NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 — Retakan yang Berkembang

Kabut malam masih menggantung di puncak Sekte Langit Tenang. Lilin di ruang meditasi Wuyan bergetar halus, nyalanya menunduk seolah takut menghadapi kesunyian. Ia duduk bersila di atas lantai batu yang dingin, mata terpejam, tangan bertumpu di lutut. Segalanya tampak tenang di permukaan — tapi di dalam, sesuatu mulai bergerak.

Denyut halus terasa di balik dadanya. Bukan denyut jantung, melainkan sesuatu yang lain — irama samar yang tak mengikuti napasnya, seperti nadi asing yang bergetar di kedalaman jiwa. Wuyan menahan napas, mencoba mengabaikannya, namun denyut itu justru semakin kuat, berdetak perlahan hingga terasa seperti detak kehidupan lain yang hidup bersamanya.

Ia mencoba memusatkan pikirannya. “Hun… Po… menyatu…” bisiknya lirih, mengulang mantra dasar kultivasi jiwa. Namun setiap kali ia mengucap, suara itu menggema aneh di dalam pikirannya, seperti suara lain yang menirukan ucapannya dengan jeda aneh — seolah gema itu datang bukan dari ruang, tapi dari sesuatu yang juga hidup di dalam dirinya.

Sebuah suara samar terdengar di antara getaran napasnya.

“Hun dan Po menyatu…? Atau terbelah?”

Wuyan membuka matanya. Lilin di depannya tetap menyala, tapi bayangannya di dinding seolah tidak mengikuti gerak tubuhnya dengan tepat. Ada jeda kecil di sana — sesuatu yang tidak seharusnya ada. Ia mengerutkan kening, menatap pantulan dirinya di lantai batu yang memantulkan cahaya redup.

Bayangan itu tampak bergetar.

Dan ketika ia menatap lebih dalam, ia melihat sesuatu di baliknya — garis halus bercahaya, seperti retakan kecil di permukaan air.

Wuyan menutup mata, berusaha masuk ke dalam kesadaran batin. Seketika dunia fisik memudar, digantikan oleh kegelapan luas yang ia kenal: Laut Jiwa. Tapi kali ini, laut itu tidak tenang. Permukaannya retak, dan dari celah-celah itu keluar cahaya tipis berwarna perak kebiruan, berdenyut seirama dengan napasnya.

Retakan itu hidup.

Ia melangkah di atas permukaan laut yang tenang di satu sisi, bergelora di sisi lain. Dari bawah, suara-suara samar terdengar — seperti bisikan yang datang dari dalam air. Awalnya hanya satu, lalu dua, lalu puluhan, hingga ratusan gema berlapis mengisi pikirannya.

“Wuyan…”

“Shen Wuyan…”

“Kau mengira kau satu…”

“Kami mengingat… kami…”

Ia menunduk. Di bawah kakinya, refleksi wajahnya sendiri terbelah oleh retakan air. Dari celah itu, wajah lain muncul — samar, nyaris kabur, tapi cukup jelas untuk membuat jantungnya berdebar. Sebagian tersenyum. Sebagian menangis. Sebagian hanya menatap kosong, dengan mata yang seakan mengenalnya lebih dalam dari dirinya sendiri.

“Berhenti…” desisnya, suaranya parau.

Namun setiap kali ia berkata begitu, wajah-wajah itu menatapnya semakin dekat. Suara mereka saling menimpa, seperti nyanyian dan jeritan yang menyatu. Satu berkata dengan lirih, “Aku ingat rasa sakitnya.”

Yang lain membalas, “Aku ingat darahmu.”

Dan suara ketiga, yang terdengar seperti dirinya sendiri, berbisik:

“Kau menelan kami, tapi tak benar-benar hidup.”

Wuyan memejamkan mata. Ia tahu ini bukan halusinasi — ini adalah gema jiwa. Hun dan Po di dalam dirinya mulai retak, dan serpihan jiwa dari wajah-wajah yang ia serap kini menuntut pengakuan. Ia mencoba menstabilkan pikirannya, menyalurkan energi spiritual ke Laut Jiwa. Tapi semakin ia menenangkan diri, semakin terang cahaya dari retakan itu bersinar.

Seolah ketenangannya adalah bahan bakar bagi kebangkitan sesuatu di dalam sana.

Laut Jiwa bergolak. Retakan membesar. Dari celah itu, muncul cahaya yang menyilaukan, disertai suara ribuan bisikan yang tak lagi samar. Ia mendengar tawa, tangisan, doa, dan amarah menyatu menjadi satu gelombang bunyi yang menekan.

“Aku hidup di dalammu…”

“Aku ingin keluar…”

“Kau mencuri napasku…”

“Kembalikan…”

Wuyan menggigit bibirnya sampai terasa besi darah di lidahnya. Ia tak tahu berapa lama ia berdiri di sana — di antara gelombang suara dan cahaya yang mengoyak kesadarannya. Tapi sesuatu di dalam dirinya menolak runtuh.

“Mereka bukan musuhmu.”

Sebuah suara berbeda muncul. Dalam sekejap, semua gema berhenti. Laut Jiwa membeku. Dari kegelapan, muncul Bayangan — entitas yang selalu datang di titik di mana pikirannya hampir hancur. Siluetnya bergerak lembut, matanya bersinar tenang.

“Mereka hanya bagian darimu yang kau tolak,” katanya.

“Jika kau terus menutup telinga, mereka akan berteriak sampai kau tak bisa berpikir.”

Wuyan menatapnya tanpa menjawab. Napasnya berat, tapi sorot matanya tetap tajam.

“Kalau begitu… bagaimana aku bisa hidup dengan mereka di dalam kepalaku?” tanyanya lirih.

Bayangan itu tersenyum samar, seolah pertanyaan itu terlalu sederhana.

“Dengan berhenti menjadi satu.”

Kata-kata itu membuatnya terdiam. Laut Jiwa di sekeliling mereka bergolak pelan, mengeluarkan suara gemuruh halus. Retakan di permukaannya menyebar seperti urat bercahaya, mengelilingi keduanya.

Bayangan melangkah mendekat, lalu menepuk bahu Wuyan — atau setidaknya sesuatu yang menyerupai bahunya di dunia batin. “Kau sudah tahu jawabannya, Shen Wuyan. Kau hanya belum siap untuk menerimanya.”

Wuyan mengangkat pandangannya. “Dan kalau aku siap?”

“Maka mereka akan berhenti berteriak,” jawab Bayangan lembut. “Tapi mereka tidak akan diam. Mereka akan berbicara. Dan kau harus mendengarkan semuanya — bahkan yang paling kau benci.”

Keheningan turun kembali. Retakan di laut semakin dalam, tapi kali ini tidak terasa mengancam. Ada ritme di sana — seperti denyut nadi yang hidup. Wuyan bisa merasakan setiap cahaya yang keluar dari retakan itu seperti tarikan nafas dari makhluk yang sedang terbangun.

Ia menyadari sesuatu.

Retakan itu bukan sekadar kerusakan. Itu adalah pintu.

Dan di baliknya… ada kehidupan lain.

Bayangan memudar perlahan, hanya menyisakan suaranya yang bergema di antara riak air.

“Dengarkan, Wuyan. Mereka bukan bayangan. Mereka adalah kau — yang belum sempat berbicara.”

Wuyan membuka matanya kembali di dunia nyata. Lilin di ruang meditasi telah padam. Satu-satunya cahaya berasal dari retakan kecil di dinding batu — entah nyata atau hanya pantulan dari Laut Jiwa yang terbawa ke dunia ini.

Suara samar kembali terdengar. Kali ini hanya satu, tapi sangat jelas, seperti seseorang berbisik langsung di telinganya.

“Shen Wuyan… kami belum selesai.”

Ia mengangkat tangannya, melihat kulitnya yang bergetar halus seolah denyut lain mengalir di bawahnya. Tubuhnya masih miliknya, tapi jiwanya tidak lagi terasa tunggal. Ia sadar, apa yang dimulai di Laut Tanpa Dasar kini tumbuh di dalam dirinya — dan tak ada jalan untuk kembali.

Lalu, di tengah hening yang hampir suci itu, ia tersenyum lemah.

“Baiklah,” gumamnya. “Kalau begitu… aku akan mendengarkan.”

Namun di dalam kedalaman, sesuatu tertawa pelan.

Suara tawa itu bergaung di ruang batin Wuyan, lembut namun bergema panjang. Bukan tawa yang jahat, tapi juga bukan tawa yang bisa disebut manusiawi. Ia menggema seperti getaran yang datang dari segala arah, menembus batas antara jiwa dan tubuh.

Wuyan menarik napas panjang, membuka kedua matanya. Dunia meditasi di sekitarnya terasa berbeda — udara bergetar, cahaya lilin yang redup berubah seperti menari mengikuti irama yang tidak berasal dari angin. Ia merasa seolah sedang duduk di tengah dua realitas: satu di dunia nyata, satu lagi di Laut Jiwa yang masih bergolak.

Kabut malam merayap masuk lewat celah jendela. Wuyan menatapnya. Setiap gerakan kabut itu tampak seperti bentuk tubuh samar yang menyentuh ruang, lalu menghilang. Ada wajah di antara kabut, ia yakin, meski hanya sepersekian detik. Wajah yang sama dengan yang dilihatnya di Laut Jiwa.

“Jadi… mereka sudah mulai menembus batas,” gumamnya.

Ia merasakan denyutan di dalam dadanya semakin jelas. Retakan yang semula hanya terasa sebagai getaran kini seperti urat bercahaya di dalam tubuhnya. Ia menutup mata dan memusatkan kesadarannya kembali — kali ini bukan untuk melarikan diri dari suara-suara itu, melainkan untuk memanggil mereka.

Seketika, dunianya kembali ke Laut Jiwa.

Gelombang hitam yang biasanya tenang kini berkilau perak, menampakkan ratusan garis cahaya di permukaannya. Masing-masing retakan berdenyut lembut, seperti pernapasan dari entitas yang sedang tertidur. Dari setiap celah keluar suara — bukan sekadar bisikan, tapi seperti potongan kesadaran yang berusaha saling berhubungan.

Wuyan berdiri di tengah lautan itu. Langkahnya membuat air bergoyang, menciptakan lingkaran kecil yang memantulkan ribuan wajah samar. Ia melihat semuanya berlapis, tumpang tindih satu sama lain. Ada wajah seorang anak muda dengan mata penuh harapan, wajah seorang wanita tua dengan senyum getir, wajah seorang pejuang yang berlumuran darah. Semua berbeda, tapi setiap mata itu menatap ke satu arah — ke dirinya.

Satu suara terdengar lebih jelas dari yang lain.

“Aku mati dengan namamu di ingatanku.”

Kemudian suara lain, bergetar marah:

“Dan kau bahkan tak mengingatku.”

Ia menunduk. Laut Jiwa bergetar seolah menuntut jawaban.

“Aku… mengingat sebagian,” jawabnya pelan. “Tapi bukan semuanya.”

Suara-suara itu berhenti sejenak. Dalam diam, Wuyan bisa merasakan tekanan yang sangat besar di sekelilingnya — bukan permusuhan, tapi keinginan untuk diakui.

Bayangan muncul lagi, kali ini tidak di belakangnya, tapi di depan. Siluet itu tampak lebih jelas, bentuknya hampir menyerupai dirinya sendiri, hanya saja lebih tenang, lebih gelap, dan matanya bersinar samar.

“Mereka tidak menuntut pengampunan,” kata Bayangan dengan nada tenang.

“Mereka hanya ingin diingat. Tapi ingatanmu… terlalu kecil untuk menampung ribuan wajah.”

Wuyan menatap laut di sekelilingnya. “Lalu bagaimana aku bisa mengingat semuanya tanpa kehilangan diriku?”

Bayangan tersenyum samar. “Dengan berhenti mencoba menjadi tunggal.”

Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada teriakan mana pun. Wuyan mengangkat tangannya, menatap refleksi yang terbentuk di permukaan air. Wajahnya tampak biasa — tapi di dalam matanya, ada kilatan cahaya lain, seperti ada dua pasang pupil yang hidup di dalam sana.

Ia berjongkok, menyentuh permukaan air. Retakan di bawahnya menyala lebih terang, dan ketika ia menatap ke dalamnya, ia melihat satu wajah muncul dari cahaya. Wajah itu adalah dirinya sendiri — tapi berbeda. Lebih muda, dengan sorot mata yang kosong dan bibir yang tak tersenyum.

“Aku ingat rasa takut ini,” kata Wuyan pelan.

Dan wajah itu menjawab dengan nada identik, “Aku adalah rasa takut itu.”

Tubuhnya bergetar. Ia menarik tangannya, tapi cahaya dari retakan merambat ke kulitnya, menjalar naik ke pergelangan tangan dan lengan. Sensasi panas dan dingin bercampur, lalu suara-suara kembali berbisik.

“Kau mendengarkan kami sekarang…”

“Kau sudah mulai terbuka…”

“Kami menunggumu sejak lama…”

Dalam sekejap, dunia Laut Jiwa bergemuruh. Retakan-retakan itu bersatu membentuk pola melingkar yang berputar di bawah kakinya, seperti simbol mata yang perlahan terbuka. Dari tengahnya muncul pusaran cahaya yang berputar cepat, menciptakan gelombang tekanan yang membuat seluruh lautan bergetar.

Wuyan berdiri tegak, matanya terbuka lebar menatap pusaran itu. Dalam sorotnya tidak ada ketakutan lagi — hanya kesadaran. Ia tahu bahwa di balik pusaran itu, ada sesuatu yang menunggu. Entitas-entitas yang selama ini bersemayam dalam jiwanya, menunggu kesempatan untuk berbicara.

Bayangan melangkah mendekat, suaranya nyaris seperti napas di telinga Wuyan.

“Jika kau melangkah ke dalam pusaran itu, kau tidak akan kembali sebagai dirimu yang sekarang.”

“Aku tahu.”

“Dan jika kau tidak melangkah?”

Wuyan menatap pusaran itu lebih lama, mendengarkan suara-suara di dalamnya — jeritan, tawa, doa, dan tangisan yang menyatu jadi satu nada yang anehnya… harmonis. Ia menghela napas panjang.

“Maka aku akan tetap menjadi diriku yang terbelah.”

Bayangan tidak menjawab. Tapi ekspresinya berubah — seolah puas. Lalu ia menghilang ke dalam pusaran, meninggalkan Wuyan sendirian.

Wuyan menutup matanya dan melangkah maju.

Dunia di sekitarnya berubah menjadi gelap total. Suara-suara itu berhenti seketika, lalu muncul kembali — tapi kali ini bukan di luar, melainkan di dalam pikirannya sendiri. Ia tidak lagi mendengar mereka; ia merasakan mereka. Setiap wajah yang pernah ia lihat di Laut Jiwa kini menjadi denyut kecil di dalam kesadarannya.

Satu menangis. Satu tertawa. Satu berbisik pelan,

“Kau akhirnya datang.”

Cahaya menyebar, perlahan membentuk pemandangan baru. Ia melihat dirinya sendiri duduk di ruang meditasi, seperti semula. Tapi sekarang ada sesuatu yang berbeda. Di belakangnya, bayangannya bergerak sedikit lebih cepat dari tubuhnya, dan untuk pertama kalinya — bayangan itu menatap ke arahnya, lalu tersenyum.

Wuyan tak terkejut. Ia hanya mengangkat pandangan, menatap langit-langit batu yang tampak lebih gelap dari sebelumnya.

“Kalau ini caranya… kalau mereka ingin bicara, aku akan mendengar,” katanya pelan.

Tetesan lilin menetes di lantai, membentuk lingkaran tak beraturan. Cahaya berpendar sesaat di permukaannya, memantulkan sesuatu yang bukan lagi wajah Wuyan semata — melainkan campuran wajah-wajah lain yang samar, seperti sedang mencoba membentuk sosok baru dari ribuan potongan ingatan.

Dalam keheningan itu, ia mendengar suara terakhir — berbeda dari yang lain. Dalam, berlapis, dan mengandung sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

“Kami menunggumu.”

Kata-kata itu menggema lama di dalam pikirannya, seolah menggetarkan dinding ruang meditasi.

Lilin padam.

Dunia sunyi.

Tapi di balik kesunyian itu, sesuatu telah terbangun.

Shen Wuyan membuka matanya perlahan, dan di dalam pupilnya, retakan cahaya tipis muncul — hidup, berdenyut, seperti nadi dari seribu jiwa yang kini bernafas bersamanya.

Bab ini berakhir dalam diam, tapi di dalam diam itu, ribuan suara berbisik bersamaan:

“Kami adalah kau.”

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!