya dirimu saja yang ada di matanya", tambahnya dengan nada menyindir.
"Hah sudahlah! Ini hanya omongan tak berguna. Karena si tua bangka itu sudah tiada. Jadi serahkan saja perusahaan itu padaku", tambahnya lagi.
Tuan Danu menghembuskan nafasnya kasar. "Baiklah, ambil lah yang kau mau. Aku juga tak tertarik", ucapnya lemah.
"Tapi, tinggalkan Dragon Night dan juga Ana. Jangan kau ganggu putriku. Sedangkan Dragon Night adalah usaha yang kurintis sendiri tanpa bantuan ayah sedikit pun. Jadi kau tak berhak", kini matanya berkobar mengucapkan syarat yang dia ajukan pada adiknya. Dia benar-benar ingin melindungi harta berharga terakhir baginya yaitu Ana. Dengan Dragon Night, dia bisa berlindung di sana dari trik licik adiknya kelak.
"Oke, baiklah. Itulah sangat mudah", Tuan Bram menyetujui begitu saja.
"Saat ini biarlah aku menyetujuinya. Tapi selama kalian masih hidup, kalian tetaplah ancaman bagiku", ucap Tuan Bram dalam hati.
FLASHBACK OFF
Tuan Danu menyenderkan punggungnya ke sofa. Mencoba melepas penatnya dengan memejamkan mata. Dia menghembuskan nafasnya kasar.
"Sayangku, bantu aku menjaga Ana. Aku merasa bencana sudah ada di depan mata. Apa yang harus aku lakukan. Ingin rasanya aku menyusulmu, tapi Ana pasti akan kesepian di sini. Nanti saat Ana sudah mendapatkan seseorang yang tepat untuk menjaganya, kuharap aku bisa menemanimu di sana. Maaf jika aku begitu egois, sayangku. Tapi tahukah kau, setiap hariku sepi dan dingin tanpamu", ucap Tuan Danu dalam hatinya. Dia mencoba berbicara pada istrinya yang sudah tiada.
Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hidungnya sudah memerah. Dia berharap ini adalah keputusan yang tepat. Dia tak ingin berperang dengan adiknya yang licik itu, dia tak ingin melihat Ana terluka. Dia tahu, dalam pertarungan dengan adiknya kali ini, nyawa adalah taruhannya.
Karena hanya tinggal Ana yang dia punya. Maka biarlah dia saja yang berpikir bagaimana caranya agar semua baik-baik saja.
Tuan Danu mengakhiri keluhnya dan beranjak menuju ruang bacanya sambil menyeka bulir-bulir yang belum mengalir.