NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 22: Energi Pembantaian dan Bayangan Ketakutan

Kabut tipis bergulung di lereng gunung. Udara di puncak itu seolah menahan napas, membiarkan hanya suara gemerisik bambu dan desir angin yang menelusup di sela pepohonan.

Liang Chen duduk bersila di atas batu datar di depan pondok Guru Kui Xing, tubuhnya tegak namun kaku, seolah diikat oleh hawa dingin yang menembus hingga tulang. Di dalam dadanya, di tempat jantung seharusnya berdegup tenang, kini berdenyut sesuatu yang asing, panas, berat, dan hidup.

“Jangan lawan,” suara Guru Kui Xing terdengar lembut namun membawa tekanan, “rasakan.”

Liang Chen mengatupkan rahangnya. Ia memejamkan mata, mencoba menyelam ke dalam pusaran itu. Begitu kesadarannya menyentuh inti dari energi yang bersemayam di tubuhnya, rasa sakit tajam menjalar ke seluruh tubuhnya.

Rasanya seperti tangan-tangan berduri yang merayap dari dada ke tulang rusuk, mencoba mencabik dari dalam. Energi itu lapar, haus akan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh akal. Setiap napasnya seperti mengundang bara api ke paru-paru.

“Energi ini... tidak diam,” gumamnya lirih, suaranya hampir tak terdengar.

Guru Kui Xing berdiri di belakangnya, memegang labu arak di satu tangan dan tongkat pendek di tangan lainnya. “Tentu tidak,” katanya tenang. “Energi Pembantaian tidak mengenal kedamaian. Ia adalah denyut kehidupan yang dipaksa lahir dari kematian. Kau tak bisa mengajarinya diam, tapi kau bisa membuatnya menari mengikuti iramamu.”

Liang Chen mengerutkan alis. Ia mencoba menenangkan diri, menarik napas panjang, lalu mengalirkan kesadarannya ke seluruh tubuh. Energi itu berputar cepat di meridiannya, bukan seperti air mengalir, tetapi seperti badai yang berputar dalam mangkuk kecil.

Setiap kali ia mencoba menekan, energi itu justru menggeliat, menolak. Dalam sekejap, panasnya naik, membuat kulitnya memerah. Di permukaan kulit, urat-urat hitam muncul, berdenyut seperti ular.

“Jangan biarkan ia menguasai napasmu,” ujar Guru Kui Xing. “Kalau ia menelan napasmu, kau akan kehilangan dirimu.”

Liang Chen menggigit bibir, menahan teriakan. Ia ingat wajah ayahnya yang hancur, ibunya yang berteriak terakhir kali. Semua itu muncul seperti kilatan.

Dan justru di antara rasa sakit itu, ia menemukan sesuatu, ritme yang tidak berasal dari ketenangan, melainkan dari tekad. Ia tidak bisa menaklukkan energi itu dengan damai, tetapi ia bisa menatapnya dan berkata: aku tidak takut.

Suara Guru Kui Xing memecah kesunyian. “Bagus. Jangan mencoba menjadi samawi, kau bukan mereka. Jalan Asura dimulai dari mengenali kebencianmu, bukan menolaknya.”

Angin berhembus lebih kencang. Dari kejauhan, kabut di lembah bergulung seperti ombak, dan di puncak itu, Liang Chen membuka matanya perlahan. Dalam pupilnya yang hitam, kilatan merah samar tampak bergetar.

Energi Pembantaian mereda sedikit, seperti binatang liar yang berhenti menggigit tali kekang, hanya untuk menatap majikannya dengan mata penuh ancaman.

Guru Kui Xing meneguk arak, menatap muridnya dengan pandangan tenang. “Kau baru menyentuh permukaannya. Nanti, ketika kau mencoba mengendalikannya, kau akan tahu betapa licinnya darah di tangan sendiri.”

Liang Chen terdiam. Nafasnya kini berat, tapi teratur. Di antara rasa sakit dan hawa panas yang membakar, ia menemukan keheningan aneh, bukan kedamaian, melainkan kesadaran bahwa ia belum mati.

Guru Kui Xing duduk bersila di hadapan Liang Chen, jarak mereka hanya beberapa langkah. Di antara mereka, segenggam abu dingin dari arang yang telah lama padam bertebaran di lantai tanah. Di atasnya, embun pagi menetes dari atap bambu, jatuh dengan ritme yang teratur.

“Kau tahu apa yang membedakan Jalan Panjang Umur dan Jalan Asura?” tanya sang guru.

Liang Chen menggeleng pelan. “Yang satu membawa kehidupan, yang lain membawa kematian?”

Guru Kui Xing tersenyum samar. “Kematian adalah bagian dari kehidupan. Tidak, perbedaannya bukan itu.” Ia mengambil sejumput abu dan membiarkannya tertiup angin.

“Jalan Panjang Umur berusaha menjaga keseimbangan alam, meniru irama langit. Jalan Asura tidak meniru apa pun. Ia menantang irama itu, menuntut dunia menyesuaikan diri dengan amarahnya.”

Liang Chen menunduk. Kata-kata itu seperti bara yang dilemparkan ke pikirannya. “Jadi... Jalan Asura adalah pemberontakan?”

“Lebih dari itu.” Guru Kui Xing menatap muridnya. “Ia adalah penolakan terhadap takdir. Kau tahu mengapa para sekte ortodoks memandang rendah Asura? Karena Asura tidak tunduk pada hukum dunia. Mereka menciptakan kekuatan dari penderitaan, bukan dari doa. Itu membuat para dewa takut.”

Liang Chen mendengarkan dengan saksama. Setiap kata sang guru seperti menelusup masuk, membentuk pemahaman yang baru.

“Kalau begitu,” katanya perlahan, “kenapa kau memilih untuk menolongku, Guru? Kau tahu apa yang aku bawa.”

Guru Kui Xing memalingkan wajah ke kabut. Tatapannya jauh. “Karena aku pernah melihat seseorang lain yang membawa Warisan yang sama.” Suaranya berat, seperti menahan kenangan yang pahit. “Ia berjalan di jalanmu, tapi ia jatuh. Dunia memanggilnya Raja Naga Berdarah.”

Nama itu membuat Liang Chen menggigil. “Dia… monster yang membunuh desaku.”

Guru Kui Xing mengangguk. “Dulu, dia bukan monster. Ia murid sebuah sekte besar, berbakat dan berbudi. Tapi ia ingin kekuatan terlalu cepat, ingin menebus penderitaan orang-orang yang ia cintai. Ia percaya jika ia cukup kuat, dunia akan tunduk pada keadilan. Dan ketika dunia menolak, ia menenggelamkannya dalam darah.”

Hening sejenak. Hanya suara angin yang melintas di sela dinding bambu. Liang Chen memejamkan mata, menyadari pantulan dirinya di kisah itu.

Guru Kui Xing melanjutkan dengan nada rendah. “Itu sebabnya Jalan Asura berbahaya. Ia menawarkan kekuatan dalam genggaman, tapi setiap tetes darah yang kau tumpahkan akan menagih bagian dari jiwamu.”

“Lalu bagaimana aku bisa tetap manusia?” tanya Liang Chen.

“Dengan mengingat mengapa kau mengangkat pedangmu pertama kali,” jawab Guru Kui Xing. “Itulah jangkar yang akan menahanmu. Begitu kau mengayunkan pedang tanpa alasan selain kebencian, kau bukan lagi manusia.”

Langit siang redup, seolah kabut di gunung enggan beranjak. Liang Chen masih duduk bersila, wajahnya pucat namun matanya bersinar tajam. Guru Kui Xing berdiri di sisi kanannya, menatap jauh ke arah timur, ke arah dunia sekte ortodoks yang tampak hanya sebagai bayangan biru di balik awan.

“Chen’er,” katanya pelan, “kau tahu mengapa sekte-sekte besar memusuhi Jalan Asura?”

Liang Chen menggeleng.

“Karena ketakutan,” jawab Guru Kui Xing. “Bukan karena kebaikan, bukan karena hukum moral. Mereka takut pada sesuatu yang tidak bisa mereka kendalikan.

Kekuatan Asura tidak memerlukan izin langit. Ia tidak membutuhkan berkah, hanya kehendak. Dan kehendak adalah hal yang paling berbahaya di dunia kultivasi.”

Ia meneguk arak. Wajahnya tampak letih. “Sekte Pedang Murni, Sekte Petir Langit, semua menyebut Asura sebagai jalur iblis. Tapi yang mereka sembunyikan adalah fakta bahwa Jalan Asura bisa memecah hukum dunia yang mereka bangun. Bila seseorang menguasainya sepenuhnya, ia tidak lagi butuh langit.”

Liang Chen menatapnya. “Jadi mereka membunuh siapa pun yang mencoba?”

“Ya.”

Guru Kui Xing menatap kabut di bawah gunung. “Raja Naga Berdarah adalah hasil ketakutan itu. Mereka mencoba menghancurkannya, tapi mereka malah menciptakan legenda yang tak bisa mati.”

Suara arak menetes dari labu ke tanah. Aroma menyebar, menyatu dengan udara lembap pegunungan.

Guru Kui Xing berkata lebih pelan, hampir berbisik. “Aku pernah punya murid… seperti dia. Seperti kau. Ia punya hati yang bersih, tapi hatinya terbakar terlalu cepat. Aku gagal menghentikannya. Ia menjadi bagian dari kehancuran itu.”

Hening menggantung di antara mereka. Liang Chen menunduk, menatap tangannya yang bergetar pelan. “Aku tidak akan jadi seperti mereka.”

Guru Kui Xing memandangnya lama, lalu mengangguk kecil. “Baiklah. Kalau begitu, kita akan lihat apakah kata-katamu hanya suara anak muda, atau suara seorang Asura sejati.”

Ia berjalan ke depan Liang Chen, berdiri tepat di hadapannya. “Kau sudah cukup diam. Sekarang, waktunya menguji kendalimu. Pindahkan Energi Pembantaian dari dadamu ke tanganmu. Biarkan ia mengalir tanpa membakar tubuhmu.”

Liang Chen menarik napas dalam. Ia menutup mata, memusatkan kesadarannya ke dada, ke inti panas yang masih berdenyut. Energi itu seperti naga yang terkurung, menggeram dan menekan dari dalam. Ia mengarahkan pikirannya, berusaha menyalurkan aliran itu ke lengan kanannya.

Pada awalnya, energi itu patuh, merayap perlahan ke bahunya. Tapi begitu mencapai siku, amarahnya meledak. Liang Chen terengah, tubuhnya menegang. Hawa panas membakar kulitnya. Urat-urat hitam muncul kembali, lebih gelap, lebih dalam. Energi itu ingin lepas, ingin melahap.

“Tenangkan pikiranmu!” seru Guru Kui Xing. “Kau tidak sedang bertarung, kau sedang berdamai dengan monster di dalammu!”

Liang Chen menggertakkan gigi. Di dalam pikirannya, ia mendengar suara yang bukan miliknya. Lepaskan aku. Biarkan aku membunuh mereka. Semua… semua yang mencuri darimu.

Suara itu bergema, berat, dan lembut sekaligus, seperti nyanyian dari bawah laut. Liang Chen mengguncang kepala, menolak. “Diam,” gumamnya. “Aku yang memegang kendali.”

Tapi Energi Pembantaian tak mengenal perintah. Ia terus mendorong, terus berputar. Liang Chen menyalurkan seluruh kehendaknya, mengingat wajah ibunya,senyum yang lembut di bawah cahaya pagi,dan kata terakhirnya: Hiduplah.

Dengan satu teriakan tertahan, ia berhasil menahan energi itu di pergelangan tangannya. Dari telapak tangannya, cahaya merah gelap menyala, berputar seperti pusaran darah yang hidup. Tangannya bergetar, nyeri menusuk ke tulang.

Guru Kui Xing menatap dengan mata tajam. “Cukup.”

Liang Chen mengendurkan kendalinya, dan energi itu segera surut, kembali ke dadanya seperti air pasang yang ditarik ke laut. Ia terengah-engah, peluh menetes dari dahinya, tapi sorot matanya tetap tajam.

Guru Kui Xing menatap muridnya lama, lalu tersenyum samar. “Kau gagal menahannya sepenuhnya, tapi kau menolaknya untuk menguasaimu. Itu sudah cukup untuk hari ini.”

Liang Chen menunduk. “Energi itu... berbicara padaku.”

“Ya,” jawab Guru Kui Xing. “Itulah suaramu sendiri yang dipelintir oleh amarah. Jangan dengarkan bisikannya, tapi jangan juga menolaknya. Dengarkan nadanya, pelajari iramanya, dan suatu hari nanti,kau akan membuatnya bernyanyi untukmu.”

Angin sore mulai turun, membawa aroma arak dan tanah lembap. Liang Chen memandang ke cakrawala. Dalam hatinya, ia tahu: jalan ini tidak akan memberinya kedamaian. Tapi di bawah bimbingan sang guru, untuk pertama kalinya sejak darah keluarganya mengering di tanah, ia merasa punya arah.

Guru Kui Xing meminum arak terakhir dari labunya, lalu berkata tanpa menoleh, “Besok, kita mulai latihan kedua. Kau akan belajar berjalan di antara dua dunia tanpa kehilangan pijakan.”

Liang Chen menatap pedang di pangkuannya. Kilatan merahnya samar, tapi hidup. Ia menggenggam gagangnya erat. Aku akan menguasaimu, katanya dalam hati. Atau kita akan binasa bersama.

Kabut menutup puncak gunung kembali, tapi di dalam pondok yang sederhana itu, dua cahaya kecil,cahaya arak dan cahaya amarah,terus menyala berdampingan di bawah langit kelabu.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!