NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:773
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 (Part 2)

Mereka berdua tenggelam dalam diskusi. Reza mengeluarkan buku sketsanya, Bunga mengeluarkan buku catatannya. Mereka menggambar bersama, berdebat soal material (kayu palet bekas atau multipleks?), berdiskusi soal sirkulasi udara di bawah jembatan.

Bunga lupa waktu. Ia lupa kalau ia sedang bersama 'Pangeran Kampus'. Ia hanya merasa seperti seorang desainer yang sedang brainstorming dengan desainer lain. Ini sangat menyenangkan.

Tiba-tiba, alarm di ponsel Bunga berbunyi. Alarm yang ia setel pukul 16:50.

Teng-tong!

Keduanya tersentak kaget. Diskusi mereka yang seru terhenti.

"Eh," Bunga buru-buru mematikan alarmnya. "Maaf, Kak."

Ia melihat jam. 16:50. Waktunya pulang.

"Wah, udah mau jam lima, ya?" kata Reza, melihat jam tangannya. "Nggak kerasa. Asyik banget diskusinya."

"Iya, Kak," kata Bunga. Ia mulai membereskan buku-bukunya. "Maaf banget, saya harus cabut."

"Lho? Kok buru-buru?" Reza terlihat jelas kecewa. "Padahal lagi seru. Tanggung banget ini."

"Iya, Kak. Tapi saya udah janji..."

"Gini deh," potong Reza, "kita cari makan malam di luar. Dekat sini ada warung pecel lele enak. Kita lanjutin di sana. Gimana?"

Itu dia. Ajakan kedua. Sama seperti yang ia takutkan.

Jantung Bunga berdebar. Sebagian dari dirinya ingin pergi. Diskusi ini sangat seru. Dan Reza... sangat menarik.

Tapi janji adalah janji.

"Nggak bisa, Kak," kata Bunga, menatap mata Reza langsung. Ia harus tegas. "Maaf banget. Wali saya udah nunggu kabar di rumah. Saya nggak berani."

"Wali-mu ini..." Reza menyipitkan matanya, nadanya sedikit menggoda. "Pacar, ya?"

Itu adalah pertanyaan jebakan. Bunga teringat kebohongan-kebohongannya yang lalu.

"Bukan, Kak," jawab Bunga mantap. "Keluarga. Dan dia tegas banget. Saya nggak berani macam-macam."

Reza menatapnya lama. Ia sepertinya sedang menilai kejujuran Bunga. Gadis di depannya ini menarik. Punya ide brilian, tapi kaku seperti anak rumahan. Kombinasi yang langka.

"Oke, oke," kata Reza akhirnya, mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Kaku banget ya wali-mu. Kayak bapak-bapak."

Bunga hanya tersenyum tipis. Dia nggak tahu aja.

"Ya sudah," kata Reza sambil ikut membereskan barangnya. "Saya antar kamu ke stasiun, ya? Sekalian saya mau ke arah sana."

"Eh, nggak usah, Kak. Saya bisa sendiri. Ngerepotin."

"Nggak repot. Udah sore. Nggak baik cewek jalan sendirian," kata Reza, sudah menyandang tasnya.

Bunga tidak bisa menolak.

Mereka berjalan keluar dari perpustakaan. Langit sudah mulai jingga. Udara sore terasa sejuk.

"Jujur," kata Reza sambil berjalan di samping Bunga, "saya kaget kamu bisa punya ide sebagus tadi."

"Makasih, Kak."

"Saya jadi makin semangat ngerjain proyek ini kalau partner-nya kamu."

Pipi Bunga menghangat.

Mereka berjalan dalam diam yang canggung tapi menyenangkan. Reza menceritakan lelucon tentang dosen. Bunga tertawa.

Tepat di gerbang keluar kampus, Bunga berhenti. "Makasih ya, Kak, udah diantar sampai sini. Saya ke stasiun sendiri aja."

"Yakin?"

"Iya. Udah dekat."

"Oke, kalau gitu," kata Reza. "Hati-hati, ya. Nanti kalau sudah sampai rumah..." Ia berhenti sejenak. "Kabari saya. Biar saya tenang."

Permintaan itu lagi. Seperti gema dari permintaan Arga. Bunga tiba-tiba merasa seperti sedang diperebutkan, padahal tidak ada yang tahu statusnya.

"I-iya, Kak. Nanti saya kabari," jawab Bunga, merasa tidak enak untuk menolak.

"Sip. Sampai ketemu, Melati."

Reza tersenyum, lalu berbalik badan, berjalan ke arah parkiran motor.

Bunga menatapnya pergi. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa... melambung.

Ia bergegas berjalan ke stasiun. Ia harus segera melaporkan diri. Bukan pada Reza. Tapi pada Arga.

Ia meraih ponselnya.

[Bunga]

Mas, Bunga udah selesai. Ini OTW stasiun.

Pesan terkirim tepat pukul 17:15.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Reza.

[Kak Reza (BEM)]

Thx buat hari ini. Ide kamu brilian bgt. Saya tunggu kabar kamu sampai rumah, ya. 🙂

Bunga menatap pesan itu.

Ponselnya bergetar lagi. Sebuah pesan dari Arga.

[Mas Arga]

Oke. Mas juga OTW pulang. Mau Mas tungguin di Stasiun Apartemen? Atau berani jalan sendiri?

Kontras itu begitu nyata, begitu jelas.

Reza memintanya melapor untuk ketenangannya.

Arga menawarkan diri untuk menunggunya demi keamanannya.

Bunga tidak ragu sedetik pun.

Ia mengetik balasan untuk Arga.

[Bunga]

Tungguin, Mas! Takut gelap. Bunga beliin kopi susu di stasiun, mau?

Balasan Arga datang instan.

[Mas Arga]

Nggak usah. Cepet pulang.

Bunga tersenyum. Ia mengabaikan pesan Reza untuk sementara. Nanti saja di rumah.

Stasiun KRL di jam pulang kerja adalah neraka yang lebih parah dari pagi hari. Bunga tergencet, terdorong, dan nyaris terinjak. Kali ini tidak ada Arga yang melindunginya. Ia merasa kecil dan lelah.

Saat ia tiba di stasiun dekat apartemen mereka, hari sudah gelap. Waktu Maghrib baru saja lewat. Ia berjalan keluar gerbang sambil merapikan roknya yang lecek.

Lalu ia melihatnya.

Arga berdiri di bawah lampu jalan di dekat pintu keluar. Kemeja navy blue-nya sudah digulung sampai siku, dasinya sudah dilonggarkan. Ia terlihat lelah, tapi ia berdiri di sana. Menunggu.

Hati Bunga melompat. Perasaan hangat yang aneh menjalari dadanya, mengalahkan semua debaran yang ia rasakan untuk Reza.

"Mas!" panggil Bunga, setengah berlari.

Arga menoleh. Wajahnya yang lelah sedikit tersenyum. "Lama," katanya singkat.

"Keretanya penuh banget, Mas. Sumpah, Bunga kayak pepes," keluh Bunga.

"Sudah biasa." Arga mulai berjalan. "Ayo pulang."

Bunga berjalan di sampingnya. Mereka berjalan beriringan di trotoar yang ramai. Ini adalah ritual baru mereka. Berjalan pulang bersama di malam hari.

"Gimana tadi?" tanya Arga santai. Nadanya netral.

Di sinilah ujian kejujurannya.

"Seru, Mas! Bunga kasih ide soal rak buku modular, dan Kak Reza suka," Bunga menceritakan dengan antusias. "Dia profesional, kok. Kita beneran bahas proyek."

"Bagus," kata Arga.

"Terus..." Bunga ragu sejenak. "Jam lima kurang, Bunga mau pulang. Tapi Kak Reza ngajak makan malam. Buat lanjutin diskusi."

Ia merasakan Arga menoleh padanya. Langkah mereka melambat sedikit.

"Terus?" tanya Arga, suaranya pelan.

"Bunga tolak," kata Bunga cepat. "Bunga bilang nggak bisa. Bunga bilang... wali Bunga galak dan udah nunggu kabar."

Bunga melirik Arga.

Laki-laki itu tertawa. Tawa pelan yang tulus dari tenggorokannya. "Mas dibilang galak?"

"Kan emang galak!" ledek Bunga, kini merasa ringan. "Mas Arga emang galak, bawel, posesif, protektif..."

"Biarin," kata Arga. Senyumnya masih tersisa. "Yang penting kamu pulang."

"Iya, sih. Terus dia antar Bunga sampai gerbang kampus."

"Hmm."

"Terus dia minta dikabari kalau Bunga sudah sampai."

Langkah Arga berhenti. Senyumnya hilang. "Dia minta dikabari?"

"Iya. Bunga... Bunga nggak enak nolaknya, jadi Bunga bilang iya," aku Bunga jujur. Ia menatap Arga, cemas. "Bunga belum balas WA-nya. Bunga mau balas sekarang. Boleh, kan, Mas?"

Ia mengangkat ponselnya, menunjukkan layar pesannya. Ia benar-benar meminta izin.

Arga menatap Bunga. Gadis itu menatapnya dengan mata jernih, penuh kejujuran, dan sedikit ketakutan. Ia tidak menyembunyikan apa-apa.

Arga menghela napas. "Ya," katanya. "Boleh. Balas aja."

Bunga buru-buru mengetik di depan Arga.

[Bunga]

Sudah sampai, Kak. Makasih.

Singkat. Sopan. Menjaga jarak.

"Sudah, Mas."

Arga mengangguk. "Bagus."

Mereka tiba di lobi apartemen. Suasananya kembali normal.

"Mas," kata Bunga saat mereka di dalam lift, "Bunga tadi balas WA Kak Reza, Mas Arga balas WA Bunga. Kita semua saling balas-balasan WA. Kayak rantai," candanya.

Arga hanya menatapnya datar. "Nggak lucu."

Bunga terkikik.

Arga membuka pintu unit mereka. "Makan malam apa?" tanyanya.

"Hmm... sisa capcai?"

"Bosen," kata Arga. Ia meletakkan tas kerjanya dan melepas sepatunya. "Di depan kompleks ada tukang sate. Kamu beli gih."

Bunga kaget. "Bunga? Sendirian? Malam-malam?"

Arga menatapnya. "Kan cuma di depan. Bawa kunci. Berani, kan?" Ia merogoh sakunya. "Nih dompet Mas. Beli sate ayam dua porsi. Jangan pakai lontong."

Bunga menatap dompet kulit hitam tebal di tangan Arga. Laki-laki itu... mempercayainya. Mempercayainya dengan dompetnya. Mempercayainya untuk keluar sendirian di malam hari.

Setelah semua drama "wali galak", ini adalah sebuah tes. Sebuah promosi.

Bunga tersenyum lebar. "Siap, Mas! Bunga berani!"

Ia mengambil dompet itu dan kunci apartemen. "Mas mandi aja dulu!"

"Jangan lama-lama," kata Arga.

Bunga berlari kecil keluar apartemen, merasa seperti baru saja memenangkan medali emas. Ia berhasil jujur. Ia berhasil menjaga kepercayaan Arga. Dan ia berhasil mendapatkan... sate ayam.

Di dalam kamar mandi, Arga berdiri di bawah pancuran air hangat. Ia membiarkan air membasahi wajahnya. Ia lega Bunga jujur. Tapi ia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Reza memintanya dikabari.

Anak itu, batin Arga. Dia nggak akan menyerah.

Perang ini belum selesai.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!