Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Satu
Waktu terasa cepat berlalu, menit terasa detik. Papa kembali mendekati Kirana, di sampingnya ada Mama tirinya dan adik tirinya Tissa.
"Mana calon suami yang kau katakan itu? Kau hanya ingin merusak pernikahan adikmu'kan?" tanya Papa.
"Sebentar lagi pasti dia datang," jawab Kirana
Waktu berjalan lambat sekali bagi Kirana. Seakan dunia menertawakan kesungguhannya, detik terasa seperti menetes di ujung jarum yang berkarat. Sepanjang ia berdiri di tengah ruangan itu, tatapan ratusan pasang mata menusuk seperti jarum‐jarum halus yang menuntut penjelasan.
Kirana memegang gawai-nya dengan erat di tangan. Berkali-kali ia menekan nama yang sama, berharap keajaiban kecil datang dari ujung sambungan. Tidak aktif lagi.
Denyut di dadanya semakin cepat, tapi wajahnya tetap tenang. Hanya matanya saja yang sejak tadi disembunyikannya di balik riasan sempurna itu, yang akhirnya menunjukkan retakan kecil. Retakan yang tidak dilihat siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Tissa yang duduk anggun di kursi akad bahkan tidak bisa menyembunyikan senyum puasnya. Ia bersandar santai, menyilangkan kaki, seolah menunggu Kirana merangkak kalah di depan semua orang.
Papa Kirana, yang berdiri di samping penghulu, sudah kehabisan kesabaran. Lelaki itu mendekati putri sulungnya dengan langkah cepat dan suara yang ditekan agar tidak memancing lebih banyak perhatian, meski semua orang sudah terfokus pada pertengkaran mereka.
“Kirana. Waktu yang Papa berikan sudah habis. Kalau memang ada calon suamimu, seharusnya dia sudah ada di sini sejak tadi.”
Kirana menelan napas yang terasa begitu berat. “Sebentar lagi, Pa. Dia bilang akan datang .…”
Papa menatapnya tajam, nyaris seperti tatapan seseorang yang merasa dikhianati. “Berhenti mempermalukan keluarga!”
Kalimat itu menggema lebih keras daripada yang Papa maksudkan. Beberapa tamu langsung saling sikut dan menunduk pura-pura tidak memperhatikan. Tapi tatapan mata mereka jelas penuh penasaran.
Wajah Kirana menegang. Bukan karena marah, tapi karena luka yang mendadak terasa begitu dalam.
Ia sadar Papa sudah tidak mempercayainya. Dan mungkin tidak pernah.
Ia menunduk. Gawai dalam genggamannya kembali menampilkan tanda yang sama: Tidak aktif.
"Samudera … kamu dimana? Kau bilang akan datang," ucap Kirana dalam hatinya.
Ada yang bergetar dalam dirinya. Sesuatu yang bukan marah, bukan terluka, tapi campuran dari keduanya yang membentuk rasa putus asa.
Tissa berdiri dari kursinya dengan gaya dramatis, membuat tamu-tamu semakin memperhatikannya. “Kak Kirana, keluar saja. Ini hari pernikahan aku. Bukan drama kamu.”
Nada suaranya manis tapi menghina manis beracun.
Kirana menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak yang semakin menyesakkan. Ia ingin kuat dan tetap anggun.
Ia ingin menunjukkan bahwa hidupnya tidak berputar di sekitar Irfan atau keluarga tirinya. Tapi tanpa Samudera, ia mulai takut semua orang akan benar-benar melihatnya sebagai pembohong yang mencari sensasi di hari bahagia orang lain.
Mama Tissa menambahkan dengan nada memaksa, “Sudahlah, Kirana. Kalau dia benar-benar ada, pasti sudah datang. Duduk saja, kalau tak mau duduk, kau bisa keluar! Jangan bikin malu dirimu sendiri.”
Kirana memejamkan mata sejenak, tekanan itu terasa seperti beban yang mendorong punggungnya hingga ia sulit bernafas.
Ia ingin percaya kalau Samudera pasti datang. Ia ingin menunggu, tapi ketika ia membuka mata, waktu sudah menghimpitnya dari segala sisi.
Papa menunjuk kursi kosong di deretan tamu. “Duduk. Sekarang. Kalau tidak, Papa sendiri yang akan menarik kamu keluar dari ruangan ini.”
Suasana berubah sangat cepat. Tadi kekaguman, sekarang bisik-bisik tajam. Sorotan kamera perlahan mengarah ke Kirana, seolah orang-orang menunggu momen paling memalukan hari itu.
Kirana akhirnya mengalah. Dengan langkah pelan yang terasa seperti bunyi retakannya sendiri, ia menggeser gaun kebaya mahal yang melekat di tubuhnya, bersiap duduk sesuai perintah Papa.
Ia sudah mengangkat sedikit rok kebayanya. Hanya tinggal satu langkah. Satu langkah untuk menyerah. Satu langkah untuk membiarkan Tissa menang.
Satu langkah terakhir untuk menerima bahwa Samudera mungkin benar-benar tidak akan datang.
Pintu gedung tiba-tiba terbuka keras, memantulkan suara yang menggema ke seluruh ruangan.
Semua orang menoleh serempak. Dan Kirana terhenti tepat sebelum lututnya menyentuh kursi.
Dalam keheningan yang tegang itu, berdiri seorang pria dengan jas hitam elegan yang membingkai tubuhnya sempurna. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya segar seolah ia datang dari pemotretan majalah, bukan dari perjalanan panjang menuju gedung pernikahan.
Tatapannya langsung menemukan Kirana. Mata mereka bertemu. Dunia Kirana yang tadi runtuh perlahan, tiba-tiba berhenti dan kemudian hidup lagi.
Dengan senyum miring khasnya, Samudera berkata lantang,.“Sayang … aku belum terlambat, kan?”
Suasana pecah. Tissa terpaku, mulutnya terbuka. Irfan sampai berdiri saking terkejutnya. Para tamu serempak menoleh, beberapa bahkan langsung mengangkat ponsel untuk merekam.
Kirana tidak bisa bergerak. Kehadirannya dan aura Samudera yang kuat telah menghipnotis semua yang hadir di dalam gedung itu.
Ia berdiri tegak, langkahnya mantap, tidak terputus sedikit pun meski semua perhatian tertuju padanya. Seolah panggung itu memang dipersiapkan untuknya sejak awal.
Tatapannya bergeser ke Papa Kirana. Tanpa takut, tanpa ragu, ia mendekat sampai jarak mereka hanya satu lengan.
Kemudian ia mengulurkan tangan. “Kenalkan, Pak. Saya Samudera. Calon suami Kirana.”
Suasana jadi hening. Benar-benar hanya suara AC yang mendesis halus.
Papa tidak segera membalas jabatan tangan itu. Lelaki tua itu menatap Samudera dari atas sampai bawah, sinis, meremehkan, penuh curiga.
“Kamu,” ujar Papa akhirnya, bibirnya menegang, “Jadi ini pria yang kamu maksud, Kirana?”
Kirana tidak mampu menjawab. Ia hanya menggenggam roknya lebih erat, takut jika suaranya pecah.
Papa mendengus, menatap Samudera seolah melihat seseorang yang sama sekali tidak layak.
“Apa kamu sudah sebegitu kebelet kawin sampai tidak memandang lagi siapa pria ini, Kirana?”
Ucapan itu tajam. Begitu tajam hingga beberapa tamu langsung terdiam ngeri.
Samudera mengalihkan tatapannya kembali pada Papa. Alisnya terangkat sedikit, wajahnya dingin. “Memangnya kenapa dengan saya, Pak?”
Papa melangkah maju, hampir berdiri terlalu dekat dengan Samudera. “Kamu itu paling cuma pengangguran. Pemuda yang tidak jelas masa depannya. Mau numpang hidup sama anakku, ya? Karena Kirana cantik dan mudah dimanfaatkan?”
Beberapa orang langsung menarik napas. Kirana menunduk, wajahnya tampak pucat. Kata-kata Papa lebih mirip tamparan daripada kalimat. Samudera hanya tersenyum tipis, senyum yang tidak pernah muncul kecuali ia merasa diremehkan.
Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah, tetapi justru terdengar semakin berbahaya. “Jadi menurut Bapak… saya pengangguran? Numpang hidup? Begitu?”
Papa melipat tangan di dada, nada suara semakin sombong. “Iya. Dan tidak ada alasan untuk membuatku percaya sebaliknya.”
Samudera hendak membuka mulut. Tetapi sebelum ia sempat berkata apa pun suara berat dan tegas menggema dari arah pintu.
“Siapa bilang anak saya pengangguran dan cuma mau numpang hidup?”
Semua kepala menoleh sekaligus. Dan di sana, di pintu utama yang masih sedikit terbuka.
Berdiri seorang lelaki matang, berwibawa, dengan setelan mahal dan jam tangan yang harganya mungkin bisa membeli satu gedung. Wajahnya tegas. Sikapnya karismatik.
Langkahnya tidak tergesa, tapi penuh otoritas. Dipta, papanya Samudera. Kehadirannya membuat seluruh ruangan terdiam.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭