Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Di dalam rumah, Anna menyandarkan punggungnya pada pintu. Dadanya naik turun, napasnya terengah seperti baru saja berlari dari sesuatu yang mengerikan. Tangannya gemetar hebat. Ia menutup mulutnya sendiri, menahan isak agar tak terdengar keluar, agar Lili tidak curiga.
“Ibu?” Lili mendekat dengan ragu, memegang bungkusan es krimnya yang mulai meleleh. “Kenapa pintunya dibanting?”
Anna tersentak. Ia mengusap wajahnya cepat-cepat, memaksa air mata kembali ke pelupuk. Ia berjongkok, lalu memeluk tubuh kecil itu erat-erat.
“Maaf, Sayang,” bisiknya lirih. “Ibu nggak sengaja tadi tutup pintunya terlalu keras.”
Lili mendongak, menatap wajah ibunya dengan mata polos. “Om Leo bikin Ibu marah, ya?”
Pertanyaan sederhana itu menusuk lebih dalam dari yang Anna bayangkan. Ia menggeleng cepat, mencium kening Lili. “Enggak. Ibu cuma capek.”
Lili mengangguk, lalu tersenyum lagi. “Tapi Om Leo baik, Bu. Tangan Om hangat. Kayak… kayak tangan ayah di cerita buku.”
Tubuh Anna menegang. Pelukannya mengerat tanpa sadar.
“Lili,” suaranya nyaris berbisik, “ingat ya. Kita cuma punya satu sama lain. Ibu janji akan selalu ada buat kamu.”
“Iya,” jawab Lili ceria, tak mengerti badai apa yang sedang bergemuruh di hati ibunya.
* * *
Leo masih berdiri mematung di halaman rumah sederhana itu. Tatapannya kosong, menatap pintu kayu yang tertutup rapat seolah kakinya telah tertanam jauh ke dalam tanah. Ia tidak bergeming sedikit pun.
Dari balik celah jendela, Anna mengamati dengan perasaan campur aduk. Ia tak habis pikir melihat pria yang dulu begitu angkuh dan kasar itu kini tampak hancur, berdiri diam seharian tanpa memedulikan terik matahari yang berganti senja. Namun, Anna segera memalingkan wajah. Ia tak mau peduli. Baginya, rasa sakit yang diberikan Leo jauh lebih besar dari sekadar berdiri diam di halaman.
Malam semakin larut. Langit desa yang biasanya berbintang kini tertutup awan hitam yang menggantung rendah. Tak lama, hujan deras turun mengguyur, membasahi bumi dan menenggelamkan tubuh Leo dalam kedinginan yang menusuk.
Di dalam rumah, Anna sudah terlelap, memeluk Lili dengan erat dalam kehangatan selimut. Namun, sepasang mata kecil di pelukannya perlahan terbuka. Lili hanya berpura-pura tidur. Sejak tadi, batin bocah itu tak tenang memikirkan pria yang mengantarnya pulang tadi.
Dengan gerakan sangat pelan, Lili menyingkirkan lengan ibunya yang melingkar di tubuhnya. Ia turun dari tempat tidur, berjalan berjinjit agar lantai kayu tidak berderit. Tujuannya satu, dapur. Di sana, ia mengambil dua buah payung tua miliknya dan ibunya.
Lili membuka pintu depan dengan sangat hati-hati. Hawa dingin segera menyergap, tapi ia terus melangkah menembus hujan menuju sosok tinggi yang masih berdiri di sana.
"Om, jangan hujan-hujanan. Nanti Om bisa sakit," ucap Lili polos sambil menyodorkan salah satu payung itu.
Leo tertegun. Suara kecil itu memecah kebisingan hujan di telinganya. Tubuhnya yang sudah menggigil hebat terasa kaku saat menunduk melihat bidadari kecilnya berdiri di hadapannya dalam kegelapan malam. Dengan tangan gemetar, ia meraih payung itu. Begitu payung berpindah tangan, Lili segera berbalik dan berlari kecil masuk ke rumah, menghilang di balik pintu sebelum ibunya terjaga.
Lili tahu. Sejak pagi hingga malam, pria itu ada di sana. Dan entah dorongan dari mana, hati kecilnya tak tega membiarkan pria itu kedinginan sendirian.
Leo menatap payung di genggamannya. Ia tidak membukanya untuk melindungi diri dari hujan. Alih-alih menggunakannya, ia justru mendekap payung itu erat di dadanya.
Detik itu juga, pertahanannya runtuh. Lututnya menghantam tanah yang basah dan berlumpur. Leo bersimpuh di tengah badai, bahunya terguncang hebat oleh tangis yang pecah bersama suara guruh. Ia memeluk payung itu sekuat tenaga, seolah ia sedang mendekap putri kecilnya yang selama ini ia sia-siakan.
Ia ingin berteriak sekeras mungkin. Ia ingin melolong pada langit bahwa ia menyesal. Ia ingin memanggil nama Lili dan mengatakan bahwa ia adalah ayahnya. Namun, semua kata itu tertahan di tenggorokan, hanya mampu bergema pilu di dalam hatinya yang hancur berkeping-keping.