Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. PERMAINAN KAKI YANG BERBAHAYA

..."Bahaya terbesar bukan dari yang mengawasi dari luar, tapi dari yang melihat terlalu dekat dari dalam."...
...---•---...
Seminggu setelah malam di taman itu, mereka sudah punya rutinitas baru. Pagi hari mereka bertemu di dapur untuk minum kopi dan ngobrol sebentar. Siang hari mereka menjaga jarak karena ada staf. Lalu malamnya, setelah semua orang tidur, mereka saling bertemu sebentar di koridor gelap atau di taman belakang. Sekadar berbagi ciuman cepat, pelukan singkat, dan bisikan kecil yang harus cukup untuk menunggu sampai esok hari.
Hari ini Selasa. Pagi cerah dengan matahari yang mulai hangat menembus jendela dapur. Doni sudah bangun sejak pukul lima, menyiapkan sarapan. Pancake dengan blueberry segar, sirup maple hangat, dan bacon renyah. Aroma manis bercampur gurih memenuhi ruangan, mengundang dan menenangkan.
Naira turun pukul enam seperti biasa. Rambut masih basah dari shower, diikat rendah di tengkuk. Kaos katun putih dan celana training abu-abu, pakaian santai yang membuatnya terlihat lebih muda. Wajah tanpa makeup, kulit bersih dan segar.
"Pagi." Senyumnya langsung membuat dada Doni hangat.
"Pagi." Ia menuang kopi, gerakan sudah otomatis. Satu sendok gula, sedikit susu, aduk tiga kali searah jarum jam. Persis seperti yang Naira suka.
Mereka duduk berseberangan di meja, jarak aman untuk mata yang mungkin mengintip. Tapi di bawah meja, kaki mereka bertemu. Sentuhan kecil yang tersembunyi. Jari kaki Naira menyentuh pergelangannya, main-main, mengoda.
Doni menatapnya dengan mata menyipit. Bibir menahan senyum.
Naira meneguk kopi, ekspresi polos sempurna. Tapi matanya menari, penuh kenakalan.
"Pancake enak banget," katanya, setelah suap pertama. Garpu memotong tumpukan yang empuk, sirup mengalir di sisi. "Kamu tambahin apa? Rasanya beda."
"Vanilla ekstrak. Sedikit. Dan blueberry-nya aku rendam dulu dalam lemon juice biar tidak terlalu manis." Doni makan pelan, mata sesekali melirik ke arahnya. Cara ia mengunyah, cara bibirnya menutup di sekitar garpu. Detail kecil yang sekarang ia perhatikan dan hafal.
"Pintar." Naira tersenyum, lalu kembali makan. Diam sejenak. Nyaman. Hanya bunyi garpu di piring dan sesekali tegukan kopi.
Lalu pintu dapur terbuka.
Tuti masuk dengan keranjang sayuran segar dari pasar. Wajahnya ceria, senyum lebar seperti biasa.
"Selamat pagi, Nona. Mas Doni."
"Pagi, Mbak Tuti." Naira menjawab natural. Tidak ada perubahan ekspresi. Tapi di bawah meja, kakinya menarik mundur cepat, memutus kontak.
Doni merasakan kehilangan itu seperti dingin tiba-tiba.
"Wah, pancake. Enak banget pasti." Tuti menaruh keranjang di counter, mulai mengeluarkan sayuran. Wortel, brokoli, tomat segar. "Mas Doni memang jago masak. Nona beruntung."
"Sangat beruntung." Naira menatap Doni sekilas. Cepat. Tapi cukup untuk mata mereka bertemu dan sesuatu melintas di sana. Hangat. Pribadi.
Tuti sibuk mencuci sayuran di wastafel, punggung menghadap mereka. Air mengalir keras, menutupi suara kecil.
Doni menggerakkan kaki, mencari kaki Naira lagi. Menemukan. Menyentuh. Jari kakinya mengait di pergelangannya, sentuhan yang bilang aku di sini, aku merindukanmu walau cuma terpisah sedetik.
Naira menggigit bibir bawah, menahan senyum. Matanya fokus ke piring tapi pipinya sedikit memerah.
"Nona, nanti siang ada janji dokter jam dua," Tuti mengingatkan, masih membelakangi mereka. "Mbak Ratna sudah konfirmasi. Pak Hendra yang antar."
"Oh iya, aku lupa." Naira mengangguk. "Terima kasih sudah ingatkan."
"Sama-sama, Nona." Tuti menutup keran, mengeringkan tangan dengan lap. Lalu berbalik. Matanya menyapu meja. Berhenti sebentar di wajah Naira yang masih sedikit memerah, lalu ke Doni yang terlalu fokus pada pancakenya.
Sesuatu berubah di ekspresinya. Hampir tidak terlihat. Tapi Doni menangkapnya. Alis terangkat sedikit. Bibir mengerucut tipis. Mata menyipit, mengamati.
Jantung Doni berdegup lebih keras.
"Saya siapkan jus jeruk dulu ya, Nona." Tuti berjalan ke kulkas, mengambil jeruk dari rak bawah. Punggungnya menghadap mereka lagi.
Di bawah meja, Doni menarik kakinya mundur. Jarak aman.
Naira menatapnya, alis bertanya. Kenapa?
Doni menggeleng sedikit. Tidak sekarang. Terlalu berisiko.
Mereka menghabiskan sarapan dalam diam yang lebih hati-hati. Percakapan ringan tentang cuaca, tentang menu makan siang nanti. Tidak ada sentuhan lagi. Tidak ada tatapan lama. Hanya koki dan klien yang sopan.
Tapi Doni merasakan mata Tuti sesekali melirik ke arah mereka. Mengamati. Memperhatikan.
Setelah sarapan, Naira pergi ke ruang baca. Doni mulai membereskan dapur. Tuti membantu, mencuci piring dengan gerakan efisien.
"Mas Doni," panggilnya tiba-tiba. Suara pelan.
Doni menoleh. "Ya, Bu Tuti?"
"Boleh saya tanya sesuatu?" Matanya tidak berkedip, menatap langsung.
Tenggorokan Doni kering. Napasnya terasa pendek. "Boleh."
Tuti berhenti mencuci. Tangan berhenti di tengah gerakan, air menetes dari jemarinya ke wastafel stainless yang tiba-tiba terdengar terlalu keras. Ia menatap langsung ke mata Doni. "Mas Doni dan Nona Naira... ada apa?"
Jantung Doni berhenti sedetik. Darah membeku di pembuluh. Napas tertahan di tenggorokan.
"Apa maksud Bu Tuti?" Suaranya keluar lebih datar dari yang ia rasakan. Terkontrol. Netral.
"Saya bukan orang bodoh, Mas." Tuti tersenyum tipis. Tidak menghakimi. Hanya tahu. "Saya di rumah ini setiap hari. Saya lihat bagaimana Mas Doni menatap Nona. Bagaimana Nona tersenyum kalau Mas Doni masuk ruangan. Bagaimana kalian berdua... berbeda kalau lagi berdua."
Doni tidak menjawab. Tidak bisa. Otaknya berpacu mencari kata-kata yang tepat. Penyangkalan? Pengakuan? Penjelasan?
Tuti melanjutkan, suara lebih lembut. "Saya tidak akan bilang siapa-siapa. Saya janji. Tapi saya cuma mau Mas Doni dan Nona hati-hati. Kontrak itu... ketat. Dan kalau ketahuan..."
"Saya tahu risikonya." Doni akhirnya bicara. Suara parau. "Kami tahu."
"Kalian pacaran?" Langsung. Tanpa basa-basi.
Doni menatap tangannya sendiri. Jemari basah dari air sabun. Tremor kecil yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menarik napas panjang. Menghembuskan pelan.
"Ya." Pengakuan keluar seperti napas lega. "Ya, kami pacaran."
Tuti mengangguk pelan. Tidak kaget. Seperti cuma konfirmasi apa yang sudah ia tahu. "Sudah lama?"
"Seminggu. Secara resmi. Tapi perasaannya... sudah lebih lama." Doni mengusap wajah. Tangannya basah, meninggalkan jejak air sabun di pelipis. "Bu Tuti, tolong. Jangan bilang siapa-siapa. Kami akan hati-hati. Kami tidak akan buat masalah."
"Saya tidak akan bilang." Tuti menaruh tangan di lengannya. Tepukan lembut. Menenangkan. "Mas Doni baik. Nona Naira bahagia sekarang. Setelah sekian lama saya lihat dia sedih, sekarang dia tersenyum lagi. Itu karena Mas Doni. Saya tidak mau rusak itu."
Napas Doni keluar panjang. Bahu turun, otot yang tegang mulai mengendur. "Terima kasih, Bu Tuti."
"Tapi kalian harus lebih hati-hati. Tadi pagi, kalian kelihatan terlalu... akrab. Kalau saya bisa lihat, orang lain juga bisa." Matanya menajam lagi. "Mbak Ratna pintar. Kalau dia curiga, dia akan gali lebih dalam."
"Ratna sudah tahu, saya rasa." Doni kembali mencuci piring, butuh sesuatu untuk dilakukan tangannya. "Dia belum bilang apa-apa. Tapi caranya menatap kami..."
"Kalau Mbak Ratna tahu dan belum bilang apa-apa, berarti dia pilih diam. Itu bagus. Tapi jangan dorong keberuntungan itu." Tuti kembali mencuci piring. "Jaga jarak di depan orang. Jangan sampai ada bukti. Foto, video, apa pun. Media masih mengawasi Nona. Kalau mereka dapat sesuatu..."
"Saya tahu. Kami akan lebih hati-hati." Doni ikut mencuci, tangannya bergerak otomatis. Piring, bilas, taruh di rak. Ritme familiar yang menenangkan pikiran yang kacau.
"Dan Mas Doni," Tuti bicara lagi, lebih pelan. "Jaga hati Nona. Dia sudah terlalu banyak disakiti. Kalau Mas Doni tidak serius, lebih baik berhenti sekarang."
"Saya serius." Tidak ada ragu di suaranya. "Saya mencintainya."
Tuti tersenyum. Senyum yang tulus, hangat. "Saya tahu. Saya lihat itu. Makanya saya bantu jaga rahasia ini. Tapi ingat, cinta saja tidak cukup. Kalian butuh strategi."
"Strategi?"
"Delapan ratus sekian hari lagi sampai kontrak selesai. Lama. Banyak yang bisa terjadi. Kalian perlu rencana. Bagaimana kalau ketahuan? Bagaimana kalau ada yang mengancam akan lapor? Bagaimana kalau..." Ia berhenti sejenak. "Bagaimana kalau Nona hamil?"
Doni nyaris menjatuhkan piring. Keramik licin hampir tergelincir dari jemarinya. Wajahnya memanas dari leher ke telinga. "Kami belum... maksud saya, kami tidak..."
"Belum. Tapi suatu saat mungkin. Dan kalian harus mikir soal itu." Tuti menatapnya. "Saya tidak menghakimi. Saya cuma mau kalian siap untuk semua kemungkinan yang terjadi kedepannya."
Doni mengangguk pelan. Otaknya berputar. Delapan ratus hari. Banyak yang bisa terjadi. Ia belum memikirkan sejauh itu. Mereka baru seminggu resmi bersama. Tapi Tuti benar.
"Terima kasih, Buk Tuti. Untuk peringatan. Dan untuk... tidak melaporkan kami."
"Saya di sini untuk Nona. Dan kalau Mas Doni bikin dia bahagia, saya di sisi Mas Doni juga." Tuti mengeringkan tangan, melirik jam dinding. "Saya harus ke pasar lagi. Ada yang mau Mas Doni titip?"
"Tidak, terima kasih."
Tuti mengambil tas belanja, berjalan ke pintu. Tapi di ambang, ia berbalik. "Oh ya, Mas Doni. Tadi pagi kalian pikir saya tidak lihat ya?"
Doni mengernyit. "Lihat apa?"
"Kaki kalian. Di bawah meja." Senyumnya nakal sekarang, seperti kakak yang menggoda adik. "Main kaki gitu. Mesra banget."
Wajah Doni terbakar. Merah dari leher sampai telinga, panas menjalar ke kulit kepala.
Tuti tertawa kecil. "Lucu. Seperti remaja yang pacaran sembunyi-sembunyi. Tapi hati-hati ya, Mas. Lain kali pastikan tidak ada orang dulu."
Ia keluar, meninggalkan Doni berdiri sendirian di dapur dengan wajah merah dan jantung berdebar.
Nyaris tertangkap. Karena main kaki di bawah meja.
Bodoh. Ceroboh. Berbahaya.
Tapi kenapa dadanya masih hangat saat mengingat sentuhan jari kaki Naira di pergelangannya?
Ia menggeleng, mencoba fokus. Harus lebih hati-hati. Jauh lebih hati-hati.
...---•---...
...Bersambung...