NovelToon NovelToon
Wild, Wicked, Livia !!!

Wild, Wicked, Livia !!!

Status: sedang berlangsung
Genre:Gadis nakal / CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Mengubah Takdir
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fauzi rema

Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.

Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.

Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.

Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Gambar di tubuhnya

Narendra belum beranjak. Ia masih duduk di depan Livia yang berbaring di sofa, memandangi Livia yang kembali terlelap dengan napas teratur. Demamnya mulai turun, keringatnya sudah berkurang. Namun pikiran Narendra justru makin bergejolak.

Ia mengusap wajahnya pelan.

Punggung itu… tato sebesar itu… seindah itu… dan ada banyak sekali. Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?

Selama ini ia hanya melihat Livia sebagai perempuan pendiam, profesional, selalu menjaga batas, bahkan cenderung menjauh. Tidak pernah sekalipun terlintas bahwa di balik sikap tenangnya, ada sesuatu yang begitu… liar dan penuh luka.

Narendra mengalihkan pandangan, tapi bayangan gambar di tubuh gadis itu terus menari di kepala.

Saat ia hendak berdiri, suara Livia terdengar lirih.

“Pak, anda… masih di sini?”

Narendra menoleh cepat. Livia setengah membuka mata, pandangannya masih buram, wajahnya lemah karena demam. Tetapi suaranya pelan, rapuh.

“Harusnya Bapak pulang saja… aku bisa sendiri.”

Narendra mendekat lagi, nada bicara lembut.

“Kamu belum benar-benar membaik. Aku nggak tenang kalau ninggalin kamu sendirian.”

Livia memalingkan wajah, seperti tidak nyaman menerima perhatian sedalam itu.

“…aku sudah terbiasa sendiri pak, jangan khawatir.”

Narendra tersenyum samar.

“Ya saya tau, kamu sudah biasa sendiri, tapi sekarang ada saya.”

Livia terdiam, hampir seperti tidak tahu harus menjawab apa. Ia menggigit bibirnya yang kering.

Narendra memperbaiki selimutnya lagi, gerakan tangannya pelan seperti tidak ingin mengusik.

“Tidur lagi ya, aku temani kamu sebentar saja.”

Livia menarik napas panjang, ia tidak membantah. Mungkin karena sakit, mungkin karena lelah… atau mungkin karena kehadiran Narendra entah bagaimana terasa aman.

Sebelum kembali terlelap, Livia sempat berbisik lirih, hampir tidak terdengar.

“…terima kasih…”

Narendra menatapnya, matanya melunak.

“Sama-sama, Liv.”

Saat Livia benar-benar tertidur, Narendra bersandar di kursi di sampingnya, menutup mata sejenak. Namun pikirannya tak bisa tenang.

Sekarang ia bisa melihat, pembawaan Livia yang rapuh namun keras…

Semua membuat Narendra semakin ingin tahu.

Dan mungkin semakin sulit menjauh.

Hari sudah berganti malam.

Livia terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat. Kamar apartemennya remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang di nyalakan Narendra sebelum ia pergi.

Sunyi

Sepi.

Ia menarik napas panjang, demamnya sudah jauh berkurang, meski tubuhnya masih lemah.

Livia mencoba bangun. Ketika itu, matanya menangkap sesuatu di atas nakas: sebuah kotak makanan dan secarik kertas yang terlipat rapi.

Dengan alis berkerut, ia meraih kertas itu terlebih dahulu.

Tulisan tangan Narendra rapi, tegas, dan sangat khas:

Livia,

Aku pulang karena sudah terlalu malam. Makan ini kalau nanti kamu lapar. Obatnya kamu minum lagi jam 11 malam.Kalau badanmu panas lagi atau kamu butuh sesuatu, telepon aku—jangan sungkan. Istirahat yang cukup.

— Narendra

Livia terdiam lama membaca tulisan itu. Ada sesuatu yang menghangatkan dada, perhatian yang tidak pernah ia bayangkan akan datang dari seorang seperti Narendra.

Ia membuka kotak makanan itu; di dalamnya ada bubur ayam hangat dengan topping yang dipisah, lengkap, bersih, jelas dibeli dari restoran yang bagus. Bahkan ada sebotol air mineral dan tisu basah di sampingnya.

Livia menghela napas kecil.

“Kenapa sih dia sebaik itu…” gumamnya lirih.

Ia menyandarkan punggung pada headboard, menatap kertas itu sekali lagi.

Senyum tipis muncul tanpa ia sadari.

Entah karena perhatian itu… atau karena tulisan Narendra yang entah kenapa terasa begitu pribadi.

Pada akhirnya ia mengambil sendok, perlahan mulai makan bubur itu, karena dirinya merasa begitu lapar.

Di dalam keheningan malam, untuk pertama kalinya setelah sekian lama… Livia merasa tidak sepenuhnya sendirian.

...🥂...

Narendra memarkir mobilnya perlahan di garasi rumah. Lampu teras sudah menyala, menandakan Veronica masih bangun. Rumah itu tampak tenang seperti biasanya, tapi Narendra tahu… keheningan inilah yang justru membuatnya paling lelah.

Begitu ia membuka pintu masuk, suara lembut namun datar langsung menyapanya.

“Kamu pulang juga akhirnya.”

Veronica berada di ruang keluarga, duduk di kursi rodanya dengan tenang, wanita itu mengenakan cardigan tipis warna krem. Rambutnya disanggul sederhana. Senyum kecil ia berikan, senyum yang selalu tampak benar, tapi tidak pernah benar-benar hangat.

Narendra menaruh jasnya di di sofa. “Maaf, ada urusan mendadak di kantor.”

“Urusan kantor?” Veronica mengangkat alis. “Atau… kamu mulai suka kerja lembur akhir-akhir ini?”

Nada suaranya manis, tapi menusuk.

Narendra menahan diri sebelum menjawab.

“Ver, aku hanya bekerja. Tidak lebih.”

Veronica menggerakkan kursi rodanya mendekat, pelan tapi terkontrol. “Aku tidak menuduh apa-apa.” Ia tersenyum lagi, lebih tipis. “Aku hanya takut kamu… lelah. Kamu kelihatan letih.”

Narendra menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresi.

Letih?

Ia baru saja merawat seorang staf yang sakit, yang bahkan merasa lebih hidup daripada rumah ini.

“Ya… sedikit,” jawabnya singkat.

Veronica memperhatikan wajah Narendra. “Kamu sudah makan?”

Narendra mengangguk. “Sudah.”

“Baiklah.” Veronica memutar kursinya berbalik. “Kalau begitu, istirahatlah. Aku tidak mau kesehatanmu terganggu.”

Narendra memperhatikan punggung istrinya ketika ia perlahan pergi menuju kamarnya sendiri, kamar yang tidak lagi mereka bagi sejak kecelakaannya.

Sunyi lagi.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama…

Narendra merasa rumah itu terlalu dingin. terlalu hening. terlalu jauh dari apa yang baru saja ia rasakan di apartemen Livia.

Ia menghembuskan napas panjang,

mengendurkan dasi,

dan berjalan menuju kamar lainnya tanpa berkata apa-apa lagi.

...----------------...

Paginya, udara rumah terasa lebih berat dari biasanya. Narendra baru saja turun ke ruang makan ketika Veronica sudah duduk diam dengan pakaian elegan, dress satin biru lembut dan cardigan putih bersih. Riasannya tipis, tetapi cukup untuk menegaskan bahwa hari ini ia ingin terlihat sempurna.

“Mas, hari ini antar aku ke salon, Ya.” suaranya halus, namun tak membuka ruang untuk penolakan.

Narendra mengerjapkan mata, masih belum sepenuhnya siap menjalani hari. “Hari ini? Ini kan akhir pekan, Ver… aku pikir kita bisa istirahat.”

Veronica memasang senyum yang begitu manis… dan begitu memaksa.

“Justru karena akhir pekan. Aku butuh perawatan. Kamu bisa meluangkan waktulah… untuk istrimu.”

Narendra terdiam.

Ia ingin mengatakan bahwa tubuhnya lelah.

Ia ingin mengatakan ia butuh waktu untuk sendiri.

Ia ingin—sejenak saja—tidak merasa bersalah atas sesuatu yang bahkan belum ia lakukan.

Tapi ia hanya mengangguk. “Baik. Aku antar.”

Veronica tampak puas. “Bagus. Kita berangkat jam sepuluh.”

Narendra duduk, namun seleranya hilang. Pikirannya kembali ke detik ketika ia meninggalkan apartemen Livia semalam, gadis itu tertidur, kulitnya hangat karena demam yang mulai turun, sebagian rambutnya menutupi wajahnya.

Ia merasakan jantungnya berdebar tak wajar.

“Mas Narendra?” Veronica memanggilnya, memecah lamunannya.

Narendra kembali fokus. “Ya?”

“Aku perhatikan sejak tadi Kamu melamun. Ada masalah di kantor?”

“…Tidak. Tidak ada.”

Tapi ia tahu Veronica sedang memperhatikan gerak-geriknya.

Dan ia tahu ia harus bersikap lebih hati-hati.

Narendra meminum kopi yang sudah dingin, mencoba menepis bayangan Livia dari kepalanya. Namun semakin ia menepis, semakin jelas wajah itu muncul kembali.

Pukul sepuluh nanti ia harus mengantar istrinya ke salon.

Namun hatinya masih merasa tak nyaman.

...🥂...

...🥂...

...🥂...

...Bersambung......

1
kalea rizuky
jangan jd pelakor
septi fahrozi
semakin penasaran jadinya ngapain mereka... 🤣🤣
Priyatin
ho ho ho kok semakin rumit hubungannya othor😰😰😰
Priyatin
lama kali nunggu up nya thor.
lanjut dong🙏🙏🙏
Wita S
kerennn
Wita S
ayoo up kak...ceritanya kerennnn
Mian Fauzi: thankyou 🫶 tp sabar yaa...aku masih selesain novelku yg lain hehe
total 1 replies
Siti Naimah
ampun deh...belum apa2 Livia sudah mendapat kekerasan dari dimas.sebaiknya sampai disini saja livia.gak usah diterusin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!