Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Areta dipaksa menjadi budak nafsu oleh mafia kejam dan dingin bernama Vincent untuk melunasi utang ayahnya yang menumpuk. Setelah sempat melarikan diri, Areta kembali tertangkap oleh Vincent, yang kemudian memaksanya menikah. Kehidupan pernikahan Areta jauh dari kata bahagia; ia harus menghadapi berbagai hinaan dan perlakuan buruk dari ibu serta adik Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Vincent tidak menghiraukan suara tertahan Areta yang tertahan oleh lakban.
Ia keluar dari kamar megah itu dan menghubungi pelayan pribadinya.
"Mandikan dia dan ganti dengan gaun tidur yang layak. Buka lakbannya, tapi jangan buka borgolnya," perintah Vincent, suaranya sedingin es.
Tak lama kemudian, seorang pelayan wanita paruh baya dengan seragam hitam rapi masuk.
Ia mendekati Areta yang masih meringkuk di atas ranjang.
"Nona, ikut saya," ucap pelayan itu dengan suara datar, tanpa sedikit pun empati.
Ia membuka lakban hitam tebal dari mulut Areta dengan sekali sentak, membuat Areta memekik pelan dan merasakan perih di sudut bibirnya.
Areta segera menghirup udara dengan air matanya yang tak berhenti mengalir.
Pelayan itu, yang memperkenalkan dirinya sebagai Bibi Lena, membimbing Areta yang terborgol ke kamar mandi mewah.
"Mmmph!—"
Areta mencoba menolak, namun Bibi Lena mencengkeram lengannya erat.
"Tuan Vincent tidak suka diabaikan, Nona. Tetap diam dan ikuti perintah. Atau Tuan akan memberikan hukuman yang jauh lebih buruk," desis Bibi Lena, sorot matanya tajam dan mengancam.
Areta merasakan ketakutan dan ia hanya bisa pasrah saat Bibi Lena mulai membuka pakaiannya dan mendorongnya masuk ke dalam bathtub marmer berisi air hangat.
Air mata Areta bercampur dengan air mandi, menyadari bahwa perlawanannya sia-sia.
Ia kini sepenuhnya berada dalam kendali mafia dingin itu.
"Tugasmu di sini hanya satu, Nona. Melayani Tuan. Semakin cepat kamu mengerti, semakin mudah hidupmu di sini," ujar Bibi Lena sambil menyabuni tubuh Areta dengan gerakan kasar.
"Ayahku, apa yang terjadi pada Ayahku?" tanya Areta dengan suara serak dan berharap setidaknya mendapat satu informasi.
Bibi Lena hanya diam, tidak menjawab, seolah-olah Jacob tidak pernah ada.
Setelah Areta selesai dimandikan dengan kasar, Bibi Lena menarik tubuhnya keluar dari bak mandi marmer.
Ia mengeringkan tubuh Areta dengan handuk tebal secepat kilat, tanpa peduli pada rintihan dan tatapan memohon Areta.
Kemudian Bibi Lena mengambil sehelai gaun tidur dari lemari.
Gaun itu terbuat dari bahan sutra tipis, hampir menerawang, dengan warna hitam yang kontras dengan kulit pucat Areta.
Gaun itu tidak memberikan perlindungan, melainkan mengekspos setiap lekuk tubuhnya, membuatnya merasa semakin telanjang dan rentan.
"Pakai ini, Nona," perintah Bibi Lena dan memaksakan gaun itu ke tubuh Areta.
Areta memeluk dirinya sendiri, mencoba menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.
Gaun tipis itu terasa seperti penghinaan kepada dirinya.
"Jangan pasang lakban itu lagi, kumohon. Aku ingin tahu kabar Ayahku," bisik Areta, suaranya bergetar.
Bibi Lena sama sekali tidak menghiraukan perkataan dari Areta.
Dengan tatapan kosong, ia mengambil gulungan lakban hitam yang tergeletak di nakas.
"Tugas saya adalah melaksanakan perintah Tuan Vincent, bukan menjawab pertanyaan Nona," ucapnya datar.
Gerakannya secepat kilat. Ia meremas dagu Areta, memaksa mulutnya terbuka sedikit, dan dengan sekali sentak, lakban tebal itu kembali membungkamnya.
"Mmmph! Mmmph!"
Areta tersentak, rasa perih di sudut bibirnya kembali terasa dan air mata kembali membasahi pelipisnya.
Bibi Lena kemudian menempatkan Areta yang terborgol di atas ranjang sutra, memastikan posisinya agar terlihat pantas.
"Tuan Vincent akan segera datang. Jangan coba-coba bergerak atau memberontak," desisnya sebelum menutup pintu tanpa suara.
Hanya Areta yang tersisa di kamar megah itu, terborgol dan terbungkam, gaun tipis itu terasa sedingin es di kulitnya.
Ia memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.
Tak berselang lama, bunyi pintu terbuka kembali memecah keheningan.
Areta membuka matanya dengan cepat. Di ambang pintu, Vincent berdiri tegak, setelan hitamnya masih rapi, namun sorot mata hazel-nya kini terlihat lebih gelap, memancarkan aura predator yang siap menerkam.
Vincent melangkah masuk ke kamar dan setiap langkahnya terdengar berat dan tegas di lantai marmer, seolah mengumumkan akhir dari kebebasan Areta.
Ia mengunci pintu dari dalam, kemudian berdiri sejenak, memandangi Areta yang meringkuk ketakutan di tengah ranjang.
Pandangannya menyapu tubuh Areta, dari gaun tidur tipis yang melilitnya hingga borgol perak yang mengikat kedua tangannya.
Vincent tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak menjanjikan kebaikan.
Ia mendekat ke arah ranjang, mengambil posisi duduk di tepi, tepat di samping kaki Areta.
Tubuhnya yang besar terasa mengancam, memancarkan panas yang berlawanan dengan dinginnya ruangan.
Dengan perlahan, Vincent mengulurkan satu jari telunjuknya, menyentuh tepi lakban di mulut Areta.
"Lari yang bagus, Areta. Tapi malam ini, kamu ada di tempat yang seharusnya kau berada. Di bawah kendaliku."
Jari-jarinya beralih mengusap pipi Areta, gerakan yang seharusnya menenangkan tapi terasa seperti ancaman mematikan.
Areta menatap matanya dengan wajah ketakutan dan ditambah dengan detak jantungnya yang menggila.
"Dan sekarang kita akan bicara tentang utang Ayahmu."
Vincent mencengkeram lakban itu dan menariknya paksa dari mulut Areta.
Rasa perih yang amat sangat kembali menyengat, membuat Areta memekik tertahan.
"T-tolong lepaskan aku. A-aku ingin bertemu dengan Ayahku. Aku mohon..." pinta Areta.
Vincent menyeringai dingin, mengabaikan permohonan itu.
Vincent menarik tali yang ada di gaun Areta dengan satu sentakan pelan namun pasti, membuat simpul di dadanya terlepas dan gaun sutra itu melorot, mengekspos garis leher dan bahu Areta yang pucat.
"Jangan sentuh aku. Aku mohon," pinta Areta dengan suara tercekat, mencoba melindungi dirinya dengan tangan yang terborgol
"Utang harus dibayar, Areta. Dan kamu adalah jaminannya." ucap Vincent dengan suaranya yang serak dan mematikan.
Areta menggelengkan kepalanya saat mendengar perkataan dari Vincent.
Vincent melepaskan pakaiannya dan sekarang ia sudah tidak memakai sehelai apapun.
Ia naik ke atas tempat tidur dan berada di atas tubuh Areta.
"T-tolong jangan lakukan itu," pinta Areta dengan air matanya yang mengalir.
Areta memejamkan matanya saat tangan Vincent berada di kedua kakinya.
Kepala Vincent terlihat sedang berada di antara selangkangan Areta.
Tanpa aba-aba Vincent langsung mengigit dan menghisap milik Areta.
"Hentikan, aku mohon.."
Areta seperti cacing kepanasan saat Vincent melakukannya di area terlarangnya.
Mulut Areta menolak keras, tapi tidak dengan tubuhnya.
"Ahh... rasamu sangat manis sayang." ucap Vincent sambil mencium leher Areta dan memberikan tanda merah disana.
Areta hanya bisa mendesah kecil saat Vincent melakukannya.
Vincent yang sudah tidak sabar lagi, kembali membuka kedua kaki Areta.
Areta membelalakkan matanya saat melihat junior milik Vincent yang sangat besar.
"Tolong, jangan lakukan itu..."
"Sssshhh....."
KREK!
"SAKIT!!"
Vincent langsung menutup mulut Areta dan memberikan ciuman khasnya.
Air mata Areta mengalir saat Vincent berhasil membobol mahkota yang selama ini ia jaga.
Vincent tidak menghiraukan tangisan Areta dan ia semakin brutal melakukannya.
Suara desahan Areta terdengar jelas di telinga Vincent.
Vincent mengambil kunci dan membuka borgol yang ada di tangan Areta.
Satu jam kemudian, Areta pingsan di pelukan Vincent.
Vincent melihat darah di sprei, bukti bahwa ia adalah yang pertama.
Kemudian ia mengambil selimut untuk menutup tubuh Areta.
lanjut Thor💪😘