Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.22 Langit Ke Lima
Langit di atasnya berubah. Cahaya perak dari Dunia Tanpa Waktu menghilang, digantikan bayangan kelam yang bergerak seakan bernapas. Di sana, dunia tampak seperti pantulan dunia fana Xiau Chen, namun distorsi ruang dan waktu membuat segala sesuatu tampak asing dan menakutkan.
Ia melangkah pelan di tanah yang berdenyut seperti hati makhluk purba. Setiap langkahnya meninggalkan jejak bercahaya samar yang cepat memudar, seperti kenangan yang ditinggalkan waktu. Angin di sini tidak terdengar; hanya suara detak yang samar — detak dari jantung dunia itu sendiri.
Di kejauhan, berdiri sebuah istana yang tampak seperti kristal gelap. Pilar-pilarnya menjulang ke langit, namun retak-retak memancarkan cahaya yang berpendar aneh. Dari balik retakan itu muncul sosok hitam, tinggi, dengan mata menyala merah darah. Sosok itu berdiri diam, menatap Xiau Chen.
"Itu... diriku?" gumam Xiau Chen, suaranya bergetar namun tegas.
Sosok itu mengangkat tangan, dan udara sekitarnya bergetar. Setiap gerakan memunculkan bayangan-bayangan lain — versi-versi dirinya yang pernah hidup, pernah tersesat, pernah kalah. Semua menatapnya, penuh kebencian dan penyesalan.
Dunia Bayangan Asal. Tempat di mana setiap kesalahan, setiap niat gelap, dan setiap kemungkinan dari dirinya sendiri menjadi nyata.
“Xiau Chen,” suara dingin bergema di udara, berasal dari sosok hitam itu. “Kau pikir kau telah menaklukkan waktu? Kau masih belum menguasai dirimu sendiri.”
Xiau Chen menarik napas dalam, mengumpulkan qi di seluruh tubuhnya. Tubuhnya bergetar, dan pedang di tangannya bersinar lembut, seperti menyalurkan cahaya dari langit yang telah ia lewati.
“Kau bukan aku… tapi aku harus menghadapi setiap sisi diriku,” bisiknya. “Jika aku ingin menempuh Langit Keenam, aku harus menyatu dengan bayangan ini, bukan menolaknya.”
Sosok itu tersenyum dingin. Dalam satu gerakan cepat, ia mengayunkan tangannya, dan ribuan bayangan versi Xiau Chen meluncur ke arahnya. Setiap bayangan memancarkan energi yang berbeda: satu menghembuskan api, satu memancarkan es, satu lagi menyeret tanah menjadi jurang hitam.
Xiau Chen menahan napas, lalu mengangkat pedang.
“Langkah Langit Ketiga!” teriaknya, tubuhnya melesat di antara bayangan, pedangnya menebas udara yang bergetar. Cahaya putih dari qi-nya menyatu dengan bayangan hitam di sekitarnya, menciptakan pusaran spiral yang menahan energi destruktif lawan.
Namun setiap bayangan yang ia tebas hanyalah menciptakan dua lagi. Jumlah mereka tak terhingga. Ia menyadari, ini bukan pertempuran fisik — ini ujian jiwa.
Ia menutup mata, merasakan denyut dunia di bawah kakinya. Energi yang mengalir bukan sekadar kekuatan, tapi fragmen masa lalu, kesalahan, penyesalan, dan bahkan kebaikan yang pernah ia lakukan.
“Jika aku menolak mereka, aku gagal. Jika aku menerima mereka… aku kuat,” gumamnya dalam hati.
Xiau Chen menurunkan pedang, membuka kedua tangannya, dan membiarkan cahaya qi mengalir melalui tubuhnya, menyentuh setiap bayangan. Cahaya itu tidak memusnahkan, tapi menenangkan, menyatukan setiap versi dirinya menjadi satu kesadaran yang utuh.
Sosok bayangan hitam itu terdiam. Matanya yang merah perlahan berubah menjadi keemasan, dan tubuhnya memudar menjadi cahaya yang lembut.
“Kau… telah menyatu dengan dirimu sendiri,” suara Seraphine terdengar dari kejauhan. “Ini adalah Langit Kelima — dunia bayangan asli. Kau telah membuktikan bahwa kau bukan sekadar kultivator, tapi penjaga keseimbangan.”
Xiau Chen menarik napas lega. Ia merasakan kekuatan baru berdenyut di dalam dirinya — kekuatan yang melampaui batas waktu dan ruang. Kaki dan tangannya terasa ringan, tapi jiwanya kini membawa berat pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
Di tengah reruntuhan bayangan itu, muncul sebuah artefak bersinar lembut: Piringan Takdir. Bentuknya bundar, dengan simbol-simbol kuno berputar perlahan.
“Ini… pusaka keempat belas?” bisik Xiau Chen.
Seraphine melayang mendekat. “Piringan Takdir, pusaka yang bisa menyingkap rahasia para Dewa. Tidak untuk digunakan, tapi untuk dipahami. Mereka yang menguasai piringan ini, memahami hukum penciptaan dan kehancuran.”
Xiau Chen menatap piringan itu, dan seketika ia melihat sekilas masa lalu para Dewa — entitas yang pernah melahirkan dunia, yang kini tersembunyi di balik bayangan sejarah. Matahnya terbuka, dan ia memahami satu hal: para Dewa lahir dari hukum, bukan dari kekuatan mutlak.
Saat ia menyentuh piringan itu, seluruh Langit Kelima bergetar. Cahaya dan bayangan bercampur, membentuk pusaran tak terduga. Dari pusaran itu, suara Mo Tian bergema, lebih dalam, lebih dingin.
“Kau pikir kau bisa menyatukan semua sisi dirimu, Xiau Chen…? Aku menunggumu, di puncak Langit Keenam.”
Xiau Chen menatap langit yang retak di atasnya, lalu memandang ke arah tangga bercahaya yang muncul di kejauhan — jalan menuju Langit Keenam. Tubuhnya kini lebih kuat, pikirannya lebih tenang, tapi ia sadar satu hal: tantangan sesungguhnya baru dimulai.
“Jika aku ingin menaklukkan dunia para Dewa,” gumamnya, “aku harus lebih dari sekadar pendekar… aku harus menjadi hukum itu sendiri.”
Dengan langkah pasti, Xiau Chen menapaki tangga bercahaya itu. Cahaya dari Piringan Takdir menyelimuti tubuhnya, dan dunia bayangan di belakangnya perlahan memudar, meninggalkan kesunyian yang murni, hening, dan penuh kekuatan.
Langkah demi langkah, ia menuju Langit Keenam, tempat di mana energi lebih murni, pusaka lebih dahsyat, dan ujian menunggu — bukan hanya dari musuh luar, tapi dari dirinya sendiri.
Dan ketika ia mencapai puncak tangga, udara berubah. Dunia di depannya lebih terang, namun sarat energi yang padat dan murni, seperti dunia fana namun sepuluh kali lebih kuat. Pedang di tangannya bergetar, dan seluruh tubuhnya merasakan panggilan dari pusaka yang menunggu.
“Langit Keenam… aku datang,” bisiknya, mata bersinar dengan tekad seorang legenda.