NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:578
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 16

Deras hujan yang membasahi tanah menjadi saksi. Devan membekap mulutnya tidak percaya, dia berlari sekencang mungkin menghampiri sosok yang tidak berdaya. Berteriak kencang, memohon kepada semua orang yang mengelilingi untuk memanggil bantuan. Sampai detik ini di sebuah rumah sakit, Devan masih termenung.

Sepasang suami istri nampak tergesa menuju ruangan yang Devan duduk di depannya. Sepasang suami istri yang super sibuk itu, akhirnya kembali ke Kotanya dahulu. Sang istri tidak kuasa menahan air matanya. Sampai si suami berdiri tegap kala melihat dokter keluar dari ruangan.

"Orang tuanya Raka?" Tanya dokter tersebut, atau namanya adalah dokter Trisan.

Si pria dewasa mengangguk. "Ya, kami orang tuanya."

"Begini Pak, Bu. Ada hal yang harus saya jelaskan." Dokter Tristan melanjutkan. "Pasien memang sudah melewati masa kritisnya tadi, namun sayang benturan di kepala pasien terlalu keras sehingga pasien mungkin masih sangat lemah untuk mendapatkan kesadarannya." Tristan tidak kuasa untuk menjelaskan hal selanjutnya, namun sebagai dokter dia harus menjelaskan. "Hanya saja saya pribadi nggak tahu kapan pasien bisa sadar."

Istrinya langsung menghadap, memeluk sang suami. "Gak mungkin, Raka.... "

Arjuna yang berjalan dengan tertatih menangkap sosok kedua orang tuanya. Dia berlutut, menangis di hadapan mereka. "Ma, Pa, Maafin Arjuna Ma, Pa. Arjuna gagal, Arjuna gagal ngejaga Raka."

"Berdiri Nak, jangan kayak gini. Semua pasti udah jalan dari Tuhan. Kamu gak salah Arjun." Sang Papa menghibur sang anak sulung.

Devan yang diam, berbicara pelan. "Keadaan Raka gapapa kan? Dia baik-baik aja kan?"

Arjuna mengepalkan tangannya erat. Dia menarik kerah baju Devan. "Lo! Masih beraninya lo nanya kayak gitu?! Gara-gara lo adek gua sekarat sekarang! Gara-gara kelemahan dan keegoisan lo adek gua yang harus jadi korban!"

"Arjuna, lepasin. Semua ini udah memang takdir, Devan gak salah sayang." Mama Arjuna melepaskan dan menenangkan putranya itu.

Arjuna melepaskan cengkeramannya. "Kalau lo gaada dari dulu, semua kehidupan adek gua akan baik-baik aja dan dia gak harus selalu ngelindungin Kakak lo!"

'DEG'

"Arjuna!" Sang Papa mengingatkan. Dia kemudian melirik ke arah Devan, dipegangnya pundak yang bergetar tersebut dengan lembut. "Nak Devan, bisa tolong kamu untuk pulang dulu? Sekarang, kita mungkin lagi butuh waktu sendiri."

Devan mengangguk. "Iya Om."

Beberapa menit, akhirnya Devan sudah tiba di rumah. Saat membuka pintu dia melihat kakak kembarnya sudah duduk di atas sofa. Wajah Revan tidak mempunyai ekspresi yang tak berarti.

Datar hanya itu yang dapat Devan lihat dari wajah sang kakak.

"Baru pulang?" Tanya Revan datar.

Devan mengangguk. "Tadi gue, Raka...... "

"Kecelakaan. Ya, gue tahu." Jawabnya datar.

Devan tidak bisa menahan air matanya. "Gara-gara gue Raka kecelakaan, harusnya gue yang ketabrak. Tapi dia dorong gue, dia gak sempet lari. Harusnya... Harusnya..... "

Revan tidak menjawab apa-apa. Dia bingung untuk membalas dalam keadaannya yang sekarang.

"Rev?" Devan heran dengan kediaman Revan.

Revan menghela nafasnya. "Sekarang, lo ganti baju. Makan, minum obat lo terus istirahat. Gue lagi capek, gak mau bahas apa-apa."

"Revano." Panggil Devan pelan.

Namun panggilan itu tidak dianggap oleh Revan.

Revan memasuki kamarnya sendiri. Dia tidak mengerti kenapa air matanya menetes turun. Dia duduk di atas tempat tidur dan memukul pahanya sendiri.

"Kalau lo punya beban, lo bisa ceritain ke gue Rev."

"Mulai saat ini gue mohon, lo jangan nyimpen semuanya sendiri."

"Anjir, kenapa harus gua yang jadi ketos?"

"Inget, lo gak sendiri Rev. Ada gua Raka yang disukai cewek-cewek."

Jika saja pertengkaran hari ini tidak terjadi, mungkin hal ini bisa dihindari. Selama ini Raka selalu ada untuknya, membantu dan menyemangatinya. Namun apa yang selama ini Revan telah lakukan untuk sahabat kecilnya itu?

Dia terlalu egois. Dia terlalu mementingkan dirinya sendiri. Padahal Raka sudah sejak awal menyuruhnya untuk jujur.

.

.

.

.

.

Keesokan paginya Revan dan Devan memakan sarapan seperti biasa. Namun suasana tensi di pagi hari itu sedang tidak biasa. Bagaikan badai yang tiba-tiba datang di tengah ketenangan.

Revan memicing menatap Devan yang hanya memainkan makanannya.

"Kenapa gak makan?" Tanya Revan tegas.

Devan menggelengkan kepalanya. "Gue masih kepikiran Raka."

Revan mendecak. "Ya makan."

"Gue gak tenang, kalau... " Kalimat Devan terpotong oleh Revan.

"Bisa gak sih lo sehari gak jadi beban buat pikiran gua?!" Entah sadar atau tidak Revan mengatakan demikian, bahkan dengan nada yang tinggi.

Devan syok mendengarnya. Sang adik memilih untuk tidak melawan kali ini. "Maaf Rev. Kalau lo emang lagi gak mood gue juga bakal sendiri berangkat ke kampus."

Laki-laki yang mirip dengannya namun berparas dingin itu tidak menjawab apapun.

Devan memilih untuk berangkat terlebih dahulu ketika tidak mendengar jawaban apapun dari kakaknya. Di dalam perjalanannya menuju kampus, Devan hanya bisa mengepalkan tangannya erat. Dia menahan emosi di dalam hatinya yang telah tercampur aduk.

Bahkan saat jam mata kuliah pertama dimulai, Devan tidak bisa fokus. Pikirannya masih memikirkan Revan dan bagaimana keadaan Raka saat ini. Hingga saat jam istirahat, Devan seolah kehilangan jati diri.

Ardli yang baru saja selesai dengan kelasnya menghampiri Devan yang tengah duduk sendiri di kantin kampus. Mata itu bagai tidak hidup, ini adalah sekian lama Ardli melihat mata Devan yang seperti ini.

"Minum dulu, kesambet ntar. Mending kesambet nya jodoh kalau petir malah brabe jadinya." Ardli bergurau dan duduk di samping Devan.

Devan hanya menatap Ardli sesaat. "Bisa aja lo Dli."

"Dih balesan lo dingin banget, jangan jadi Revan jilid 2 ye gak sanggup saya." Sedikit ngeri juga jika itu terjadi.

Devan menghembuskan nafasnya. "Dli, seumur hidup gue baru kali ini gue merasa bersalah dan gak bisa maafin diri gue sendiri."

Ardli sedikit bingung. "Maksud lo Dev?"

"Raka... Kecelakaan kemarin, dokter bilang dia gak akan sadar untuk sementara waktu. Dli, lo tahu penyebab kecelakaan itu gue Dli. Kalau aja gue gak berantem sama Revan kemarin, kalau aja gue gak kekanakan semuanya pasti gak bakal kayak gini." Devan tersenyum getir.

Ardli seolah disambar petir di siang bolong mendengarnya. Dia memang mendengar itu dari teman sekelasnya, namun Ardli tidak ingin mempercayai itu. Hingga akhirnya sang sahabat yang mengungkapkannya sendiri. "Kecelakaan ya, kayaknya emang takdir Raka lagi buruk."

"Loh Dli kok lo malah ngomong gitu? Raka begitu karena gue! Gak seharusnya dia kecelakaan." Devan mengungkapkan perasaannya.

Ardli memejamkan matanya sebentar. "Terus gue harus ngapain? Nyalahin lo sama kayak yang lo lakuin? Kalau aja lo gak kekanakan Raka gakan ketabrak? Maki-maki lo? Gituh? Percuma Dev, beribu kali pun gue maki-maki lo keadaan gak bakal balik." Ardli kemudian melanjutkan. "Bukannya gue gak sedih, tapi gue rasa Tuhan punya skenarionya sendiri buat Raka. Beberapa orang pernah bilang takdir itu bisa diubah asalkan ada usahanya, tapi gimana kalau misalnya hal yang kita ubah itu malah bakal ngerubah dampaknya? Devano, gue yakin Raka waktu itu udah bulat buat nyelamatin lo dan dia udah tahu resikonya bakal kayak apa. So daripada lo berlarut dalam hal ini, lo gunain kesempatan yang udah Raka kasi buat lo."

"Dli, apa lo yakin sama semua kalimat lo ini?" Tanya Devan tidak percaya.

Ardli mengedikkan bahunya. "Karena gue yakin Dev, suatu saat bakal ada pelangi sehabis ujan."

Mendengar kalimat Ardli yang mendukungnya, Devan tidak bisa menahan air matanya jatuh. Devan menangis banyak yang membuat Ardli syok setengah mati. Devan adalah orang yang tidak akan menangis bahkan jika terluka parah. Ardli bisa melihat betapa banyak nya beban di dalam punggung yang kini bergetar itu.

Revan ternyata mendengarkan sejak tadi. Dia bisa melihat bagaimana pundak yang selalu berpura tegap itu bergetar. Dia mengutuk dirinya sendiri dengan apa yang telah dia lakukan pagi tadi. Revan bersyukur, Devan masih mempunyai sahabat seperti Ardli.

Lama-kelamaan punggung yang bergetar itu berhenti. Tapi Ardli mengerutkan keningnya saat menyadari ada sesuatu yang aneh dengan Devan.

"Dev, kok lo sunyi?" Tanya Ardli sekenanya.

Mata Ardli membelalak saat melihat hidung Devan yang mengeluarkan darah dan kini sahabatnya itu tidak sadarkan diri.

"Devano!!" Panggil Ardli panik.

Revan yang masih ada di dekat mereka, refleks menghampiri dan segera memeriksa keadaan sang adik. Devan begitu dingin.

"Dev! Ini gue Revano Dev!" Revan berusaha membangunkannya.

Ardli segera mengingatkan. "Rev, kita panggil ambulance!"

"Dli, gue takut." Ucap Revan dengan getar.

Ardli tidak bisa menjawab apapun.  Dia tidak bisa berjanji kepada Revan bahwa semua akan baik-baik saja, yang saat ini bisa diharapkan adalah bahwa tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.

Saat ini Revan ditemani Ardli sedang berada di dalam ambulance. Revan bisa melihat bagaimana tubuh yang mirip dengannya dipenuhi oleh alat-alat yang belum cukup dia mengerti.

Setibanya di rumah sakit, Devan segera dibawa ke ruang penanganan khusus. Revan hanya bisa memandang kosong pada sosok yang sudah dibawa masuk ke dalam ruangan tersebut. Ardli sendiri dia hanya bisa menepuk pundak Revan perlahan, berharap rasa paniknya menghilang dan berdoa dalam hati semoga Tuhan masih berbaik hati untuk mereka.

Beberapa jam, pintu ruangan pun terbuka. Sosok dokter Ryan keluar ditemani oleh para asisten yang menemaninya. Dia melihat sosok Arjun di belakang dokter Ryan.

"Devan sudah melewati masa kritisnya Rev, cuma berdasarkan apa yang sudah saya lihat penyakit Devan udah menyebar ke organ lainnya." Jelas dokter Ryan dengan sedikit rasa bersalah.

Revan mengangguk paham. "Ya saya ngerti dok."

"Untuk mengatasi kemungkinan buruk yang bakak terjadi, Devan harus nambah waktu kemoterapinya 2 minggu sekali." Dokter Ryan memberikan penjelasan.

"Iya, apapun itu bakal saya lakuin asal bisa bikin Devan bertahan." Angguk Revano.

Dokter Ryan membalas. "Kalau gitu saya pamit dulu. Kalau mau berkunjung, saya saranin satu-satu. Sekarang ini kondisi Devan lagi lemah baik itu fisiknya maupun mentalnya."

"Baik dok, makasih banyak." Jawab Revan tulus.

Ardli menepuk bahu Revan, menguatkan anak itu untuk tegar. "Gue yakin Devan bakal baik-baik aja."

"Ya, makasih Dli." Kemudian Revan melanjutkan memanggil seseorang. "Bang Arjun!"

Arjuna yang memang ikut dalam menangani Devan berhenti melangkah. "Kenapa? Gue masih sibuk."

Revan mendekati Arjuna, dia menatap lurus mata Arjuna yang sedang sangat sedih itu. "Makasih banyak, Bang Arjun masih tetep mau ikut ngebantu untuk pengobatannya Devano."

"Itu udah tugas gua sebagai dokter, tapi tolong jangan pernah sebut nama itu di depan gua." Balas Arjuna dingin.

Revan mengepalkan tangannya erat. "Kalaupun emang Bang Arjun belum bisa maafin kejadian kecelekaan itu, aku mohon tolong jangan limpahin semua nya ke Devano. Karena disini gue yang salah, gue yang terlalu egois! Gue bahkan gak pernah mau tau apa yang Raka rasain, gak pernah mau tau gimana rasanya Devano saat secara gak langsung gue paksa untuk bertahan! Gue tau tanpa kecelakaan itu terjadi yang seharusnya Bang Arjun bilang bahwa Devan aja yang kena tanpa itu pun Devano pasti mati! Tapi gue berusaha biar gimanapun Devano bertahan. Apa salah kalau Devano berusaha untuk bertahan hidup?! Apa Raka salah karena nyelamatin nyawa seseorang?!"

'BUK'

Arjuna tanpa sadar melayangkan pukulannya kepada wajah Revano. Dengan kasar Arjuna menarik kerah pakaian Revan. "Lo adalah orang yang gak pantes ngucapin semua hal itu."

"Rev, Bang Arjun udah woy, kita di rumah sakit!" Ardli melerai perdebatan mereka.

"Arjuna! Saya kira ada apa kamu gak ikut balik, jika ini yang lagi kamu lakuin kamu gakan pantes nyandang nama sebagai seorang dokter! Revano! Ini rumah sakit, jangan cari keributan. Semua orang punya masalahnya masing-masing!" Untung saja dokter Ryan kembali dan berhasil melerai mereka.

Ardli bisa melihat bagaimana pundak Revan yang sedikit bergetar. "Percaya sama gue Rev, dunia ini gak sekejam itu. Lo harus bertahan. Lo gak egois, lo hanyalah orang yang pantang menyerah. Baik Raka maupun Devan mereka gakan pernah nyesel apa yang udah mereka pilih."

Revan merosot menangis. "Sialan, gue malah nangis di depan lo. Imej serem gua ancur udah di depan lo."

"Lo emang setan ye dasarnya, masih aja mau nakut-nakutin gua." Ardli tidak habis pikir.

Revan tertawa jahat. "Habisnya jailin lo nyenengin perasaan gua haha."

"Taek lo!" Ucap Ardli tidak terima.

Karena mengingat hari ini sudah terlalu malam, Ardli pamit undur diri. Menyisakan Revan yang kini sedang duduk di samping sang adik dan menungguinya. Saat tertidur, Revan merasakan pergerakan tangan Devan.

Hatinya sangat lega saat melihat Devan yang sudah sadarkan diri. Namun mata sang adik menjatuhkan air mata. Revan bingung.

"Dev, lo kenapa? Ada yang sakit?" Revan malah ikut menangis.

Devan tersenyum tipis di balik masker oksigennya. "Cengeng."

"Hah? Ya lo tiba-tiba ngeluarin air mata, gue takut ada apa-apa." Balas Revan tidak terima.

"Makasih Rev, akhirnya lo kembali." Ucap Devan tulus.

Revan menundukkan kepalanya. Dia sangat tahu kesalahannya dimana. "Maaf.. "

Devan menggelengkan kepalanya. "Jangan minta maaf atau nggak gua ngambek. Justru sebaliknya, maafin gue Rev maafin karena gua selalu bikin lo nangis saat malem hari, bikin beban lo kerasa lebih besar. Maafin gue yang kekanakan dan gak bisa ngertiin lo. Maafin gue yang bikin lo minta maaf terus ke gue Kak Revan."

"Kekanakan ya? Justru gue yang kekanakan karena terkadang gue gabisa nerima apapun. Sebaliknya, lo dan yang lainnya selalu berusaha membuat ngerti. Makasih karena  lo udah mau jadi guru dalam kehidupan gue, dek." Devan yakin para wanita pasti akan histeris bila melihat senyuman Revan yang begitu lebar ini.

Devan menunduk, lagi dia teringat tentang Raka. Sang adik tidak bisa menghilangkan fakta bahwa dua orang ini merupakan sahabat yang sangat dekat satu sama lain. Bohong jika Revan tidak merasakan apapun, Devan yakin ada sudut hati Revan yang kembali terluka lagi.

"Soal Raka, apa lo udah bisa ngunjungin dia?" Devan bertanya pelan.

Revan menarik selimut sang adik, menutupinya hingga dada karena tadi turun. "Belum, Bang Arjun pasti ngehajar gue lagi kalau gue masuk. Tapi gue tahu Raka bukan orang yang gampang nyerah, dia pasti bakal berjuang."

"Pasti sakit rasanya, kasian banget muka lo yang kayak pangeran rusak deh. Laku lagi gak ya ke cewek-cewek." Devan mencoba tertawa.

Revan mendecih. "Gue yakin pasti laku sih, cowok kayak gue nih cuma ada satu."  Revan menjeda beberapa saat. "Tapi, sebenernya gue gak peduli juga. Mau muka gue babak belur atau dihajar habis-habisan asalkan itu bisa ngelindungin orang-orang yang gue sayangin. Contohnya lo Dev, gue bakal lakuin apapun demi diri lo satu-satunya keluarga yang Tuhan titipin buat gue."

Devan tercengang, memandang kagum wajah yang mirip dengannya itu.

"Gue berani sumpah Rev, suatu saat orang yang bakal jadi istri lo adalah orang yang paling beruntung di dunia ini. Udah bisa masak, pinter, cakep, bisa ngelakuin kerjaan rumah, berwibawa, rajin ibadah."

Revan terkekeh. "Akhirnya gue dibilang cakep sama adek gue, ada angin apakah ini."

"Bodo. Gue mau istirahat lagi aja. Nyesel gue bilang gitu, kepedeannya si Revan jadi meninggi." Devan berpura-pura tertidur.

Revan hanya tertawa mendengarnya.

'Plis Rev, jangan pernah hilangin tawa itu meski gue mungkin bakal pergi.'

.

.

.

.

.

Setiap detik kini sudah berlalu, meski hanya baru lima hari saja rasanya ini terlalu lama bagi seseorang. Dia hanya diam terduduk, entah sesuatu apa yang dilamunkannya.

Hawa dingin pipinya rasakan ketika ada sesuatu seperti kaleng menempel di pipinya. Matanya melirik pada seseorang yang berdiri di depannya.

"Calon dokter itu gak baik kalau ngelamun, ntar gimana pasiennya mau sembuh." Nathan meminum minuman yang sama dengan yang dia berikan.

Arjuna membuka minumannya dan mulai meneguk. "Gue ngantuk, kayaknya malem ini gue kurang tidur lagi."

"Begadang jagain adek lo kan?" Nathan sudah tahu sumber masalahnya.

Arjuna mendesah. "Iya, orang tua gue harus balik lagi ke perusahaan. Jadinya gue emang harus jagain Raka."

Nathan mendudukkan diri. "Bukannya dari dulu juga lo gitu, Raka ada dalem penjagaan lo kalau orang tua lo sibuk."

"Iya, tapi dulu gue gabisa ngelakuinnya dengan baik. Seandainya, seandainya gue punya kesempatan kedua gue akan memperbaiki semuanya dan gakan ngebiarin ini terjadi." Arjuna menggenggam erat kaleng kopi yang tadi dia minum.

Nathan hanya membalas acuh. "Beneran? Terus kalau kesempatan kedua itu ada, apa bisa lo lebih baik dari yang sekarang Ar?"

"Maksud lo tuh ap.... " Kalimat Arjuna terpotong dengan lanjutan kalimat Nathan.

"Seandainya lo dapetin kesempatan kedua, apa bisa kejadian ini gak pernah terjadi? Apa bisa lo jadi seseorang yang bisa ngerubah pikiran adek lo waktu dia ngelakuinnya? Mungkin bisa, tapi takdir kadang adalah lawan yang sulit. Maka dari itu lebih baik hargai waktu yang sekarang, berubah dari sekarang bukan dari dulu juga seenggaknya bukan sesuatu yang buruk. Penyesalan pasti bakal ada setelah semuanya, tapi apa lo bakal hidup dalam penyesalan terus, terombang-ambing di masa lalu tanpa berani menghadapi masa depan? Seharusnya enggak." Jawab Nathan, dia kemudian berdiri, berjalan mendekati jendela kelas."Satu hal Ar, jangan jadiin orang lain tameng dari kesalahan lo sendiri. Lo pasti tahu maksud gue kan Ar? Maaf kalau sebagai sahabat, gue ngucapin kalimat jahat ini. Tapi gue gakan ngebiarin kalau sahabat gue salah."

Arjuna tidak bisa menjawab, hanya saja ada buliran air mata yang menumpuk di dalam pelupuknya.

Karena kelasnya sudah selesai, Arjuna melanjutkan perjalanannya menuju rumah sakit.

Ruangan itu masih sunyi, hanya terdengar suara mesin yang dia mengerti. Tubuhnya dia dudukkan di samping seseorang yang masih terbaring. 

Digenggamnya tangan yang masih lemas itu. "Ka, kapan lo bangun? Gak bosen tidur terus?"

Kesunyian saja yang menyapanya.

"Maafin gue yang gabisa jagain lo disaat Mama dan Papa lagi pergi."

Hembusan angin kecil menerpa wajahnya.

"Maafin gue yang gak pernah tahu tentang keseharian lo."

Mesin itu saja yang berbunyi.

"Gue abang yang gagal kan Ka? Disaat lo butuhin gue, gue selalu punya alesan buat gak ada sama lo."

Mata di wajah seseorang itu hanya tertutup.

"Padahal dulu kita deket banget, tapi malah gue yang bikin jarak diantara kita. Gue yang ngebuat kita satu sama lain jadi kayak orang asing."

Seseorang yang dulu terpaksa jadi ketua OSIS itu masih dengan mimpinya.

"Cerita lagi sama gue Ka, cerita tentang gimana lo jailin sahabat-sahabat lo. Yang sering lo jailin, kalau gak salah Kian kan?"

Raka Aditya Wijaya belum sanggup membuka matanya.

"Revan, bukannya lo selalu khawatir sama orang itu? Orang yang mungkin berharga banget buat lo, disaat gue gabisa ada disamping lo mungkin dia yang nemenin lo. Orang yang lo bilang saingan terberat karena dia lebih mirip sama gue? Lo gak khawatir apa Revan ngalahin lo dan dia malah jadi lebih buruk kalau lo gaada?"

Senyum getir terpatri di wajah Arjuna.

"Sorry, gue waktu itu nonjok dia. Padahal semua adalah kesalahan yang gue bikin sendiri." 

Wajah tersenyum yang sering Raka perlihatkan, dimana Arjuna hanya melihatnya sedikit. Sebaliknya, wajah dengan mata tertutup ini yang lebih sering dilihatnya kini.

"Gue iri sama dia Ka, beban di pundaknya begitu banyak. Apa dia gak pernah mikir buat nyerah? Mungkin gue kayak tadi karena iri sama dia yang bisa sempurna di semua hal itu. Tapi gue juga bisa liat, ada ekspresi tersedih yang baru pertama kali gue liat seumur hidup, entah kenapa gue gasuka ngeliatnya. Gimana, lo pasti khawatir kan sama sahabat lo itu? Jadi cepet bangun Ka, kalau kata candaan lo keburu lebaran monyet. Abang yakin kamu bisa."

Adik kandung sekaligus adik tingkatnya itu lagi-lagi tidak menjawab apapun.

Arjuna bangkit perlahan untuk meninggalkan ruangan tersebut. Dia melihat Revan yang juga berjalan di koridor, sepertinya pemuda yang terkenal dingin itu habis membeli sesuatu.

Hanya senyum canggung yang diberikan Revan pada Arjuna. Namun calon dokter muda itu tidak membalasnya lagi. Revan memakluminya, mungkin ini masih sulit untuk dihadapi Arjuna.

Arjuna bicara pelan. Namun wajahnya tidak berani dia tunjukkan. "Kalau lo mau ngunjingin Raka, boleh kok. Sorry waktu itu gue mukul lo juga."

Revan terperangah, Arjuna yang dikaguminya sudah kembali seperti dahulu. "Ah gapapa kok Bang, gue juga minta maaf kalau kalimat gue waktu itu udah keterlaluan."

"Mungkin ini yang ngebuat orang lain selalu kagum sama lo." Arjuna tersenyum.

Revan memohon izin. "Boleh gue liat Raka?"

"Boleh, kalau sama lo gue yakin dia lebih takut dibandingkan ke gue." Canda Arjuna. "Makasih udah nemenin Raka disaat gue gak pernah ada buat dia."

Revan mulai memasukki pintu ruangan, yang sebelumnya dia menjawab dulu kalimat Arjuna. "Sahabat itu harus ada buat satu sama lain."

Pemuda dingin itu dapat melihat bagaimana keadaan sahabat sejak kecilnya yang setia menutup mata. Orang yang seringkali menentang pendapatnya itu benar-benar berjasa untuk hidupnya.

"Lagi, lo ngelakuin ini semua buat gue kan?"

Jika udara bisa terdengar, mungkin hanya itu yang menjawab Revan.

"Makasih banyak Ka. Tapi gue mohon jangan ngorbanin diri lo lagi kayak gini." Revan mengepalkan tangannya erat.

Mesin yang paling dibenci Revan terdengar berbunyi.

"Kalau lo gak bangun juga, gue kasih lo ke kandang buaya mau lo? Eh lo kan udah buaya sih." Tawa hambar Revan keluarkan. "Ka bisa lo kasih tahu gue, apa yang bisa gue lakuin buat lo sebagai sahabat? Lo udah banyak berjuang buat gue, sekarang giliran gua Ka. Maka dari itu cepet bangun lo Rakambing."

Raka tidak lagi menggertaknya kali ini.

**********

Pemuda bernama Arkiansyah atau yang lebih sering dipanggil Kian, tengah melakukan liburan bersama keluarga besarnya di Palembang. Sebenarnya dia tidak ingin ikut tapi karena rengekan sang ibu   Kian terpaksa ikut.

Namun Kian tidak menyesali dirinya yang ikut. Setidaknya pemandangan disini membuatnya sedikit terhibur. Keindahan alam seolah membawa semua beban pikirannya pergi.

Ada beberapa kelopak bunga yang jatuh ke telapak tangan Kian. Pemuda itu memandangnya pekat.

"Loh, kelopak bunga ini cuma ada 3 yang jatuh ya." Tantenya bernama Aleta menghampiri Kian.

"Eh yang dua lagi terbang, tinggal sisa satu deh Tan." Balas Kian.

Aleta tersenyum. "Dulu ada dongeng, katanya kalau beberapa kelopak bunga itu jatuh di telapak tangan terus ada beberapa yang terbang berarti orang tersebut akan kehilangan orang yang dia sayangi."

Entah mengapa Kian merasakan sesuatu yang buruk.

"Eh, tenang aja kok Yan, itu kan cuma dongeng." Aleta menyemangatinya.

Sang ibu menghampiri. "Khawatir kah sama sahabat-sahabat kamu di Bandung? Coba kamu hubungin mereka."

"Kayaknya, udah lama juga Kian gak ngehubungin dua anak kamvret itu." Kian tertawa dan berlalu.

Aleta bertanya bingung. "Sahabat-sahabatnya?"

"Kian punya dua orang sahabat yang begitu spesial, yang satu itu sifatnya paling dingin tapi menyimpan semua penderitaan dan yang satu penuh tawa tapi gampang nyembunyiin sedihnya. Maka mungkin Kian didatengin diantara mereka untuk nyempurnain kisah mereka." Jelas ibu Kian.

Aleta tersenyum setelah mendengarnya. "Persahabatan yang unik."

Kian bergegas menuju kamar hotelnya. Dia lupa membawa ponsel saat akan menuju kemari. Entah mengapa setelah mendengar dongeng tantenya membuat Kian sedikit khawatir.

Belakangan ini mereka memang tidak mengontak satu sama lain. Kian sibuk dengan kuliah dan materi pembelajarannya sebagai pewaris perusahaan.

Pemuda itu mengambil ponsel dan membuka grup whatsapp, tidak ada riwayat chat sama sekali selain waktu terakhir sebelum mereka chat.

Dia mengetikkan sesuatu.

'Heh, para anak dakjal kemana aja kalian?'

'Woy, temen bukan sih jawab napa'.

Kian berharap ada Raka yang akan membalas 'Emang kita temenan?' dan Revan yang akan menirunya '(2x)'.

Namun sampai beberapa menit, tidak ada seorang pun dari keduanya yang membalas.

Hingga sore hari tidak ada seorang pun yang membalas pesannya di grup. Mungkin mereka berdua sedang sibuk, setidaknya Kian mencoba berpikir positif. Tapi semakin lama perasaannya semakin khawatir.

Karena kesal dia mencoba menghubungi Revan dengan meneleponnya. Telepon memang tersambung tapi Kian tidak kunjung mendapat jawaban.

Revan yang terkenal sibuk akhirnya diabaikan oleh Kian, dia kini memilih untuk menelepon Raka. Telepon tersambung dan diangkat, namun sedikit  terkejut dengan suara yang didengar.

"Bang Arjun, Rakanya ada?" Tanya Kian.

Tidak ada jawaban, laki-laki yang dia tanya seolah kelu mengatakan sesuatu.

"Halo, Bang Arjun kah? Raka ada nggak ya? Gue tadi nelepon Revan gak diangkat akhirnya milih nelepon Raka deh. Soalnya ada yang mau gue sampein ke mereka." Jelas Kian.

"Kian ya.. "

Ada nada getar yang terdengar di telinganya. "Iya Bang, ini Kian."

"Raka lagi gak bisa dihubungin.. "

Lagi nada itu terdengar beegetar, Kian mencoba acuh. "Lah kemana lagi tuh anak, udah gue bilang gausah kelayapan sih tar nyusahin Bang Arjun kan jadinya."

"Nggak Yan, Raka ada kok. Cuma.... Dia masih betah sama tidurnya... Raka koma Yan, dia kecelakaan, ini udah satu minggu... "

Kian tidak sanggup berkata-kata, terlalu syok dengan kalimat yang baru saja dia dengar. Ponselnya terjatuh begitu saja.

Kian bingung kenapa ada air yang menetes keluar dari kedua mata miliknya.

Diambil kembali ponsel yang tadi dia jatuhkan. "Raka.... Gak mungkin kan Bang? Orang yang selalu ngeledekin gue, jailin gue, sok paling cakep di negara ini ngalamin ini semua?"

"Gue pengen jawab iya gak mungkin, tapi gue sendiri yang tiap hari jagain dia Yan.. "

Kian bisa mendengar ada suara kepanikan juga dari telepon yang masih tersambung dengan Arjuna.

'Dokter Ryan, Halo! Pasien Devano Davian Putra kritis lagi keadaannya lebih buruk dari sebelumnya!'

'Ada apa sus? Kenapa lagi sama adek kembar saya? Malem tadi dia baik-baik aja!'

'Arjuna kamu boleh bantuin kita kan?'

Setelah itu sambungan telepon milik Kian terputus. Firasat buruknya  benar-benar terjadi, apa dongeng kelopak bunga tadi bisa menjadi nyata seperti ini?

Kian menggenggam ponselnya erat, dia merasa tidak bisa melakukan apapun untuk kedua sahabatnya di saat seperti ini.

Pemuda itu memanjatkan doa dalam hati, agar semuanya akan baik-baik saja seperti dahulu. Semuanya tidak berubah menjadi lebih buruk.

Bisa kan?

Apa itu bisa?

.

.

.

.

.

To Be Continue.........

Oh ya jangan lupa vote sama komen ya, Makasih semua~

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!