“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 1
Plak!
Suara tamparan cukup keras bergema di bangsal kelas tiga di sebuah rumah sakit milik pemerintah.
Beberapa pasien yang kebetulan dirawat di dalam sana sama-sama menoleh ke arah sumber suara yang tiba-tiba terdengar, sebagian terdiam, ada pula yang saling berbisik melihat kejadian yang menimpa seorang perempuan muda.
“Mas kenapa menamparku?” Tanyanya dengan suara serak menahan air matanya yang sudah berada di ujung pelupuk matanya.
“Kamu istri nggak becus! Harusnya kamu jaga kandunganmu baik-baik. Gara-gara keteledoranmu, bayi kita meninggal!” bentak seorang pria tinggi tegap yang wajahnya diselimuti aura kemarahan.
Plak!
Satu tamparan lagi mendarat di pipi kiri perempuan muda itu. Rasa panasnya membuat telinganya berdengung tanpa bisa melakukan perlawanan ataupun sanggup untuk menghindari tamparan itu.
Tangannya refleks mengusap bekas telapak tangan yang terasa ngilu dan kebas di kedua sudut pipinya dan sementara tubuhnya bersandar lemah pada headboard ranjang.
Citra seharusnya mendapatkan pelukan dan dukungan dari suami yang datang menjenguknya setelah dua hari dirawat karena keguguran. Namun yang ia dapatkan justru penghinaan di depan banyak orang.
Rasa malu, terhina, dan hancur berkeping-keping menguasai dadanya. Ia menunduk, menahan air matanya, tapi tetap saja bulir bening itu jatuh membasahi pipinya.
“Mas Ardian… aku sudah berusaha menjaga kandunganku. Tapi Allah SWT berkehendak lain. Aku keguguran karena terpeleset di kamar mandi, bukan karena aku ceroboh,” lirihnya, mencoba membela diri.
Ardian tertawa sinis, tawanya seperti pisau yang menggores sembilu hati.
Ardian meludah dengan kasar ke arah kanan mendengar pembelaan diri dari sang istri kelimanya sembari menatap enggan ke arah Citra.
“Alasan! Kamu pikir aku bodoh? Kamu cuma cari pembenaran biar nggak disalahin. Perempuan sial! Dari dulu kamu memang nyusahin! Jangankan jadi istri, jadi manusia saja kamu gagal!” hardiknya Ardian.
Beberapa pasien terperanjat mendengarnya, namun Ardian tak peduli dengan tatapan dan bisik-bisik dari keluarga pasien yang kebetulan ada di dalam sana.
Citra menatap nanar suaminya yang tak punya hati nurani itu, dadanya sesak menahan rasa sedih dan malu.
“Aku juga kehilangan, Mas… Aku juga ibu dari anak itu. Sakitnya sama dengan apa yang Mas rasakan,” suaranya bergetar sambil memegangi baju pasiennya.
Wajah Ardian mengeras, matanya menatap penuh jijik Citra yang berjuang mati-matian menahan air matanya.
“Kesakitan? Kamu?” Ia mendengus kasar dengan tawa meremehkan.
Ardiansyah menunjuk ke dada bidangnya penuh emosional, “Yang sakit itu aku! Aku yang kehilangan anakku karena perempuan kayak kamu! Perempuan miskin, nggak berpendidikan, nggak bisa ngurus diri apalagi ngurus kandungan. Dari awal aku paling sial nikah sama kamu!”
Citra terbelalak dan tubuhnya gemetaran mendengarnya karena tak menyangka kalau suaminya akhirnya menunjukkan sikap aslinya yang selama ini tidak pernah diperlihatkan.
Ardian melanjutkan ucapannya yang bernada semakin kejam, tak sedikit pun menahan lidahnya yang sungguh tajamnya melebihi sebilah silet.
“Calon bayi delapan bulan mati karena kebodohanmu! Kamu itu bencana dalam hidupku! Ujian hidup bukan! Kau sama sekali nggak ada manfaatnya menjadi istriku selama dua tahun ini!” hinanya Ardian.
Lalu tanpa ragu, dengan suara lantang yang menggema ke seluruh bangsal, Ardian menjatuhkan kata-kata yang membuat dunia Citra runtuh seketika.
“Mulai detik ini, aku ceraikan kamu! Aku jatuhkan talak tiga! Jangan pernah balik lagi ke rumahku! Pulang sana ke kampungmu! Perempuan miskin yang cuma membawa sial! Bikin rugi!” ucapnya Ardian tanpa berfikir panjang langsung menjatuhkan talak tiga.
Citra mencengkeram selimut, tubuhnya bergetar hebat. Hari kehilangan anaknya, suaminya, martabatnya dan semuanya hancur dalam satu waktu saja.
Citra mengusap air matanya yang terus jatuh tanpa bisa ia tahan. Dadanya naik turun menahan sesak di dadanya, namun tatapannya perlahan mengeras.
“Astagfirullahaladzim, ya Allah ya Robbi ampunilah segala dosa-dosaku,” cicitnya Citra.
Ia tidak lagi hanya menjadi perempuan yang dipermalukan, dia sudah terlalu hancur untuk terus diam mendapatkan hinaan dan perlakuan semena-mena dari pria berhati kejam.
Dengan suara yang masih bergetar terbata-bata, tapi jelas dari nada suaranya kalau dia juga tidak menerima diperlakukan sekasar itu. ia kemudian mengangkat wajahnya dan menatap tajam ke arah pria yang sudah menikah lima kali itu.
“Terima kasih, Mas… sudah menunjukan siapa Mas sebenarnya di depan semua orang,” ucap Citra lirih namun penuh sindiran halus.
Citra mengusap wajahnya dengan kasar, matanya sudah sembab memerah.
“Aku kehilangan anak kita, tubuhku masih sakit, hatiku hancur, namun Mas Ardian tetap tega mempermalukan aku tanpa berfikir gimana rasanya hatiku. Mungkin benar, aku memang perempuan miskin. Tapi setidaknya aku nggak miskin hati seperti Mas.” ucapnya Citra seraya menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang perutnya yang telah dioperasi.
Ardian membelalak semakin marah, tetapi Citra melanjutkan sebelum ia sempat menyela.
“Mas bilang aku istri yang nggak becus? Padahal sejak aku nikah sama Mas, aku nggak pernah berhenti berusaha jadi istri yang Mas mau. Tapi Mas… Mas nggak pernah sekalipun belajar jadi suami yang baik buat aku.” ucapnya Citra yang berbicara tak mau lagi diperlakukan tidak pantas.
Suasana bangsal mendadak hening karena semua orang mendengarkan dengan seksama ucapan yang terlontar dari bibirnya Citra yang mereka anggap perempuan lemah lembut dari setiap tutur katanya, kecuali suara beberapa ibu-ibu pasien yang tiba-tiba angkat bicara.
“Ih, tega sekali ki’ ini laki!” cibirnya.
“Kasihan itu istrimu, Nak baru kehilangan bayi malah ditampar-tampar!” sahut yang lainnya.
“Tidak ada rasa belas kasihannya sama sekali, Pak… perempuan habis keguguran itu butuh dijaga, bukan dipukuli!” imbuhnya seorang pasien.
Ardian menoleh tajam penuh murka ke arah tiga perempuan paruh baya yang ikut berkomentar.
“Diam! Ini urusan rumah tangga saya! Kalian tidak tahu apa-apa!”
Salah satu ibu berdaster yang duduk di ranjang sebelah menjawab dengan suara yang cukup lantang, “Urusan rumah tangga sekalipun, Pak, tidak ada laki-laki baik-baik yang memperlakukan istrinya sekasar begitu. Apalagi pas dia lagi sakit!”
Citra menunduk sejenak, menahan isaknya, lalu mengucapkan kalimat terakhir yang membuat Ardian makin naik pitam.
“Mas boleh hina saya, boleh ceraikan saya… tapi paling tidak saya masih punya hati. Anak kita mungkin nggak kembali… tapi Mas? Mas sudah kehilangan rasa kemanusiaan hanya karena tidak memiliki keturunan.”
Ardian meninju udara, wajahnya memerah penuh amarah.
“CITRA AULIA! Saya kutuk kamu!” teriaknya kasar sambil menunjuk lantang ke arah tepat di wajahnya Citra.
“Mulai hari ini kamu bakal hidup menderita! Aku pastikan kamu akan menjanda seumur hidupmu! Tidak ada laki-laki waras yang mau sama perempuan pembawa sial kayak kamu!” murkanya Ardian yang tak tertahankan.
Ibu-ibu kembali menimpali dengan suara geram.
“Naudzubillah, Pak… jangan begitu bahasanya!”
“Janda itu bukan kutukan, Pak. Yang kutukan itu laki-laki yang tidak punya hati nurani!”
Ardian makin tak terkendali. Ia menunjuk Citra dengan tatapan menyala-nyala terlihat dadanya naik-turun menahan gejolak amarah yang semakin membuncah.
“Kamu ingat baik-baik! Hidupmu habis! Tanpa saya, kamu tidak punya apa-apa! Kau akan jadi gelandangan dan lama-lama kau akan mampus!”
Citra mengangkat wajahnya untuk terakhir kalinya, suaranya pelan tapi setiap kata yang terucap menancap seperti paku langsung mengenai dada.
“Tanpa Mas… setidaknya aku masih punya diriku sendiri dan harga diri.”
Ardian terdiam sepersekian detik lalu tersentak dan sebelum akhirnya berbalik pergi dengan langkah kasar, sementara ibu-ibu di bangsal segera merangkul Citra yang mulai terisak kembali.
Citra masih terisak pelan, tubuhnya gemetar karena campuran syok, sedih, dan rasa tidak percaya atas apa yang baru terjadi. Namun beberapa ibu-ibu segera mendekat, mengelilinginya dengan empati yang tulus.
Seorang ibu paruh baya yang memakai kerudung lusuh menepuk bahu Citra lembut.
“Anakku… jangan menangis begitu. Tidak apa-apa ki’. Laki-laki kayak begitu memang tidak pantas dipertahankan. Kau masih muda, masih panjang hidupmu.”
Ibu lain yang duduk di ranjang seberang ikut bicara.
“Betul itu, Nak. Perempuan habis keguguran butuh istirahat, bukan caci maki. Kau kuat sekali bisa jawab dia tadi. Tidak semua perempuan bisa begitu.”
Citra menggeleng pelan, suaranya pecah.
“Tapi saya kehilangan anak saya, Bu. Saya juga kehilangan suami saya.”
Ibu itu menggenggam tangan Citra, hangat dan penuh rasa iba.
“Suaminya begitu bukan karena kehilangan, Nak. Itu Allah selamatkan kau dari hidup yang lebih sengsara. Kau bukan sendiri. Yang penting sekarang kau fokus sembuh dulu masalah kamu diceraikan itu urusan belakangan,”
Seorang ibu muda yang baru melahirkan bahkan ikut menunduk iba.
“Jangan merasa malu, Kak. Kita semua lihat sendiri kok yang salah itu laki-laki tadi. Kakak bukan penyebab keguguran itu jadi bersabarlah Insyaallah akan ada hikmahnya.”
Citra mengusap air matanya, kini lebih perlahan. Dukungan itu seperti memberi nafas baru di dada yang sesak.
“Terima kasih, Bu… semuanya,” katanya lirih. “Saya tidak tahu harus bagaimana kedepannya untuk saat ini.”
Ibu tua itu mengusap kepala Citra lembut penuh kasih sayang.
“Kau istirahat saja dulu, Nak. Kau masih punya masa depan. Allah tidak tidur. Yang menzalimi pasti dapat balasannya, yang dizhalimi pasti disayang dan hidupnya akan lebih bahagia kedepannya.”
Citra menunduk, air matanya jatuh lagi kali ini bukan karena dipermalukan, tapi karena ada sedikit rasa hangat di tengah kesakitannya.
Namun para ibu itu tidak menyadari bahwa sejak tadi, ada seseorang yang berdiri di luar bangsal, sedikit tersembunyi di balik tirai plastik yang menggantung di pintu.
Sosok itu memperhatikan dari jauh, kedua tangannya terlipat, ekspresinya sulit ditebak antara prihatin, marah, dan sesuatu yang lain entah lah apa itu.
Matanya mengikuti setiap gerakan Citra sejak tamparan pertama mendarat.
Seseorang itu menghembuskan napas pelan.”Jadi begini cara laki-laki itu memperlakukan istrinya… sungguh sangat miris.”
Tanpa suara, sosok itu melangkah mundur, namun tetap belum pergi seakan ada sesuatu yang menahannya tetap di tempat itu. Seakan kejadian hari ini membangunkan sesuatu dalam dirinya.
Setelah tangisnya mereda beberapa saat kemudian, Citra akhirnya menelan obat yang diberikan perawat. Tenggorokannya terasa perih, sama perihnya dengan hati yang sejak tadi diremas-remas kenyataan pahit.
Ia menyandarkan tubuhnya ke bantal, mencoba menenangkan diri. Namun baru saja ia menutup mata, suara langkah-langkah tergesa terdengar dari arah pintu bangsal.
Beberapa orang masuk yaitu dua perempuan berusia sekitar empat puluhan dan seorang pria yang tampaknya masih kerabat jauh dari pihak Ardian. Wajah mereka tegang, seperti datang bukan untuk menghibur, melainkan untuk menghakimi.
Salah satu perempuan langsung mendengus begitu melihat Citra.
“Jadi benar kau keguguran? Ya Allah, Citra… Mas Ardian itu sudah susah payah cari uang, tapi kau malah tidak bisa jaga kandungan delapan bulan? Dosamu besar sekali, Nak.”
Citra terdiam, menelan ludah yang terasa pahit. Obat yang barusan ia minum seperti tidak lagi mampu menahan rasa mual di dadanya.
Perempuan satunya lagi ikut menimpali, lebih tajam.
“Kami dari tadi dapat kabar kalau kau jatuh. Tapi katanya… kau memang kurang hati-hati. Kalau mau jadi ibu, belajar lebih bertanggung jawab. Tidak semua perempuan cocok hamil, apalagi kalau tidak punya pengalaman kayak kamu.”
Kata-kata itu seperti paku yang ditancapkan paksa ke dalam hati Citra.
“Emang dasar perempuan melarat yang tau-taunya hanya menyusahkan,”
“Aku… aku tidak sengaja, Bu,” Citra berusaha menjelaskan, suaranya parau.
“Aku terpeleset… aku tidak mau kehilangan anakku.”
Pria yang datang bersama mereka melipat tangan, ekspresinya dingin.
“Terpeleset atau tidak, faktanya anak itu tidak selamat. Dan kau harus terima kenyataan bahwa semua ini karena kurangnya kehati-hatianmu. Kalau saja kau lebih menjaga diri, tidak mungkin begini.”
Citra menunduk. Air matanya kembali mengalir, menetes ke selimut tipisnya.
Perempuan pertama mendekat sedikit, tapi bukan untuk menghibur untuk menusuk lebih jauh.
“Kau itu istri… seharusnya tahu kewajibanmu. Kalau bayi itu lahir, mungkin Mas Ardian akan lebih sayang sama kamu. Tapi sekarang… ya sudahlah. Kau sudah kehilangan segalanya.”
Kalimat itu membuat napas Citra tercekat. Seolah luka yang tadi Ardian tinggalkan belum cukup dalam.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.