Hutang pinjol 120 juta menjerat Juwita, padahal ia tak pernah meminjam. Demi selamat dari debt collector, ia nekat jadi pengasuh bayi. Tapi ternyata “bayi” itu hanyalah boneka, dan majikannya pria tampan penuh misteri.
Sebuah kisah absurd yang mengguncang antara tawa, tangis, dan cinta inilah perjalanan seorang gadis yang terpaksa berperan sebagai janda sebelum sempat menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jackpot Kerja Jaga Bayi Boneka
“Pantas pengasuh lain kabur,” gumam Juwita dalam hati sambil menepuk-nepuk punggung Princess yang mungil. “Mereka memang menganggap Tuan ini gila. Aku yakin juga sih tapi kasihan juga ya, sudah ditinggal istri, ditinggal anak, gimana nggak gila. Aku aja ditinggal bapak, hampir setengah gila, apalagi ditinggalin hutang 120 juta pula.”
Tangan Juwita gemetar saat menggoyang-goyangkan Princess agar tetap nyaman. Tangannya masih kaku karena selama ini cuma cuci piring dan nyuci pakaian orang, bukan menggendong bayi super realistis yang Tuan Zergan anggap nyata.
Zergan duduk di sofa, diam memerhatikan. Matanya tajam, tapi sorotannya lembut. Ia memperhatikan Juwita dengan serius, melihat setiap gerak tangannya, memastikan ia memperlakukan Princess dengan hati-hati. Sejujurnya, Zergan jarang tersenyum. Tapi kali ini, ada sedikit lengkungan tipis di bibirnya. Mungkin karena Juwita terlihat telaten atau mungkin karena ia benar-benar yakin gadis lusuh ini bisa menjaga anaknya dengan baik.
Sementara itu, Marlina dan Herman Tanubrata saling pandang. “Bagus sekali,” gumam Marlina pelan, hampir tak terdengar. “Lain dengan pengasuh sebelumnya gadis ini serius.” Herman mengangguk. “Dia telaten, itu yang penting. Zergan pasti cocok.”
Princess tampak “tertidur” kembali mata boneka yang bisa menutup dan membuka seakan bernyawa. Juwita menahan napas lega. Ia menurunkan boneka itu ke ranjangnya, menepuk-nepuk perlahan.
“Selamat tidur, ya, Princess sayang semoga mimpi yang indah,” ucap Juwita sambil tersenyum paksa, menahan tawa kecil karena ia tahu ini hanya boneka.
Zergan menatap ranjang itu, matanya serius. “Dia anakku. Jangan pernah anggap main-main.”
Juwita tersenyum kaku, menunduk, mencoba menahan diri. “Iya, Tuan eh maksudku Tuan Zergan. Anak Bapak maksudku, Princess.”
Marlina menepuk pundaknya lembut. “Bagus, Wit. Perlakukan dia seperti bayi sungguhan.”
Zergan berdiri, menatap Juwita. “Ayo kita keluar sebentar. Aku ingin membahas pekerjaanmu.”
Juwita patuh, mengikuti langkahnya. Orang tua Zergan ikut keluar, meninggalkannya hanya sedikit grogi tapi tetap menjaga sopan santun.
“Bisa perkenalkan nama dulu? Aku belum tahu asal-usulmu,” kata Zergan serius.
Juwita mengangguk. “Oh iya nama saya eh Juwita Larasati.” Ia menarik napas dalam, merasa seolah sedang audisi drama hidupnya sendiri.
Zergan mengangguk, menatapnya dalam-dalam. “Peraturannya simple. Kamu rawat anakku, aku bayar gaji kamu. Kamu tinggal di rumah ini, bisa tidur di kamar Princess. Kerja full waktu. Gaji 10 juta cukup?”
Juwita berpikir cepat. 24 jam makan, minum, belanja tapi Tuan ini bilang nanti disediakan semua? Wah, jackpot! “Oh iya, Tuan. Saya tidak keberatan. Tapi kalau saya mau makan, bolehkah saya keluar sebentar untuk belanja kebutuhan sehari-hari?”
Zergan menatapnya sambil mengangguk pelan. “Makan, minum, pakaianmu semua aku tanggung. Bahkan pakaianmu yang lusuh ini.” Ia menatap kemeja lusuh Juwita, celana belel, dan sandal jepit yang nyaris putus.
Juwita melongo. “Waduh aku lari dari dept collector, tapi sekarang malah dapat jackpot. Pakaian, makan, tidur kayak istri saja.”
“Bagaimana? Ada keberatan?” tanya Zergan, memastikan.
“Oh jelas tidak keberatan, Tuan!” jawab Juwita cepat. Siapa juga yang menolak tawaran ini? 10 juta sebulan, bebas dari dept collector, makan dan pakaian ditanggung jackpot banget.
Zergan tersenyum tipis. “Langsung kerja mulai hari ini. Besok aku pergi ke kantor, jadi hari ini aku yang akan menemani kamu berbelanja keperluanmu. Tapi tunggu Princess bangun dulu. Kita pergi bersama.”
Juwita hampir terbatuk saking kaget. Belanja keperluan? Tapi di sisi lain, hatinya melonjak. Ini aku sudah kayak istri bukan pengasuh lagi. Jackpot dua kali!
Ia menatap Zergan dengan kagum tapi masih grogi. “Oke, Tuan eh Tuan Zergan. Baik, saya akan ikuti arahan Bapak.”
Zergan tersenyum tipis, puas. “Bagus. Princess bangun, kita mulai latihan. Kamu harus siap, Wit. Dia harus merasa aman. Jangan sampai bayiku eh maksudku, Princess, merasa kurang perhatian.”
Juwita menelan ludah. “Iya, Tuan saya akan lakukan yang terbaik.”
Marlina dan Herman saling pandang lagi, tersenyum. “Lain dengan pengasuh sebelumnya. Gadis ini serius dan lucu juga,” kata Marlina.
Juwita, di balik senyumnya yang kaku, mulai membayangkan hidupnya di rumah megah itu: bangun pagi, menggendong Princess, belanja keperluan, makan, tidur semua ditanggung. Ia sadar ini pekerjaan absurd tapi jackpot, plus lucu banget kalau Desi tahu.
“Ya ampun aku benar-benar masuk ke dunia sinetron. Bayi nyata (versi Tuan Zergan), aku jadi pengasuhnya, makan dan pakaian ditanggung hidup absurd tapi menyenangkan,” gumamnya dalam hati sambil menatap Princess yang “nyenyak tidur”.
Juwita mengikuti Santi menyusuri halaman rumah yang luas. Tanah taman rapi berumput hijau, ada kolam ikan kecil di pojok, dan beberapa pohon besar menaungi gazebo cantik di samping rumah. Juwita melangkah pelan, sepatu sandal jepitnya nyaris tersangkut batu hias, tapi ia menahan tawa.
“Wah gila ya, rumahnya luas banget. Bisa buat main lari-larian sama Princess eh, maksudnya boneka Princess,” gumam Juwita dalam hati.
Santi menoleh sambil tertawa. “Iya, Wit. Aku dulu juga kaget pertama kali masuk. Tapi kerja di sini seru. Fasilitas hidup kita dijamin aman, makanan, pakaian, bahkan tempat tidur. Aku di sini gaji cuma 7 juta, tapi tetap nyaman.”
Juwita mengangguk, sambil menatap berbagai ruangan yang terbuka di sekelilingnya. “Kasian juga ya nasib Tuan Zergan. Aku cuma ditinggal bapak aja udah hampir gila, eh ini dia ditinggal istri dan anak.” Ia menarik napas panjang. “Nasib seseorang kadang memang gak bisa ditebak.”
Santi menepuk punggung Juwita. “Betul, Wit. Dulu Tuan Zergan humoris, kocak banget. Tapi sejak kecelakaan itu ya dia berubah total. Bahkan sudah beberapa kali ke psikolog tetap saja belum pulih. Orang tua Zergan, Nyonya Marlina dan Tuan Herman, sayang banget sama dia. Makanya mereka beli boneka khusus mirip Princess, biar Tuan Zergan tetap merasa dekat dengan anaknya.”
Juwita mengangguk pelan. “Wah kerja di sini berarti nggak cuma ngurus boneka, tapi juga harus sabar sama Tuan Zergan ya.”
“Ya, tapi percayalah, kalau kamu bisa adaptasi, semuanya bakal gampang. Lagipula, Wit, kamu kelihatan telaten sama Princess,” kata Santi sambil tersenyum.
Juwita tersenyum kaku. “Iya, tapi jangan sampai nanti ketahuan aku panik kalo Princess bangun. Bayi ini eh, boneka ini realistis banget. Kalau salah gerak, bisa ketipu sama Tuan Zergan.”
Belum sempat Santi melanjutkan cerita tentang istrinya, tiba-tiba terdengar suara dari pembantu lain.
“Wita, Tuan Zergan memanggilmu!”
Juwita menoleh kaget. “Ya ampun baru pertama kali dipanggil langsung. Eh… tapi Princess lagi tidur, untunglah.”
Santi tersenyum, sedikit menahan tawa. “Iya, Wit. Nanti kamu bakal terbiasa. Yuk, kita pergi ke kantor Tuan Zergan. Jangan lupa, mulai sekarang kamu harus fokus penuh. Princess dan Tuan Zergan itu hmm agak spesial.”
Juwita menghela napas, menatap Princess yang masih tidur nyenyak di ranjang pinknya. “Oke aku harus serius. Kalau nggak, nanti Tuan Zergan bisa panik lagi dan aku bakal kena marah.”
Mereka melangkah ke kantor Zergan. Ruangan itu rapi, dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Zergan duduk di kursi besar, menatap Juwita dengan tatapan tenang tapi tajam. Princess tetap terbaring di ranjang bonekanya, diam dan terlihat seperti bayi sungguhan.
“Selamat datang, Juwita Larasati,” ucap Zergan, suaranya berat tapi pelan. “Ingat, Princess adalah segalanya bagiku. Jangan mengecewakanku.”
Juwita menunduk sopan. “Iya, Tuan saya janji.”
Zergan mengamati gerak-geriknya, lalu berkata, “Mulai hari ini, kamu tinggal di sini. Semua kebutuhanmu makan, pakaian, peralatan akan saya sediakan. Fokusmu hanya satu yaitu Princess.”
Juwita nyengir. Astaga, ini udah kayak istri sih cuma bedanya aku belum nikah. “Baik, Tuan saya akan lakukan yang terbaik.”
Santi tersenyum nakal dari belakang. “Lihat? Mudah kok, Wit. Kalau kamu bisa adaptasi, semua bakal lancar. Lagipula, ini rumah nyaman banget. Bisa dibilang jackpot.”
Juwita mengangguk, menatap Princess lagi. “Ya jackpot tapi penuh tanggung jawab. Semoga aku nggak panik pas Princess bangun nanti.”
Bersambung