Kinar menerima tawaran menikah dari sang dokter untuk melunasi hutangnya pada pihak Bank. Sedangkan, dr. Raditya Putra Al-Ghifari, Sp. B menikahinya secara siri hanya untuk mendapatkan keturunan.
Awalnya Kinar menjalaninya sesuai tujuan mereka, tapi lambat laun ia mulai merasa aneh dengan kedekatan mereka selama masa pernikahan. Belum lagi kelahiran anak yang ia kandung, membuatnya tak ingin pergi dari sisi sang dokter.
Kemanakah kisah Kinar akan bermuara?
Ikuti Kisahnya di sini!
follow ig author @amii.ras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pingsan!
Nih, saya tambah lagi deh 😅
Komentnya yg bawel biar saya tambah semangat ya gaesss
Happy Reading....
Kinar kembali merasakan mual muntah itu pagi ini. Memang tidak sering, hanya kadang-kadang saja. Ia tahu jika sudah telat datang bulan 2 mingguan lebih, tapi ia belum berani untuk periksa. Dia hanya belum siap, sungguh.
"Kamu sakit, Kin?" tanya Suster Kiki--teman satu shiftnya malam ini. Biasanya ia dengan Suster Lina, tapi kali ini tidak.
"Eh, gak kok, Mbak!" balas Kinar pada Suster yang usianya lebih tua dari padanya itu.
"Tapi wajah kamu pucat loh kayak gak sehat," ucap Suster Kiki tampak cemas, menatap wajah pucat rekannya.
"Ah, ini masuk angin saja tadi pagi. Cuma agak pusing sih, cuma tadi sudah bikin teh lemon kok sebelum berangkat," jawab Kinar beralasan. Ia tahu sepertinya dia sudah berbadan dua. Nanti setelah pulang kerja, ia akan mengeceknya dengan testpack.
"Sudah minum obat?" tanya Suster Kiki lagi, ia memperhatikan Ke nar yang tampak memijit-mijit kening.
"Sudah, Mbak," jawab Kinar berbohong. Ia tak ingin asal minum obat, takutnya jika benar ia hamil, maka obat yang ia konsumsi bisa saja membahayakan kandungannya. Jadi, tadi pagi ia hanya meminum teh lemon untuk meredakan rasa mualnya.
"Kalau pusing banget mending istirahat ya, Kin. Apalagi kita di suruh kumpul nanti di aula, ada pembahasan untuk acara ulang tahun rumah sakit."
Kinar mengangguk, "iya, Mbak. Sekarang sudah enak kan kok."
Suster Kiki tak memaksa lagi. Ia berpamitan pada Kinar yang duduk di bangku besi. Kinar memperhatikan hingga punggung Suster Kiki menghilang di tikungan. Ia menghela napas lega. Mengambil kaca di kantong seragamnya, Kinar meneliti wajahnya, dan memang agak pucat. Ia mengoles liptint dan sedikit bedak agar pucat di wajahnya tersamarkan, dan tersenyum ketika wajahnya sudah tak sepucat tadi.
"Suster Kinar!"
Langkah Kinar yang hendak ke ruang istirahat khusus perawat terhenti. Ia menoleh dan mendapati Dokter Ririn berjalan tergopoh ke arahnya.
"Ya, Dokter Ririn!" sahut Kinar menatap penuh tanya.
"Kebetulan ada kamu. Saya butuh suster untuk di ruang operasi, yang lain tadi tampak sibuk. Apakah Suster Kinar lagi luang dan bersedia membantu?" tanya Dokter Ririn tampak tak sabar menanti jawaban Kinar.
Kinar memilin jemari gelisah.
"Tapi saya gak pengalaman di ruang operasi, Dokter!" sahutnya. Ia masih ingat kali terakhir di ruang operasi dirinya malah diusir oleh Dokter Radit, Dokter bedah berwajah datar itu.
"Suster cuma siapin alat saja, kok! Bisa?"
Dokter Ririn menatap Kinar memohon. Akhirnya Kinar mengangguk juga karena kasihan melihat tatapan sang dokter.
Dokter Ririn bernapas lega.
"Ayo ikut saya!" ucapnya berjalan lebih dulu, diikuti Kinar di belakangnya.
Dokter Ririn membuka pintu ruang operasi. Di sana sudah ada Dokter Radit, Dokter Rini, dan Dokter Wina. Ketiga dokter itu menatapnya dengan pandangan berbeda-beda.
"Tidak ada suster lain, Dokter Ririn?" ucap Dokter Radit menatap datar Kinar.
"Maaf, Dokter Radit. Saya sudah hampir setengah jam berkeliling, tapi suster yang lain tampak sibuk, dan hanya suster Kinar yang tampak luang. Ada apa dengan Suster Kinar, Dok!" tanya Dokter Ririn tampak bingung.
"Terakhir kali ia di ruang operasi, ia mengganggu konsentrasi kami dan membuat jalannya operasi sedikit terhambat, dan kami tidak ingin operasi ini juga terhambat karenanya. Apalagi nyawa pasien yang dipertaruhkan," sahut Dokter Rini menyindir Kinar. Tampaknya kekesalan Dokter itu masih bertahan. Apalagi mengingat pasien kali ini adalah anak berusia 10 tahun. Doktet paruh baya itu tak ingin mengambil resiko membahayakan nyawa pasiennya.
Sedangkan, Dokter Wina tak ikut bicara. Hanya memperhatikan saja.
"Tapi kalau saya mencari suster lainnya takutnya kita malah memperlambat operasi, sedang pasien harus segera ditangani," ujar Dokter Ririn menjelaskan.
Lalu keheningan terjadi. Para Dokter tampak sibuk bersiap dengan stelan steril mereka.
"Saya janji akan fokus dan tidak mengganggu konsentrasi dokter sekalian!" ucap Kinar yang tadi hanya diam tertunduk.
"Baiklah, bersiaplah sana!" sahut Dokter Radit pada akhirnya.
Ruang operasi seperti biasa, mencengkam bagi Kinar. Mual kembali ia rasakan saat aroma darah masih tercium oleh hidungnya yang tertutup masker, tapi ia masih bisa menahannya. Setidaknya ia harus bertahan hingga operasi ini selesai, sesuai janjinya tadi.
"Gunting, Sus!" pinta Dokter Radit.
Kinar menyerahkan gunting dengan tangan sedikit gemetar. Keringat dingin itu kembali ia rasakan, karena tak tahan menahan desakan mual dan rasa teraduk-aduk di perutnya.
"Alhamdulillah, berhasil!" begitu seruan itu disuarakan oleh Dokter Wina, Kinar juga mengucap syukur dalam hati. Akhirnya, penderitaannya menahan mual dan pening di kepala ini akan segera berakhir.
Kinar mendorong meja beroda yang berisi alat operasi yang sedikit terdapat noda darah untuk ia bersihkan, tapi rasa pusing dan pandangannya yang mengabur, tak dapat Kinar tahan, hingga tubuhnya tumbang menghantam dinginnya lantai.
"Suster Kinar!" teriak Dokter Ririn yang sempat tertangkap indra pendengaran Kinar. Ia tak ingat apapun setelahnya.
Dokter Radit yang juga terkejut akan pingsannya Kinar, menghampiri tubuh sang istri.
"Biar saya yang membawanya! Kalian bisa urus sisanya, dan segera bawa pasien ke ruang perawatan!" ucap Radit membawa Kinar dalam gendongannya, memberi titah pada 3 rekan dokternya sebelum ia berlalu keluar dari ruang operasi.
Radit membawa Kinar yang tak sadarkan diri ke ruangannya. Koridor menuju ruang operasi untungnya tampak lenggang malam itu, sehingga tak ada yang melihatnya yang membawa Kinar ke ruangannya.
Radit meletakkan Kinar di sofa yang ada di ruangannya. Mengambil stetoskopnya, dan memeriksa denyut jantung Kinar. Lalu beralih pada denyut nadinya, dan menyenteri kedua kelopak mata Kinar.
Radit sempat tertegun nerasakan perut Kinar yang tampak agak kencang. Ia tak ingin menyimpulkan sendiri dugaan pemeriksaannya ini, untuk itulah ia kembali menggendong Kinar dan keluar dari ruangannya untuk menuju ruang Obgyn. Untuk memastikan apa yang sudah ia ketahui.
Begitu Radit membuka ruang dr. Leni Karina Wati, Sp. OG, dokter yang tampak sedang duduk santai dengan membaca buku itu menoleh terkejut.
"Loh, Suster Kinar kenapa?" tanyanya segera bangkit mendekati Radit yang telah meletakkan tubuh Kinar ke brankar di samping ruangannya.
"Periksa saja dan tak usah bertanya!" sahut Dokter Radit datar pada dokter seusia dengannya itu.
Dokter Leni mengangguk. Mengambil stetoskopnya dan melakukan pemeriksaan sesuai prosedurnya. Dokter muda itu tampak terkejut setelah menyelesaikan pemeriksaannya.
"Dia hamil, Dok?" tanya DokterLeni pada Dokter Radit yang berdiri bersedekap di ujung brankar pemeriksaan.
Radit tak menjawab. Masih dengan ekspresi datar, menilik perempuan yang tak sadarkan diri di brankar peneriksaan.
"Bu--bukannya Suster Kinar belum menikah? Ba--bagaimana bisa?" ujar Dokter Leni tergagap tak percaya.
"Saya tidak tahu. Periksa saja kondisinya dan kandungannya. Saya pergi dulu, berikan pemeriksaan kesehatannya pada saya!" ucap Dokter Radit dingin, hendak keluar dari ruangan itu, tapi ia berhenti sebentar untuk berbicara.
"Satu lagi... Tak usah banyak bergosip yang tidak-tidak tentang Suster Kinar, mungkin saja dia sudah menikah, tapi menyembunyikannya," ucap Radit memperingatkan Dokter Leni yang masih linglung.
Dokter Leni menganggu kaku. Menatap punggung Dokter Radit yang telah menghilang di balik pintu, lalu mengalihkan tatapan pada Suster Kinar yang belum sadarkan diri. Bertanya-tanya ada hubungan apa di antara dua orang itu? Tapi ia tak ingin ikut campur, lebih tepatnya tak ingin berurusan dengan anak tunggal pemilik rumah sakit ini.
Bersambung....
Tapi gak papa suster Kinar kamu sudah ditunggu jandanya sama dr Ardi.....!