Lasmini adalah seorang gadis desa yang polos dan lugu, Ketenangannya terusik oleh kedatangan Hartawan, seorang pria kota yang bekerja di proyek pertambangan. Dengan janji manis dan rayuan maut, Hartawan berhasil memikat hati Lasmini dan menikahinya. Kebahagiaan semu itu hancur saat Lasmini mengandung tiga bulan. Hartawan, yang sudah merasa bosan dan memiliki istri di kota, pergi meninggalkan Lasmini.
Bara, sahabat Hartawan yang diam-diam menginginkan Lasmini. Alih-alih melindungi, Hartawan malah dengan keji "menghadiahkan" Lasmini kepada Bara, pengkhianatan ini menjadi awal dari malapetaka yang jauh lebih kejam bagi Lasmini.
Bara dan kelima temannya menculik Lasmini dan membawanya ke perkebunan karet. Di sana, Lasmini diperkosa secara bergiliran oleh keenam pria itu hingga tak berdaya. Dalam upaya menghilangkan jejak, mereka mengubur Lasmini hidup-hidup di dalam tanah.
Apakah yang akan terjadi selanjutnya terhadap Lasmini?
Mungkinkah Lasmini selamat dan bangkit dari kuburannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan sengit di kediaman Sanjaya
Prabu melompat kaget ke arah pintu, matanya membesar karena alarm yang meraung, sepenuhnya teralihkan oleh suara kaca pecah di kejauhan. Bara memanfaatkan sepersekian detik kelemahan yang diciptakan oleh bubuk persembahan dan pengalihan itu.
"Ini akhirmu, Lasmini!" desis Bara, dengan gerakan secepat kilat, tangannya menyambar pisau lipat yang disembunyikan di pinggangnya. Ia melompat maju, mengincar perut Suci Sancaka yakni titik vital di mana kekuatan spiritualnya berpusat, yang kini terlihat rapuh.
Namun, lompatan Bara terhenti di tengah jalan. Prabu Sanjaya, meskipun terkejut, melihat bahaya yang datang dan mencoba bergerak untuk menolong.
"Minggir, Prabu!" teriak Bara, mengeluarkan seolah-olah sebuah mantra yang dipelajari dari Mbah Loreng. Matanya menatap tajam ke arah Prabu, dan bibirnya bergerak cepat mengucapkan serangkaian kata kuno.
Raga wesi, jiwa kancing. Lungguh kene tanpo obah!..
Prabu merasakan hawa dingin menusuk tulang belakangnya, seolah ada rantai tak kasat mata yang melilitnya. Tubuhnya tiba-tiba kaku, terkunci di ambang pintu, lumpuh total. Prabu hanya bisa menyaksikan dengan mata terbuka penuh kengerian, tanpa daya untuk bergerak atau bersuara.
Sementara itu, Bara meneruskan lompatannya. Pisau lipat itu berkilauan mematikan di bawah cahaya lampu pijar, mengarah langsung ke perut Suci
Tepat sebelum pisau itu menembus kulit halus Suci Sancaka, kilatan cahaya hijau keemasan menyambar dari arah belakang.
Di sudut gelap ruang tamu, sesosok bayangan tiba-tiba muncul. Itu adalah Darma, ayah Lasmini, yang sedari tadi bersembunyi di balik tirai gelap, diam-diam mengamati putrinya setelah mendengar kegaduhan. Ia melihat serangan Bara, melihat putrinya melemah, dan melihat Prabu yang terkunci.
Darma tidak punya pilihan. Dengan cepat, ia berlutut, menyentuh lantai dengan kedua tangannya, dan memejamkan mata, memanggil kekuatan yang jauh lebih purba.
"Nyai Kencana Dewi! Aku, Darma, memohon kehadiranmu! Anakku dalam bahaya! Selamatkan Lasmini!"
Permintaan itu dijawab dalam sekejap.
Tepat saat ujung pisau Bara menyentuh gaun tidur sutra putih Suci, tubuh Lasmini berkelebat. Nyai Kencana Dewi telah menarik Lasmini mundur, memindahkannya hanya dalam sekejap mata ke samping kursi sofa.
Pisau Bara hanya mengiris udara. Ia terhuyung karena momentumnya yang hilang.
Ketika Bara membalikkan badan, yang ia hadapi bukan lagi sosok Suci Sancaka yang rapuh, melainkan sosok yang memancarkan aura dingin dan murka yang luar biasa.
Sosok itu, yang kini berdiri di tempat Lasmini tadi, adalah Nyai Kencana Dewi sendiri.
Ia mengenakan kain sutra hitam legam, wajahnya cantik namun dingin seperti es, dan rambut hitam panjangnya yang legam terurai, melayang-layang seolah di dalam air.
Matanya memancarkan kilatan hijau, lebih terang dan lebih menakutkan daripada kilatan kuning Suci sebelumnya.
"Berani sekali kau, manusia kotor!" Suara Nyai Kencana Dewi bergemuruh, bukan hanya terdengar di telinga, tapi di dalam dada Bara, membuatnya sesak.
Nyai Kencana Dewi tidak memberi Bara kesempatan untuk bergerak lagi. Rambut hitam panjangnya menjulur cepat, bukan seperti helai rambut, melainkan seperti tali baja yang lentur, melingkari leher Bara dengan kekuatan mematikan.
Bara tidak bisa berteriak, tidak bisa bernapas, bahkan tidak bisa mengucapkan mantera lagi. Ia tersentak, mencengkeram rambut yang melilit lehernya, matanya melotot, wajahnya memerah, dan kemudian membiru. Pusaka Taring Kuno yang dipegangnya terlepas, jatuh ke lantai kayu dengan suara gedebuk kecil.
Di luar rumah, di tengah kegelapan, Jaka dan dua anak buahnya yang lain panik melihat lampu-lampu di dalam rumah mewah itu berkedip-kedip aneh, dan alarm tiba-tiba mati dengan suara senyap yang lebih mengerikan.
Jaka melihat ke arah jendela ruang tamu. Siluet Bara terlihat, tubuhnya menggantung tak berdaya, tercekik oleh sesuatu yang tidak ia pahami.
"JURAGAN!" teriak Jaka, ketakutan yang ia rasakan jauh melebihi perintah untuk lari. Ia berlari ke arah rumah.
Nyai Kencana Dewi menoleh. Tatapannya menembus dinding kaca, langsung menembak mata Jaka.
"Dan satu lagi pengikut sihir rendahan," desis Nyai Kencana Dewi.
Rambut-rambut lain menjulur dari dalam, melewati celah pintu, dan dengan kecepatan kilat, rambut itu melilit kedua kaki Jaka, menariknya ke halaman. Rambut itu terus melilit, hingga Jaka juga tercekik di rerumputan, di samping temannya yang tergeletak diam karena serangan panik yang tidak terlihat.
Nyai Kencana Dewi menghempaskan tubuh Bara yang sudah lemas ke dinding. Ia berbalik, menghadap Lasmini yang kini berdiri tegak di sampingnya, tubuhnya sudah pulih, auranya kembali kuat.
"Kalian akan menjadi tumbal untuk menguatkan jalanmu, Lasmini," perintah Nyai Kencana Dewi, suaranya dingin dan penuh kuasa. "Kini dendammu terbalaskan, sekarang tinggal tiga para cecunguk dan juga Hartawan yang harus segera kau habisi, Malam ini adalah saatnya yang tepat untuk kau memusnahkan mereka. Pergilah sekarang juga!"
Suci Sancaka (Lasmini) mengangguk, senyum dingin dan puas terukir di bibirnya.
Di ambang pintu, Prabu tetap kaku, mata nanarnya menyaksikan Bara dan Jaka sudah tak bergerak. Tubuhnya perlahan dilepaskan dari kuncian gaib, namun kengerian yang ia lihat membuatnya kehilangan kesadaran, ia ambruk pingsan.
Di bagian lain rumah, kedua orang tua Prabu masih tertidur lelap, diselimuti 'sirep' gaib agar tidak ada satu pun saksi mata yang terjaga.
Darma dan Kanti yang juga menyusul keluar dari persembunyian mereka, menatap anak mereka, Lasmini, yang kini menjadi Suci Sancaka. Mereka berdua berjalan di belakang Lasmini, siap untuk membalaskan dendam terakhir mereka, meninggalkan kediaman Sanjaya yang kini sunyi, meninggalkan mayat Bara dan Prabu yang pingsan sebagai bukti awal pembalasan dendam yang baru saja dimulai.
Bersambung...